Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Cerita fiksi. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Cerita Dini Hari

18 Mei 2024   13:31 Diperbarui: 27 Mei 2024   16:15 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Horor. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Mystic Art Design

"Ibu, aku takut," desisku dalam heningnya kamar. Kasur ini terus saja diketuk dari kolongnya. Hanya ketukan pelan yang kadang disengaja berirama.

Aku bisa saja berteriak atau lari di kamar Ayah dan Ibu, tapi tentu mereka akan marah seperti malam-malam sebelumnya. Berkata itu hanya halusinasiku dan melarang berteriak sebab tetangga mengeluh terganggu dengan teriakanku yang tiba-tiba di tengah malam.

Sebenarnya Ayah dan Ibu peduli. Mereka bahkan menemaniku tidur di kamar ini. Lalu entah mengapa hanya aku yang bisa mendengar irama ketukan dari bawah. Mereka malah tertidur pulas. Dengan secuil keberanian aku mengambil senter dan mengecek kolong. Tiba-tiba saja ada yang bergerak dan mendekatiku begitu cepat. Aku kaget dan berteriak ketakutan. Ayah dan Ibu terbangun dan menemukan seekor kecoa yang tak lama bergegas terbang menjauh. Dari situlah mereka percaya bahwa aku hanya berhalusinasi.

Ayah bilang jangan terlalu memikirkan yang aneh-aneh, padahal karena ketukan itulah aku jadi was-was dan sulit tidur saat malam hari. Aku jujur kadang memeriksa kolongku itu, tapi yang kutemukan hanya gelap. Cahaya senter tidak menemukan apa pun di sana. Lalu saat tidur lagi, ketukan itu kembali terdengar.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku makin hampir gila memikirkan ini. Nilai-nilaiku di sekolah merosot, posisiku yang sering ranking satu kini direbut oleh temanku, si tetangga sebelah rumah. Ibu bilang berat badanku turun drastis dan kantung mata mulai membesar yang membuatnya menyuruhku untuk berhenti bergadang. Aku bahkan kesulitan tidur meski sudah menelan tablet pahit yang katanya sebagai obat tidur. Seperti malam ini, mataku masih segar dan di bawah sana ketukan itu kembali terdengar.

Aku berdegup kencang ketika ketukan itu terhenti dan di pinggir kasur tergeletak tangan kotor berkuku panjang. Tangan itu bergerak-gerak entah mencari apa, hingga tiba-tiba tangannya terus memanjang dan kurasakan kuku itu sempat menyentuh sekitar mataku.

"TOLONGGG!!!"

Di malam itu juga Ibu dan Ayah membawaku ke rumah sakit sebab mereka menemukanku pingsan dengan wajah terkena cakaran. Kini mereka percaya bahwa bahwa aku tidak berhalusinasi. Setelah itu akhirnya mereka punya solusi terbaik. Kasurku diganti dengan kasur tanpa kolong.

Sebenarnya mereka menawariku untuk tidur bersama lagi atau bahkan mengajakku pindah rumah. Namun, aku telanjur betah di lingkungan yang tenang ini yang tidak ada perisakan antar anak-anak seperti di lingkungan kami yang dulu. Mereka menuruti itu. Kata Ayah, apa pun itu, aku berhak memutuskan sesuatu sendirian karena aku sebentar lagi akan beranjak dewasa dan mereka akan menghormati keputusan itu. Kalimat itu terus berputar dalam benakku.

Suatu malam, aku mendengar ketukan itu lagi padahal kasur ini tidak punya kolong. Lalu seperti kejadian terakhir kali, di tepi kasur mendadak ada tangan kotor berkuku panjang yang bergerak-gerak entah mencari apa.  Aku begitu ketakutan hingga berlari keluar kamar. Aku hampir mengetuk kamar Ayah dan Ibu, tapi teringat lagi kalimat Ayah.

Entah mendapat keberanian dari mana, tiba-tiba saja aku berjalan lurus ke dapur. Setelah mengambil pisau, aku perlahan menuju kamar dan dengan sisa keberanian aku memotong-motong tangan kotor itu hingga ia berhenti bergerak.

Sejak saat itu tidak ada lagi insiden ketukan ataupun tangan kotor yang muncul. Perlahan waktu tidurku membaik dan segalanya terasa kembali normal. Suatu pagi aku hampir telat ke sekolah karena terlalu lama duduk diam sebelum mandi. Aku hampir saja menabrak tetangga sebelah yang baru saja keluar dari pintu apartemennya. Dia adalah ayah dari temanku itu yang kini kembali ke posisi ranking 2.

Ayah temanku ini tersenyum dan memaklumiku tindakanku yang buru-buru. Katanya akhir-akhir ini aku terlihat bahagia tanpa beban. Aku memikirkan itu sepanjang perjalanan ke sekolah. Bukan apa-apa, tapi aku baru sadar bahwa sejak beberapa waktu ini tangannya itu selalu diperban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun