Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Cerita fiksi. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Membujuk Si Pencinta Warna Biru

13 November 2024   09:11 Diperbarui: 13 November 2024   09:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu melewati rumah bercat putih dengan halaman sempit yang dijejali dengan bunga, langkah Pak Abidin terhenti. Bu Sadia yang sore itu sedang menyiram bunga tiba-tiba saja menyetopnya.

Bu Sadia berkata bahwa tadi tupperware miliknya sudah diantarkan oleh anak Pak Abidin. Bu Sadia sangat berterima kasih sebab itu tupperware yang ia khususkan untuk anak perempuan satu-satunya yang sedang bekerja. Ia tadi sempat cemas bagaimana jika benda itu tidak dipulangkan sementara itu tupperware cantik dengan  kualitas bagus atau sebut saja tupperware kesayangannya. Sebagai ibu-ibu, kehilangan tupperware bisa dikatakan sebagai luka yang dalam.

Maka sebagai rasa terima kasih, Bu Sadia memberi Pak Abidin dua lembar uang lima puluh ribu. Pak Abidin jelas menolak, rasanya sungkan dan ia juga merasa ikhlas menolong siapapun. Bu Sadia malah keukeh berkata bahwa itu juga sebagai bayaran tadi siang, sebab ia baru saja menarik uang di brilink terdekat dan memang dari awal meniatkan diri untuk memberi upah tersebut.

Dengan sungkan Pak Abidin berterima kasih. Ini agak memalukan sebab ia tidak merasa direpotkan dan lagipula Bu Sadia sudah memberinya makanan. Namun, ia juga tidak bisa menolak pemberian yang dipaksakan itu.

Pak Abidin masih memikirkan rasa tidak enaknya tersebut hingga tak terasa ia sudah di teras depan rumahnya. Bu Marini langsung membuang muka,bergegas ke dalam dan tidak jadi pergi ke rumah adiknya begitu mereka berpapasan.

Pak Abidin buru-buru menyusul, berusaha minta maaf berulang kali. Meskipun dia tidak salah, dia tetap salah. Bu Marini malah duduk di meja dapur dengan raut marah-marah. Dia tahu bahwa tadi siang di meja makan ini juga Pak Abidin begitu lahap menyantap nasi dan terasi. Hanya saja dia masih merasa marah, meskipun sudah tidak tahu marahnya karena apa. Dia sudah tahu sikap tadi berlebihan dan hanya bentuk kecemburuan kecil saja. Namun, sebagai suami harusnya Pak Abidin mengerti itu tanpa dijelaskan.

Bahu Pak Abidin sedikit merosot, tidak tahu harus bagaimana lagi. Dia mengusap wajah lantas meletakkan dua lembar lima puluh ribu di meja dekat istrinya.

Bu Marini yang suka sekali buang muka, langsung melirik uang tersebut. Ia dengan bibir cemberut yang sengaja dimayun-mayunkan menatap Pak Abidin yang masih berdiri. Lantas ia sudah menangis bombay dan Pak Abidin buru-buru menepuk kepalanya guna menenangkan.

Bu Marini tidak tahu mengapa dia secengeng itu. Dia hanya tahu bahwa tangisannya itu berarti dia juga ikut menyesal telah marah-marah pada suaminya, tanpa benar-benar mengucap kesalahannya. Juga sebagai tanda bahwa mereka sudah berbaikan.

Sedetik kemudian Bu Marini sudah senyum sumringah. Dia berterima kasih sebab rupanya sang suami ini pintar membujuk, selalu ingat bahwa dia adalah pencinta warna biru. Pak Abidin hanya bisa geleng-geleng kepala. Apakah semua istri di luar sana sama seperti istrinya ini? Dikasih uang barulah tersenyum manis macam seorang gadis. Namun, setidaknya Bu Marini ini tidak merajuk lagi, tak Ayal Pak Abidin jadi tertawa renyah dengan tingkah istrinya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun