Kemarin malam saya melihatnya di sebuah kafe dekat perempatan depan kampus yang bertepatan dengan rambu-rambu lalu lintas. Lelaki gondrong itu duduk berkelompok, tampak bercengkrama serius. Saya, yang hanya bisa mendengar ributnya jalanan, malah seperti mendengar suaranya ketika melihat gerak bibirnya itu. Caranya bicara dengan nada-nada penuh penekanan mulai terdengar dalam diri saya.Â
Sebenarnya, itu yang selalu saya suka darinya. Bagaimana ia serius mengemukakan isu-isu hangat lalu mendebat sampai ia membawa pulang hasil analisa-analisa yang akan dia paparkan lagi.Â
Saya tersenyum, dia masih sama. Namun, karena alasan 'masih sama' itu juga senyum saya memudar.Â
Dia selalu mampu mematahkan argumen mentah saya dan sering kali kami terjebak dalam debat kusir. Kadang-kadang, saya jadi merasa dirinya terlalu 'serius' untuk ukuran saya yang kerap merasa mual dengan isu-isu yang berkembang.Â
Lelaki itu, ternyata terlalu dalam untuk saya selami. Apalagi tabiat dan gaya hidupnya yang cenderung bebas dan tidak mau diatur serta menolak untuk teratur. Itu sangat berkebalikan dengan diri saya sebagai perempuan yang rajin memetakan sesuatu sesuai aturan. Kami sadar kami seperti air dan minyak, tidak bisa menyatu dan memang tidak ada yang mau mengalah. Kami sepakat menyerah atas hubungan itu. Saya masih ingat bagaimana saya menangisinya semalaman.Â
Kini, melihatnya lagi malah terasa rindu sekaligus aneh. Kami orang asing yang pernah jatuh cinta sebelum akhirnya kembali menjadi asing lagi.Â
Lalu, bunyi klakson dari belakang mengagetkan saya. Ternyata lampu sudah hijau. Harusnya saya sudah fokus ke jalan di depan sana, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H