Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Cerita fiksi. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Membujuk Si Pencinta Warna Biru

13 November 2024   09:11 Diperbarui: 13 November 2024   09:18 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tupperware merah muda yang berisi nasi, tumis sayur wortel yang diiris tipis dicampur dengan kol, serta ayam kuah kaldu, telah menggemparkan Bu Marini. Ia marah-marah dan bahkan memilih mogok bicara dengan Pak Abidin, suaminya yang sudah sibuk duduk di boncengan motor sebab ada yang meminta bantuannya di kompleks sebelah.

Pak Abidin adalah orang terkenal di kampungnya. Sebut saja namanya, maka orang-orang akan langsung mengarahkan ke rumahnya, lurus dan belok kanan, tepat di rumah warna biru mentereng dekat kios kecil. Rumahnya yang berwarna biru agak besar, bukan biru yang kecil sebab itu rumah adik iparnya.

Pak Abidin ini bukan seseorang yang bergelar atau berpangkat tinggi, ia dihormati sebab kemampuannya yang bisa apa saja. Diminta tolong memperbaiki saluran pipa yang tersumbat, membersihkan kebun yang mulai banyak tumbuhan liar, bahkan mengecat rumah dan segala hal remeh-temeh lainnya. Datang saja ke rumahnya dan Pak Abidin dengan senyum lebar akan mengangguk mengiyakan apa pun selagi dalam batas mampunya.

Selain itu, ada hal paling penting. Ia tidak mematok harga alias bayar seikhlasnya. Bahkan kadang, jasanya hanya ditukar dengan sebungkus rokok. Namun, Pak Abidin selalu menerima dengan senang hati. Ia malah bahagia bisa membantu sebab baginya meringankan kesusahan orang lain adalah kepuasan tersendiri.

Berbeda lagi dengan istrinya, Bu Marini yang kerap marah-marah jika sang suami bahkan hanya dibayar dengan kata 'terima kasih'. Wanita pencinta warna biru itu sudah tidak tahu harus menasihati seperti apa, sebab suaminya tidak mengerti bahwa zaman sekarang jasa itu mahal. Andai mereka tinggal di kota besar, pastilah Pak Abidin tidak selugu ini, yang kadang-kadang istrinya sampai tidak bisa membedakan apakah itu karena terlalu baik atau terlalu bodoh.

Namun, rupanya upah berupa kata 'terima kasih' itu lebih baik daripada apa yang didapatkan Pak Abidin siang tadi, yang membuat Bu Marini marah-marah hingga tidak mau bicara. Makan siang dalam tupperware merah muda dari Bu Sadia adalah penyebabnya. Meski makanan itu diberikan sebagai imbalan telah membantu memperbaiki pagar rumahnya yang roboh, tetap saja rasanya aneh terlebih Bu Sadia ini seorang janda.

Mengapa harus tupperware merah muda? Seolah-olah ingin Pak Abidin merasakan cinta yang ikut dimasukkan dalam makanan tersebut. Lalu apa kata orang? Bagaimana pula Bu Marini harus menanggapi jika hal ini telah tersebar? Ini memusingkan. Apalagi makanan itu datang bersamaan dengan terasi yang baru saja selesai dimasak Bu Marini. Manalagi wadah berwarna biru yang menampung terasi tersebut sudah lecek, kalah bagus dengan tupperware merah muda yang masih segar dan klincong.

Ia jelas tersinggung. Mungkin ia masih bisa menerima fakta bahwa menunya kalah bergizi dan kalah enak dengan isi tupperware itu. Namun, masalah utamanya adalah harga dirinya sebagai istri dipertaruhkan. Sebagai perempuan, Bu Marini sungguh merasa tersaingi.

Ia tahu Bu Sadia itu orang baik sebab meskipun sudah tiga tahun menjanda, Bu Sadia tidak pernah mengalami puber kedua, bahkan dengan tegas menolak para duda atau yang masih beristri yang mencoba mendekatinya. Wajahnya yang menawan serta tutur kata yang halus membuatnya dicap sebagai janda terhormat. Bu Marini takut suami tercintanya itu akan tergoda. Sekelas Pak Rt saja bisa mengejar-ngejar Bu Sadia, apalagi hanya suaminya yang tidak punya jabatan apa-apa.

Pokoknya Bu Marini marah. Ia tidak mau bicara dengan Pak Abidin meski suaminya itu tidak menyentuh isi tupperware, anak merekalah yang telah menyantap habis dengan senyum sumringah.

Sementara itu, Pak Abidin yang baru sampai dari kompleks sebelah tampak bingung bagaimana memenangkan hati istrinya. Ia dengan sengaja meminta diantarkan hanya sampai di depan kompleks, sebab rasanya perlu berjalan kaki sampai rumah untuk bisa berpikir apa yang harus ia lakukan.

Begitu melewati rumah bercat putih dengan halaman sempit yang dijejali dengan bunga, langkah Pak Abidin terhenti. Bu Sadia yang sore itu sedang menyiram bunga tiba-tiba saja menyetopnya.

Bu Sadia berkata bahwa tadi tupperware miliknya sudah diantarkan oleh anak Pak Abidin. Bu Sadia sangat berterima kasih sebab itu tupperware yang ia khususkan untuk anak perempuan satu-satunya yang sedang bekerja. Ia tadi sempat cemas bagaimana jika benda itu tidak dipulangkan sementara itu tupperware cantik dengan  kualitas bagus atau sebut saja tupperware kesayangannya. Sebagai ibu-ibu, kehilangan tupperware bisa dikatakan sebagai luka yang dalam.

Maka sebagai rasa terima kasih, Bu Sadia memberi Pak Abidin dua lembar uang lima puluh ribu. Pak Abidin jelas menolak, rasanya sungkan dan ia juga merasa ikhlas menolong siapapun. Bu Sadia malah keukeh berkata bahwa itu juga sebagai bayaran tadi siang, sebab ia baru saja menarik uang di brilink terdekat dan memang dari awal meniatkan diri untuk memberi upah tersebut.

Dengan sungkan Pak Abidin berterima kasih. Ini agak memalukan sebab ia tidak merasa direpotkan dan lagipula Bu Sadia sudah memberinya makanan. Namun, ia juga tidak bisa menolak pemberian yang dipaksakan itu.

Pak Abidin masih memikirkan rasa tidak enaknya tersebut hingga tak terasa ia sudah di teras depan rumahnya. Bu Marini langsung membuang muka,bergegas ke dalam dan tidak jadi pergi ke rumah adiknya begitu mereka berpapasan.

Pak Abidin buru-buru menyusul, berusaha minta maaf berulang kali. Meskipun dia tidak salah, dia tetap salah. Bu Marini malah duduk di meja dapur dengan raut marah-marah. Dia tahu bahwa tadi siang di meja makan ini juga Pak Abidin begitu lahap menyantap nasi dan terasi. Hanya saja dia masih merasa marah, meskipun sudah tidak tahu marahnya karena apa. Dia sudah tahu sikap tadi berlebihan dan hanya bentuk kecemburuan kecil saja. Namun, sebagai suami harusnya Pak Abidin mengerti itu tanpa dijelaskan.

Bahu Pak Abidin sedikit merosot, tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia mengusap wajah lantas meletakkan dua lembar lima puluh ribu di meja dekat istrinya.

Bu Marini yang suka sekali buang muka, langsung melirik uang tersebut. Ia dengan bibir cemberut yang sengaja dimayun-mayunkan menatap Pak Abidin yang masih berdiri. Lantas ia sudah menangis bombay dan Pak Abidin buru-buru menepuk kepalanya guna menenangkan.

Bu Marini tidak tahu mengapa dia secengeng itu. Dia hanya tahu bahwa tangisannya itu berarti dia juga ikut menyesal telah marah-marah pada suaminya, tanpa benar-benar mengucap kesalahannya. Juga sebagai tanda bahwa mereka sudah berbaikan.

Sedetik kemudian Bu Marini sudah senyum sumringah. Dia berterima kasih sebab rupanya sang suami ini pintar membujuk, selalu ingat bahwa dia adalah pencinta warna biru. Pak Abidin hanya bisa geleng-geleng kepala. Apakah semua istri di luar sana sama seperti istrinya ini? Dikasih uang barulah tersenyum manis macam seorang gadis. Namun, setidaknya Bu Marini ini tidak merajuk lagi, tak Ayal Pak Abidin jadi tertawa renyah dengan tingkah istrinya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun