Suatu sore, selepas hujan, aku baru saja menangis setelah ditolak saat menyatakan cinta. Orang itu bernama Danau, lelaki yang pernah memberiku payung saat hujan. Katanya, dia memang baik pada semua orang. Aku cukup malu menyadari bahwa selama ini cintaku hanya sepihak. Kukira dia juga rasa yang sama, ternyata hanya aku yang terlalu mendamba. Kukira dia jahat, andai dia tidak memberiku payung sore itu, aku tidak akan pernah menaruh rasa padanya sedalam ini.
Lalu hujan itu datang lagi, dan gerimisnya menyadarkan aku bahwa tidak ada larangan untuk berbuat baik. Aku hanya korban drama dan cerpen romantis sehingga meromantisasi tiap momen kecil yang bagi Danau itu hanya sebuah simbol kebaikan. Kusadari akulah yang jahat pada diriku. Hatiku terlalu lembut dan menguasai akal sehat sehingga hal ini terjadi. Namun, aku belajar satu hal, bahwa memaafkan masa lalu adalah hal penting. Bahwa apa pun yang telah terjadi, aku sudah berdamai dengan kebodohan dan rasa penyesalan itu.
Seperti hujan saat ini, hujan yang membuatku terduduk melamun kenangan saat masa SMA. Teringat Danau dan payung pemberiannya. Teringat diriku yang pernah sebegitu berani menyatakan cinta. Aku hanya tersenyum. Apa pun rasanya, pahit atau bahkan terlalu asin, hujan tetaplah momen favoritku.
Aku masih termenung di tengah hujan. Di tengah syahdunya kenangan yang not-notnya melagukan syair indahnya masa remaja. Lalu sebuah mobil singgah di depanku. Senyumku berusaha kunetralkan, takutnya orang di mobil itu mengira ada orang gila yang duduk tersenyum sendiri di halte bus. Rupanya aku sadar bahwa orang itu tidak kalah gilanya. Untuk apa dia berteduh padahal dia jelas-jelas tidak akan basah di dalam mobilnya itu?
"Saya lagi pengen nikmatin hujan kali ini," katanya seolah-olah membaca tatapanku. Jujur aku agak malu sebab aku terlihat seperti mencampuri urusan orang lain.
"Maaf, saya bikin kamu kurang nyaman. Ternyata kita sama, pengen nikmatin hujan terakhir di musim ini," kataku berusaha ramah.
Dia tersenyum memamerkan deretan gigi-gigi kecilnya yang rapi. Dari pakaiannya, sepertinya dia kerja kantoran. Terlebih potongan rambutnya yang rapi, sangat mencerminkan pribadi yang teratur.
Tak kusangka dia mengajakku kenalan. Katanya, namanya Awan Dermaga. Cukup unik dan seperti cocok sekali dengan dirinya. Aku ikut memperkenalkan diri, kataku aku diberi nama Nada Gerimis. Itu nama sungguhan, yang barangkali melatarbelakangi mengapa hujan selalu spesial bagiku, apa pun momennya, sebab aku adalah bagian dari hujan, akulah gerimisnya.
Lalu lelaki ini tertawa. Dia tidak mau dipanggil Awan, sebab baginya dia adalah dermaga, yang selalu menanti kapal tercintanya untuk kembali. Dia tidak ingin kapal itu hanya sekadar mampir, kali ini dia akan melawan takdir jika hal itulah yang mampu mengembalikan kapal itu dalam pelukannya.
Sungguh dalam, sebuah pemikiran yang tiba-tiba membuatku kagum. Maka jangan heran aku tidak lagi kaget saat dia menyebut bahwa dia adalah pekerja seni, yang baru saja pulang dari galeri tempatnya memamerkan karya lukisnya. Bukan pekerja kantoran seperti yang kuduga.
Jujur aku tidak begitu memahami seni lukis, terlebih saat dia lewat ponsel genggamnya memperlihatkan karya terbaiknya. Gambar itu adalah sebuah pulpen, yang seperti menari, tapi di tubuh pulpen itu terlukis hujan yang jika dilihat dari jauh ada sepasang mata di atas hujan itu. Apakah itu pulpen yang bahagia di luar, tapi hatinya menangis? Aku sulit menginterpretasi, maka terbitlah sebuah pertanyaan, kisah apa yang begitu spesial hingga pulpen ini teramat spesial dan lebih mengejutkan lagi pernah ditawar dengan harga yang cukup fantastis, meski dia dengan bangga berkata bahwa itu tidak untuk dijual.