Mohon tunggu...
Muhammad Fatwa Fauzian
Muhammad Fatwa Fauzian Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa IAIN KUDUS

Seorang manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Omnibus Law dalam Prespektif Teori Alienasi Karl Marx

25 Oktober 2020   20:06 Diperbarui: 25 Oktober 2020   20:17 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Undang-undang Omnibus Law atau yang biasa disebut Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR pada tanggal 05 Oktober 2020. Akibatnya memicu aksi demonstrasi besar-besaran di beberapa wilayah di Indonesia yang diikuti oleh para buruh, mahasiswa, serta seluruh elemen masyarakat. Alasannya karena dalam Omnibus Law terdapat pasal-pasal yang isinya merugikan para buruh/pekerja.

Misalnya dalam Pasal 88B dalam UU Cipta Kerja, besaran upah pekerja dihitung berdasarkan satuan waktu  dan/atau satuan hasil yang selanjutnya akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). 

Tentunya dalam pasal ini hanya akan menguntungkan kepada pengusaha untuk secara bebas menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah. Ditambahlagi, tidak ada jaminan jika sistem besaran upah satuan untuk menentukan upah minimum akan berakhir di bawah upah minimum.

Selain itu, terdapat penghapusan Pasal 91 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan dan apabila dilanggar, pengusaha akan dikenai sanksi. Dengan dihapuskannya Pasal 91 UU Ketenagakerjaan, pengusaha akan berkemungkinan besar memberikan upah yang lebih rendah kepada buruh karena tidak adanya sanksi yang mengikat mereka.

Adapun dalam diubahnya ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status pekerja, yang awalnya membatasi perjanjian kontrak kerja selama dua tahun dengan maksimal perpanjangan satu tahun, dalam Omnibus Law ketentuan ini dihapus dan akan diatur di PP. Tidak menutup kemungkinan pekerja yang terikat kontrak akan menjadi pekerja kontrak seumur hidup karena tidak ada kepastian kapan mereka dipermanenkan. Dan pekerja dapat di-PHK sewaktu-waktu.

Jika uraian di atas dikaitkan dengan teori alienasinya Karl Max, menunjukan realitas bahwa seharusnya buruh bekerja dalam keadaan yang membahagiakan, bukan malah justru sebaliknya. 

Alienasi merupakan konkritisasi hakikat batin manusia yang kemudian menjadi barang mati, dan menceraikan manusia yang satu dari yang lain. Dalam sistem kapitalisme, orang tidak bekerja secara bebas dan universal, melainkan semata-mata karena terpaksa sebagai syarat untuk hidup. Pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia.

Dalam industri dalam bayang-bayang sistem kapitalisme, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat manusia, tapi malah membuat manusia semakin terasing. Dalam Omnibus Law, undang-undang yang seharusnya menguntungkan para buruh, tidak mengarah pada penyejahteraan. Akan tetapi kepentingan para pengusaha (kapitalis) jauh lebih diutamakan.

Meskipun di Indonesia memiliki pancasila sebagai ideologi, tapi praktik kapitalisme masih sangat kental. Omnibus Law menjadi bukti bahwa usaha kapitalisme dalam mencengkeram buruh menyasar ke perundang-undangan. Sehingga para kapitalis dapat dengan leluasa menjalankan roda perusahaannya tanpa beban tuntutan hak-hak buruh yang harus dipenuhi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun