Seseorang pernah bertanya ihwal rindu padaku. Serta merta lidahku lihai menjawab. Menggebu-gebu seperti hati ini rasanya akan meledak jika secuil kata pun tidak kuceritakan. Kau tahu, di tiap keping kata itu ada kamu.
Bahwa seluruh bagian di sudut kota ini milik kita. Menyimpan kamu dalam hitungan senti meter. Bahwa di tiap tempat yang kusinggahi itu semua karenamu. Mengulang lagi tentang kita yang akrab dengan ibu pemilik warung bakso sebab itu tempat favorit kita berdua.
Boleh dibilang matamu tak setajam pria yang kubaca dalam novel. Bibir tebalmu sangat kontras dengan idol dari negeri gingseng yang kerap kuakui sebagai pacarku. Rambutmu selalu cepak sebab tiap bulan rajin datang ke salon ditemani oleh diriku. Senyummu biasa saja.
Kata temanku dia tidak menemukan hal spesial padamu. Aku beruntung sekali sebab hanya aku yang bisa menatapmu dengan cinta.
Suatu hari kamu berubah. Aku tahu itu perkara aku yang terlalu takut melangkah lebih serius. Kau bersabar menunggu hingga puncaknya kau berkata lelah. Bahwa hari-hari yang kita jalani mulai terasa tawar. Jalanan di kota ini tidak terasa istimewa seperti dulu. Aku kini tak bisa berkata-kata.
Mulanya kurasa denganmu akan selalu lebih mudah. Kita berdua selalu cocok. Lalu kenapa tiba-tiba kau merasa aneh dengan hal yang sudah kita sepakati sejak awal? Mungkin itulah yang membuatmu semakin terasa tidak bisa kugapai. Kita pun sepakat untuk berpisah. Meski begitu aku tetap mengingatmu sebab seluruh kota ini adalah kamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H