Mohon tunggu...
Mardiana Fatwaningrum
Mardiana Fatwaningrum Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

sedang belajar merajut.\r\nmerajut hati, mimpi, puisi dan tali ^^

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FFK] Getir Senyum Sang Penyamun

18 Maret 2011   13:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cahaya. Melihat cahya dari sela sela persembunyian Yanto terbangun. Tidak ada suara. Ia bergegas keluar. “Rumah sedang sepi”, teriaknya dalam hati. Niat-niat yang kemarin telah terpacu, muncul lagi.
Ruangan yang manis dan rapi. Berperabot sederhana, lemari dan meja. Serta, anak kecil duduk membelakanginya. Yanto terkejut, tak menyangka ada penghuni lain selain dirinya. Tak sengaja dia menyenggol pinggir pembaringan, membuat suara jedugan kecil. Si anak kecil seketika menoleh, menatap tepat di matanya. Sesaat sunyi, tak ada reaksi.
Yanto gemetaran. "Sialan, aku ketahuan", pikirnya. Tangannya mengepal. Di lihatnya arah pintu keluar. Tapi bayang pekerjaan yang dicarinya tak kunjung di dapatkan membuatnya mengalihkan pandangan ke arah kamar besar di sudut ruangan.
"Cepat tunjukkan dimana barang berharga di rumah ini berada?" bentaknya lantang seraya mengepalkan telunjuk ke anak kecil itu.
Bukannya takut, dia justru tersenyum. "Bapak mau tahu tempat berharga di rumah ini?"
"Ya, cepat tunjukkan!"
si kecil berkaki tiga itu melangkah ke arah kamar. Tempat semalaman Yanto bersembunyi di bawah ranjang. Dibukanya lemari, dan terlihatlah sebuah kotak besar di salah satu bagian atasnya.
"Barang berharga di rumah ini ada disitu", ujar si kecil.
Yanto mengambil dan antusias ingin membukanya.

“Apa ini??” teriakan Yanto hampir menggetarkan dinding, amarahnya memuncak.
“itu Ayahku” kata si kecil sembari menunjuk salah satu foto.
“Gagah kan?”tegasnya. Seorang lelaki dia perlihatkan, dengan anak kecil yang digendongnya.Sementara Yanto hanya terpaku. Amarahnya membeku.
Sementara, si kecil mengambil sebuah buku, dengan sampul coklat yang lusuh.
“yang ini tulisan Ayahku. Isinya cerita semua. Dulu, setiap malam Ayah selalu bacakan ini untukku. Sekarang sudah tak bisa lagi. Ayah ....", si kecil tak melanjutkan kata-katanya.
"Siapa nama kamu?", sela Yanto. Seketika raut wajah si kecil yang tadi terlihat agak sedih kembali tertahan.
"Nara", jawabnya singkat.
"Kamu kangen Ayah?", celetuk Yanto pelan. Nara menyambutnya dengan anggukan. Nara, si kecil berkaki tiga. Dengan bekas luka dimana-mana.

Sepi. Yanto tak bisa berkata-kata lagi. Kenangan Nara akan Ayahnya mengingatkannya pada istrinya yang selalu indah di bayangnya. Yanto pun melayang.
Jauh ke dalam kenangan, saat dulu masih berpacaran. Istrinya yang tak terlalu rupawan, tapi sangat perhatian dan termasuk sosok yang bisa dikatakan idaman.

Tak sadar. Air mata Yanto berguguran. Bak pohon sakura dengan indahnya tertiup angin dan berjatuhan. Suatu kejadian yang terakhir kali ia lakukan ketika istrinya meningal dalam pelukan.
"Om kenapa?", tanya Nara dengan nada pelan. Yanto mengusap matanya. Ia tak bisa mengolah kata.

"Ayahku dulu senang sekali tersenyum", ujarnya bangga, "selalu tersenyumlah kalian, karena senyum kalian itu indah dan membuatku bahagia",begitu katanya.
Jadi tiap kali aku dan Ibu sedih, aku selalu membuka kotak ini. Senyum Ayah selalu menenangkan", tambahnya.

Sejenak Yanto terbuai akan kata-kata si kecil, Nara. Ia kembali terbawa ke dalam gelombang memori tersisa, dengan belahan jiwanya.
“senyum dong kang, akang jangan sedih. Senyum akang itu bikin adem lho, dan neng pingin kenangan itu yang akan kebawa sampe neng ndak bisa nemenin akang lagi”
kata-kata itu terngiang dibenaknya. Tak dapat dicegah, Istrinya meninggal saat itu juga.
Yanto terduduk. "Bagaimana bisa aku menyerah jika anak kecil ini selalu berusaha tegar dengan kenangan Ayahnya", pikirnya.

“terima kasih nak” katanya sambil memeluk anak kecil itu penuh haru.
Dia bergegas keluar, meninggalkan rumah dengan kaki ringan.
"Aku akan kembali mencari kerja", tegasnya. Dia kembali melangkahkan kaki. Tapi berbeda kini, dengan semangat baru dan senyum yang menghiasi.

-------------

berkolaborasi dengan raffa (no. 090: duet tibatiba), trimakasih sudah mengajariku mengarang panjang :)

-------------

UNTUK MEMBACA TULISAN PARA PESERTA FFK YANG LAIN MAKA DIPERSILAKAN MENGUNJUNGI BLOG KF sbb: KampungFiksi@Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun