Di dermaga kecil Sekupang, orang-orang itu dengan langkah gontai keluar, naik ke atas pancung. Saya mencoba membeli satu tiket di loket karcis. “Mau ke mana?” tanya petugas loket. Ah, apa pentingnya tujuan bagi Bapak ini, toh saya telah merelakan diri untuk dibawa pancung ke lautan lepas sana tanpa bertanya ke mana arahnya. Tidak ada salahnya untuk tidak bertanya, bukan? Saya hanya diam, barangkali dianggap seperti orang yang telah terbiasa naik pancung. Dia menyodorkan satu kertas kecil 10 x 5 cm berwarna biru. Tertera: “Sekupang-Belakang Padang Rp. 10.000,- ”.
Di atas pancung saya pun membaur dengan penumpang lain. Seorang anak bermain gelombang sabun saat mesin menyala, dan pancung tua itu merayap di atas gelombang betapa perkasanya. “Ah, di mana Pulau Galang?” tanya saya dalam hati. Saya sudah bersikeras bahwa perjalanan kali ini akan saya jalani tanpa bertanya arah, tanpa melihat peta, biarkan ‘hantu perjalanan’ membawa ke mana dia mau membawa. “Orang harus tersesat untuk tahu jalan.” Huh, agak klise memang, agak sloganistik memang, tapi biarlah. “Barangkali di balik pulau Belakang Padang ini,” saya memutuskan menjawabnya sendiri tanpa ada kepastian tentang kebenarannya.
Di atas pancung, penumpang duduk bersisian, berbincang tentang apa saja tanpa perlu menyebutkan nama. Barangkali ini yang lebih khas dari masyarakat kepulauan. “Ini pukat bagus, nilon dan benangnya kuat,” seorang lelaki tua bercerita tentang pukat yang ia bawa. “Kalau kau butuh pukat, aku bisa membuatkan,” katanya menawarkan diri pada saya. Ah, apa yang saya tahu tentang laut, pukat, arus, kehidupan nelayan, perompak? Tidakkah selamanya ini saya hanya mengetahuinya dari dalam buku?
Pancung tua dengan mesin tempel tua itu merayap membelah lautan. Sengatan matahari cukup kuat, namun tidak terasa panas karena tiupan angin. Seorang gadis kecil berumur kira-kira delapan tahun pindah dari tempat duduk ibunya ke sisi saya. Ia kembali mengocok mainan air sabun yang mengeluarkan gelembung-gelembung kecil yang ditiup angin. Ingatan saya kembali ke Nguyen kecil dalam novel, hidup berminggu-minggu di atas perahu kecil seperti pancung ini bersama orang-orang dewasa, terkatung-katung di laut tanpa makan, tanpa arah yang dituju, tanpa mainan, tanpa gelembung-gelembung sabun. “Potret saya dong, Oom…!” Saya tersentak, gadis kecil itu tersenyum ceria.
Pancung menyisir pulau-pulau kecil, akhirnya berhenti di Belakang Padang. Di pulau kecil ini pancung-pancung parkir, menambatkan tali, memperbaiki mesin, istirahat. Rumah makan tepi pantai yang menyediakan makanan laut begitu menggoda untuk mengajak singgah. Udang, kepiting, tuna bakar, ah, entah jenis apalagi, terhidang di balik etalase. Dalam keadaan seperti ini, setelah diombangkan lautan, perut saya jadi lapar. Saya merelakan diri untuk tergoda masuk dan memesan jenis-jenis itu. Angin berhembus sejuk, ombak-ombak kecil menghempas ke tiang-tiang rumah makan. Ada juga warung makan yang terapung yang banyak didatangi tekong pancung. Sepertinya orang di sini agak antipati dengan daratan, hingga untuk makan dan istirahat pun mereka masih memilih di atas laut.
“O, pulau itu jauh dari sini. Jarang sekali pancung yang memilih rute ke sana. Laut sedang pasang. Lagi pula ombak di sana besar-besar. Memang mau cari apa ke sana?,” gadis penjaga warung makan itu malah berciloteh dengan logat melayu yang kental. Padahal saya cuma bertanya ‘tahu Pulau Galang, tak?’ ketika dia menghidangkan nasi dengan tuna bakar dan gulai cumi dengan kuah yang kental. Saya menyerah juga akhirnya dan bertanya arah mana ke Pulau Galang.
Masyarakat di Belakang Padang, juga pulau-pulau kecil yang tersebar di dekatnya, menggantungkan hidup dari melaut, menjadi tekong. “Kalau ke sana ke Pulau;;;;;; Ah, dia mulai mengoceh lagi. Saya terpaksa menyerah, memilih berlayar dengan perahu kecil ini. Perempuan penjaga warung nasi ini semakin cantik terlihat setelah mengganti pakaian. Di atas perahu ia tak berhenti mengoceh, tentang jin lautan yang menampakkan diri sekali setahun. Ia seperti dikirim Tuhan untuk menjadi guide saya, ah, pikiran saya saja…
Matahari perlahan telah surut. Tak ada pancung ke Galang. Angin bertiup sempoyongan. Saya ingin terlantar di sini, bersama debur ombak pantai timur ini. Barangkali ada nelayan yang ingin ke Pulau Galang, pikir saya dalam hati. Harapan saya akhirnya pupus juga. Tak ada perahu ke sana.
***
Pagi sekali, udara telah dipenuhi debu yang dihamburkan roda kendaraan silih berganti. Jalan panjang berliku, kampung-kampung kecil yang sepi, ladang buah naga yang terhampar miring di bukit-bukit kecil. Tak ada pancung ke Pulau Galang. “Sudahlah, jangan keras kepala, naik angkutan saja. Sewa saja taksi, jalan sekarang telah sampai ke sana. Bayangkan, enam jembatan telah dibuatkan Habibie untuk sampai ke sana, kau harus lihat, ini perubahan…,” kata seorang tua sambil menghisap rokoknya. Lelaki tua yang saya temui senja kemarin.
Saya pilih menaiki motor, soalnya tidak mungkin berjalan kaki. Teman saya telah menawarkan taksi atau mobil-mobil mewah seperti Toyota Harrier, Celica, Nissan terano, Pajero, yang begitu mudah didapatkan di sini. Hanya dengan 300 ribu rupiah, kau bisa mengendarainya, kawan, seharian penuh. Dia lebih menyarankan kalau kami pakai mobil double-deck milik teman kakaknya. Tidak, kataku. Bagaimana bisa merasakan denyut perjalanan, kalau hanya bisa melihat dari jendela mobil dengan AC dingin menyala, bagaimana kau bisa merasakan sengatan matahari di pulau ini, jika kau hanya berdecak kagum dari atas jok mobil. Saya pilih naik sepeda motor teman saya, setidaknya, kendaraaan ini tidak membatasi kita dengan alam, dengan udara.