Sekitar perjalanan 1 jam dari pinggir Jakarta, akhirnya kami sampai di sebuah daerah yang dikenal dengan nama Sentul. Dalam banyak literasi maupun media kabar, tidak dapat dipungkiri bahwa Sentul sangat lekat dengan permasalahan sengketa lahan dan kepemilikan tanah yang dikuasai oleh para elit. Bahkan hingga kini, ketika kami mengetik ulang nama Sentul di mesin penelusuran Google, mayoritas yang muncul ialah nama perusahaan yang banyak berkecimpung di daerah Sentul dan sekitarnya. Dan rasanya, masih ada desas-desus persengketaan tanah pada perusahaan tersebut yang belum usai.
Namun, pada perjalanan ini, yang kami tuju bukanlah Sentul dengan berbagai kemegahan aksesnya. Juga bukan perumahan-perumahan mewah yang berjejer rapi bak kota impian bagi seluruh orang. Kami membuka mata seluas-luasnya, mendengar dengan selebar-lebarnya, hingga mengepakkan tangan sejauh mungkin untuk setidaknya mengungkap unpopular opinion terhadap daerah ini.
Agak menanjak dari jalan utama Sentul, kami bergerak menuju Desa Bojongkoneng. Jalanan rusak berbatu mengucapkan selamat datang seakan menyambut kehadiran kami. Mungkin ia sedikit menguji kesungguhan kami untuk dapat mengabdi di desa ini. Ya, tentunya kami tidak goyah dan tetap melanjutkan perjalanan kami.
Sejujurnya, ini perjalanan kedua kami setelah beberapa minggu sebelumnya kami meninjau lokasi dalam rangka survey dan bertemu dengan ketua RT selaku pembuka pintu kedatangan kami untuk dapat melaksanakan Kuliah Kerja Mahasiswa di Desa Bojongkoneng ini. Setidaknya, ada sedikit gambaran lokasi yang kami tuju sehingga kami dapat menyiapkan berbagai kebutuhan kami selama melaksanakan KKM ini.
Setelah cukup menarik pedal gas motor demi menanjak jalanan yang agak curam, kami akhirnya sampai di rumah ketua RT 01/07 Desa Bojongkoneng, Bapak Bahruddin. Senyum yang hangat langsung tampak di wajah Pak Bahruddin beserta beberapa warga yang sudah menanti kehadiran kami. Dengan jumlah 13 mahasiswa, kami bergantian menyalami tangan para warga. Tidak sedikit anak-anak kecil yang berlarian dan membubarkan diri dari permainan tradisional mereka guna menyambut kedatangan kami. Matanya berbinar meski seakan penuh tanya, “Siapa gerangan?”
Setelah dipersilakan duduk, Nabila, sebagai ketua KKM pada Kelompok Kerja (Pokja), langsung menyerahkan sertifikat vaksin para anggota kelompok sebagai persyaratan yang pernah diajukan oleh Pak Bahruddin untuk dapat KKM di Desa Bojongkoneng ini. Tentu saja kami berupaya untuk melaksanakan KKM ini dengan protokol kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kami menjelaskan program kerja yang akan kami jalankan pada kesempatan KKM ini, salah satunya adalah taman baca. Taman baca kami jadikan program kerja kami sebab melihat hasil wawancara singkat yang kami lakukan pada anak-anak kecil di desa ini sebelumnya. Banyak dari mereka yang belum mampu untuk membaca secara lancer bahkan belum mampu mengenal huruf secara tepat.
Di balik mewahnya bangunan-bangunan tetangga, perselisihan kaum konglomerat di meja sidang, modisnya baju-baju penghuni perumahan, kami cukup terkejut memandangi fakta yang ada. Hal ini bukan terkait siapa yang salah dan harus bertanggung jawab atas buta aksaranya anak-anak ini, namun lebih kepada apa yang mesti kami lakukan dalam waktu singkat ini untuk setidaknya membangun pondasi motivasi belajar mereka khususnya dalam mengenal aksara dan membaca.
Kebutuhan membaca seharusnya menjadi suatu yang bersifat primer dibanding apapun. Sebuah cerita tentunya dibangun oleh beberapa paragraf, sebuah paragraf dibangun oleh beberapa kalimat, sebuah kalimat dibangun oleh beberapa kata, dan sebuah kata pastinya dibangun oleh beberapa aksara. Perjalanan masih terlampau panjang. Anak-anak ini masih ragu antara huruf U dengan huruf V. Beberapa lainnya bahkan hanya menggelengkan kepala ketika kami meminta mereka untuk menyebutkan huruf-huruf.
Sebelum memulai program taman baca tersebut, kami mempersiapkan sarana dan prasarana yang akan kami butuhkan. Butuh beberapa hari untuk merapihkan sebuah pos ronda, akses jalan menuju rumah ketua RT, juga halaman depan RT yang ketiganya berperan penting dalam program taman baca ini. Tak lupa juga kami menyiapkan materi berupa lembaran kertas berisi kumpulan huruf-huruf guna mempermudah program taman baca tersebut.
Setiap harinya, kami memulai taman baca sejak ba’da Asar hingga pukul 5 sore. Tetapi, percaya atau tidak, beberapa kali Pak Bahruddin menghubungi kami untuk mengonfirmasi kehadiran kami di taman baca, hal itu disebabkan kehadiran anak-anak yang datang sebelum waktunya. Bahkan seusai pulang sekolah pada siang hari, mereka sudah mulai berkumpul untuk menyambut kami. Lihat! Semangat mereka amatlah tinggi!
Taman baca kami iringi dengan permainan-permainan edukatif yang telah kami kuasai. Tak lupa kami membeli hadiah jajanan sederhana yang ternyata dapat menggugah semangat mereka untuk kembali dating. Jujur saja kami agak ragu akan berkurangnya kehadiran partisipasi anak-anak yang ingin hadir di taman baca ini. Namun ternyata ekspektasi kami tidak sesuai. Semakin berjalannya hari, taman baca semakin ramai. Bapak-bapak tua mengantar anaknya sambil melemparkan senyum kepada kami serta ibu-ibu yang menemani anaknya hingga selesai terlihat tidak pernah bosan. Meskipun hujan datang dengan cukup lebat, mereka rela memegangi payung untuk melindungi kepala anak-anaknya. Di akhir kegiatan, ucapan terima kasih silih berganti kami terima. Tak jarang air mata keharuan turun tiap kali menutup pertemuan pada taman baca sebab kegigihan mereka.
Kami membagi kelompok baca sesuai dengan kemampuan mereka. Perlahan-lahan kami ajarkan bagaimana cara mengucap huruf dengan tepat hingga menulisnya satu persatu. Karakter anak yang bermacam-macam sudah menjadi pemandangan dan tanggung jawab kami selama itu. Taman baca semakin menarik dengan kehadiran 2 anak spesial yang diminta oleh warga sekitar untuk dapat perlakuan khusus. Ya, anak dengan kebutuhan khusus menjadi salah satu dari anak-anak yang kami asuh dalam taman baca. Betapa beruntungnya kami mendapatkan pengalaman berharga ini.
Motivasi dan semangat belajar mereka sangatlah tinggi. Dalam beberapa hari saja, beberapa anak sudah mulai mengenal huruf yang pada awalnya mereka buta sama sekali. Bukan tidak ingin apabila taman baca ini terus berlanjut, mereka akan mampu menjadi penyair maupun penulis yang handal.
Dengan berbagai keterbatasan yang ada, rasanya tidak menghalangi mereka sama sekali untuk pergi ke taman baca. Entah diantar oleh orang tua mereka maupun berjalan kaki sendiri. Konstruk tanah yang turun-naik pada kawasan bukit bukanlah medan yang mudah untuk dilalui. Beberapa jalanan memang sudah diaspal, akan tetapi banyak lubang yang bertebaran dan sangat berbahaya apabila tidak diperbaiki.
Suasana kampung nan tenang memang sangatlah syahdu. Kehadiran kami di sana sepertinya menjadi sebuah harapan bagi mereka. Singkong goreng dan ubi rebus menjadi santapan setia kami yang disediakan oleh warga demi memberikan kami asupan untuk bisa mengajarkan anak-anak mereka. Singkongnya sangat renyah, serenyah senyum mereka yang tak pernah lepas dari pandangan kami.
Hari demi hari berganti. Anak yang tadinya tidak berani menyebutkan namanya kini berada di depan untuk menyanyikan sebuah lagu edukatif. Anak yang tadinya kebingungan untuk menunjukkan huruf kini dengan percaya diri mengungkapkannya. Anak yang tadinya mesti ditemani oleh ibunya kini dengan sendirinya menghadiri taman baca kami.
Bukan perkara mudah memang. Itu semua membutuhkan banyak pengorbanan. Tenaga, biaya, pikiran, juga yang terakhir, yakni rasa. Rasa bahwa antara kami dan mereka merupakan keluarga yang saling memiliki. Juga rasa untuk saling menjaga serta saling menyayangi. Selama periode awal memang hal itulah yang kami fokuskan. Tidak jarang kedatangan orang asing pada sebuah kampung tidak mampu menciptakan rasa tersebut. Hal itu yang kami jaga supaya apa yang kami abdikan dapat benar-benar bermanfaat. Bukan hanya untuk sekarang saja, namun berkelanjutan hingga nanti.
Jumat sore di saat langit sedang mendung-mendungnya, kami pamit. Alunan angin menandakan bahwa waktu kami untuk hidup bersama di sini akan usai. Sebelum berpamitan, kami mengadakan berbagai lomba dengan berbagai gelak tawa dalam permainannya. Belum sempat tawa itu dinikmati, dengan sangat pedih kami harus mengungkapkan bahwa kami harus pergi. Secara spontan suasana menjadi sangat haru. Beberapa anak berlarian memeluk kami tanpa ada arahan apapun. Tangis pun pecah.
Kami katakan bahwa kehadiran kami di sini memanglah singkat, tapi semangat kalian tidak boleh menjadi padam. Kami juga titipkan kepada anak-anak yang sudah lebih dewasa untuk terus mengajari adiknya belajar dengan berbagai metode dan materi yang telah kami berikan. Potensi mereka sangatlah besar. Kami yakin, dengan terentasnya buta aksara melalui taman baca yang telah kami tancapkan pondasinya, akan tercipta putra dan putri bangsa yang mampu membangun kampungnya sendiri meski berada di dalam lingkaran keserakahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H