Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Cerita fiksi. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cinta atau Cita?

6 November 2024   17:57 Diperbarui: 6 November 2024   18:03 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Udah makan?"

Aku menghela napas. Dari sekian pertanyaan kenapa harus itu yang ditanyakan? Bolehkah kuakhiri panggilan ini? Aku sedang tak minat berbasa-basi. Namun, orang di seberang sana tak kunjung paham, malah lanjut bertanya. "Kok nggak dijawab? Belum?"

"Sayang, aku matiin, ya," ujarku lelah, memijit pelan pelipis. Pusing setelah merevisi puluhan naskah yang masuk. Manalagi mata mulai berat karena berjam-berjam saling tatap dengan layar laptop.

"Lho, kenapa? Aku masih pengen ngobrol, Sweety."

"Tapi aku capek." Nadaku tertahan, hampir saja emosi meledak. Buru-buru aku meralat sebelum dia salah paham. "Please ngertiin. Aku baru selesai kerja."

"Okelah. Matiin aja."

Akhirnya panggilan terputus. Aku menghela napas. Bergegas meninggalkan meja kerja, segera menuju kasur.

Esoknya aku kembali sibuk dengan pekerjaan. Aku penulis famous di salah satu platform. Selain itu juga berprofesi sebagai editor lepas, pengurus di beberapa komunitas, dan anggota di kelas-kelas menulis. Lima tahun terakhir kesibukanku didominasi dunia maya, melalang buana di dunia literasi. Awalnya hanya hobi, tapi mulai menjadi pekerjaan. Makanya aku mesti tetap aktif dan produktif agar bisa berpenghasilan.

Sibuk mengecek pesan WhatsApp yang masuk, mataku membola mendapati akun penerbit terkenal yang pernah menerbitkan naskahku ada di deretan pesan tertumpuk. Jantungku menggila, ada apa gerangan? Kalimat selamat yang tertera di bagian depan membuatku tegang.

[Halo, Harika! Selamat bukumu yang berjudul "Perempuan di antara Gedung Pencakar Langit" akan masuk cetakan yang kedua sebab tingginya minat pasar dan pembaca. Bagaimana, kamu mengizinkan? Jangan tolak kesempatan besar ini!]

Aku terpengarah. Beberapa detik sunyi oleh keterkejutan. Aku mencoba mengucek mata. Ini ... nyata, bukan? Perlahan bibirku mulai saling tertarik ke samping. Ini bukan mimpi! Aku tertawa, terjeda, lantas tertawa. Masih tidak percaya.

"Ini serius, kan? Ya Allah, seneng banget. Huwaaa, pengen nangis. Alhamdulillah, kok masih kayak mimpi aja, ya," kataku yang sudah meloncat-loncat girang. Sesekali membaca lagi pesan di layar ponsel tersebut. Kesenangan itu terjeda saat ada pesan baru. Dari penerbit, menanyakan kelanjutannya. Kebetulan aku belum keluar dari room chat. Segera aku membalas dengan kalimat mengizinkan sekaligus terima kasih.

Sungguh ini di luar dugaan. Padahal sejak terbit pertama kali, aku tidak pernah berharap lebih bahwa karyaku akan begitu disukai banyak orang. Mungkin karena pembacanya yang jutaan di platform dan banyaknya review bagus di sosial media. Tak kusangka dari sekian karya, judul itulah yang pertama kalinya diterbitkan dan akan naik cetak yang kedua. Aku sampai tak bisa berkata-kata. Setelah panjangnya perjuangan. Thank God!

Hatiku terus berbunga-bunga. Bahkan hingga sore ini, ketika ingin bertemu dengan Asgar---kekasihku---di kafe langganan kami. Aku tiba lebih dulu, sibuk melirik arloji karena Asgar tak kunjung datang. Rasanya tak sabar.

"Akhirnya kamu datang!" seruku senang, berdiri menyambut lelaki berkulit gelap itu. Aroma parfumnya menguar, bau yang kurindukan beberapa hari terakhir.

"Tumben ngajak ketemu? Biasanya minta disamperin di rumah," tanyanya setelah duduk. Aku terkekeh, memamerkan senyum lebar. Segera memesankan secangkir kopi kesukaannya. Mengulur waktu. "Coba tebak alasannya."

Kening Asgar mengernyit, "Nggak tahu."

Aku berdecak. Tidak biasanya dia secuek ini. Segera aku mengambil alih keadaan, tidak ingin merusak mood. "Okelah, aku kasih tahu. Naskahku yang belum lama ini terbit sekarang mau proses cetakan kedua, Sayang! Gila nggak tuh!"

"Oh ya? Selamat," ucap Asgar setelah ada jeda sedikit. Aku mengerjap, respon macam apa itu? Binar bahagia ini mulai meredup. "Kok gitu sih, responnya, Sayang?"

Tak ada jawaban. Kebetulan pramusaji baru saja datang meletakkan kopi pesanan. Aku menatap manik Asgar, dia tampak ... bingung? Atau mungkin dia ada masalah di tempat kerja? "Kamu ada masalah di bengkel, Sayang? Kenapa lagi? Rencana buka cabang baru ada kendala, ya?" tanyaku lembut mencoba mengerti.

Asgar menghela napas. "Bukan masalah kerjaan, tapi ini tentang kamu."

Aku menunjuk diri sendiri. Bingung. Sejenak berpikir, atau ini perihal telepon semalam? "Tadi malam aku ngantuk banget, Sayang. Serius. Abis revisi naskah, udah ditagih soalnya."

"Tidur atau chating-an sama si Akif? Abis akun WhatsApp kamu masih on. Aku chat nggak nyaut."

"Kok bawa-bawa Akif, sih?" Aku tak habis pikir.

Well, Akif adalah rekanku di salah satu komunitas. Kami sama-sama pengurus. Sering diledek oleh rekan lain karena dekat sejak empat tahun lalu. Kedekatan itu bermula karena dia punya humor receh dan sering ikut denganku dalam banyak event. Kami hanya teman dunia maya, tidak pernah berjumpa di dunia nyata. Jujur aku hanya menganggapnya sebatas sahabat.

"Ya biasanya kan, gitu. Chat sama Akif selalu lebih panjang dan seru." Suara Asgar terdengar ketus. Aku menggeleng pelan. "Aku lupa matiin data seluler. Lagian sejak setahun lalu kita pacaran, aku dan Akif nggak sedekat dulu. Dia cuma chat aku kalau ada perlu. Demi kamu aku jauhin diam, Sayang."

Asgar membuang pandangan. Aku tak habis pikir. Akhir-akhir ini dia berbeda. Mungkin dia juga merasa aku begitu. Kunci hubungan harmonis adalah komunikasi. Namun, aku merasa Asgar terlalu kekanakan untuk mengerti posisiku. "Coba sebutin apa yang bikin kamu kesel sama aku."

Asgar menggeleng. "Nggak ada, Harika."

Aku terkejut. Harika? Ke mana panggilan Sweety-nya? Pertemuan di kafe ini berakhir datar.

***

Saat sibuk-sibuknya promosi buku yang hampir cetak seribu eksemplar, aku dikejutkan oleh kedatangan Asgar ke rumah. Dia membicarakan perihal lamaran di depan orang tuaku. Sungguh kejutan luar biasa.

"Kamu kenapa, sih, Sayang?" tanyaku heran saat kami duduk berdua di teras.

Dia menoleh. "Kenapa, Sweety?

Aku berdecak. Setelah pertemuan di kafe yang berakhir mengambang kami sama sekali tak ada komunikasi. Tak berkabar selama sepekan. Mendadak dia datang dengan pribadi yang hangat dan manis seraya membicarakan lamaran. Aneh sekali, bukan?

"Maaf, Sweety, waktu itu aku lagi cemburu. Kamu tahu, kan, kalau aku cemburu gimana? Manalagi kamu akhir-akhir ini nggak mau diajak teleponan lama-lama padahal aku pengen ngobrol banyak."

"Bukannya gimana, Sayang, aku pernah bilang kalau aku males basa-basi. Kita bisa teleponan, tapi cuma berkabar aja, toh kamu selalu ke sini kapan pun kamu mau dan kita ngobrol banyak."

"Kamu selalu online dan kita nggak komunikasi itu bikin aku mikir macem-macem, Sweety."

"Kamu butuh bukti apalagi? Aku bukan tipe cewek yang gampang jatuh cinta. Dulu aja kamu mesti ngejar dan yakinin aku setahun baru aku nerima kamu. Karena kamu berhasil buktiin kalau kamu serius. Lagian aku online karena kerjaan, nggak ada skinship atau chating-an sama cowok lain." Nada suaraku meninggi dan aku baru menyesalinya. Aku menghela napas.

Hening.

"Maaf, Sayang. Lagian kamu aneh banget. Kemarin nyuekin aku dan sekarang kamu datang ngelamar?" Aku menyelidik Asgar yang menggeleng pelan.

"Kemarin aku nyesel. Serius. Sengaja ngejauh dulu biar dicariin. Maunya sebulan, tapi aku nggak sanggup, Sweety. Takut kamu curhat ke Akif terus nyaman sama dia."

Akif, Akif, Akif! Aku muak! Lagipula jika ada masalah dengan Asgar, aku lebih memilih curhat di diary. Kenapa dia selalu menarik masuk orang lain ke dalam hubungan ini? Aku memijit pelipis. "Kita udah dewasa, please jangan kekanakan."

"Kamu cinta sama aku, kan?" tanyanya. Aku menahan kesal. Pertanyaan menjurus ke mana lagi ini?

"Cinta, pake banget."

"Kalau gitu kita nikah. Terima lamaran aku." Lelaki beralis tebal ini menatapku serius.

"Dalam waktu dekat nggak bisa, Sayang. Mungkin tahun depan. Aku mau ke luar daerah tahun ini, ada banyak agenda workshop dan juga kopdar komunitas. Semua itu bahkan dibiayai, jadi aku bener-bener nggak bisa ngelepas kesempatan ini. Sekalian juga promosiin buku. Sekarang waktunya aku fokus ke impian. Ini waktunya."

Asgar yang tadinya tersenyum mendadak berdecak. Dia mengacak rambut yang hampir grondong itu. "Dengan kata lain kamu mau ketemu Akif di sana?"

"Asgar-," Aku marah tertahan. Dia terlalu posesif.

"Please, Sweety. Aku laki-laki mapan, udah waktunya nikah. Kita bisa hidup berdua dengan baik. Kamu pengen hidup lebih baik, kan? Aku bisa kasih itu. Kamu berhenti kerja. Kita bisa mulai semua sama-sama. Mau, ya?" Dia memohon.

Tak terasa mataku berkaca-kaca. Hati rasanya ingin teriak. Aku tahu hubungan kami ini serius untuk menikah, tapi sekarang aku belum siap. Aku ingin mewujudkan mimpi-mimpi kecilku sebelum benar-benar menjadi istri orang. Kata penerbit, naskahku ini telah menarik minat beberapa rumah produksi. Dengan kata lain akan ada kesempatan untuk difilmkan. Bukankah ini kesempatan besar? Aku harus fokus dulu mengurusi semua ini.

"Kalau kamu siap nunggu setahun lagi, aku bakal terima. Kita nikah saat itu juga." Nadaku bergetar.

"Kenapa? Kamu nggak yakin aku bisa bahagiain kamu? Memang kerjaan aku cuma di bengkel, tapi aku bisa bikin kamu bahagia. Hidup kita bakal tenang. Kamu nggak perlu kerja online sampe tengah malam. Aku pengen kamu berhenti ngelakuin itu."

"Kamu sadar nggak sih, Gar, kamu ngajak aku nikah sekaligus ngingkarin janji yang kamu buat?"

Asgar menatap bingung.

"Kamu janji buat bahagiain aku, tapi pengen setelah nikah aku berhenti dari dunia literasi. Itu sama aja kamu ingkar janji karena bahagiaku cuma di situ. Bukan sekadar kerja, tapi itu hobi dan impianku juga. Itu duniaku dan kamu cintaku. Aku nggak mau dipaksa milih salah satu aja."

Aku sudah menangis, terisak. Asgar mencoba menenangkan.

***

Tiga bulan berlalu. Suasana bandara terasa lengang. Mama dan Papa memelukku erat.

"Jaga diri di sana, ya, Harika," ujar Mama berkaca-kaca. Aku mengangguk, kembali melihat tiket ke Jakarta. Setelah sebulan yang lalu selesai agenda di beberapa daerah, kini aku mantap untuk menetap dulu di Jakarta berkat saran dari editorku. Naskahku akan segera dibuatkan script. Selamat tinggal, kota kecil. Doakan aku dan impian serta keinginan-keinginan ini lekas menjadi nyata. Tunggu aku pulang.

Tak lama ponselku bernyanyi. Ada panggilan masuk. Dari Asgar ternyata.

"Halo, iya ini aku mau berangkat, Gar."

"Aku masih nggak rela aja kamu pergi, Harika. Semangat gapai mimpi. Maaf sempat maksain kamu buat milih. Malam itu aku terlalu emosi. Doakan besok pernikahanku dengan orang lain lancar." Suaranya terdengar dipaksakan baik-baik saja.

Aku terkekeh meski perih menjalari hati, mengangguk. Mata mendadak terasa panas. "Pasti, Gar."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun