Ingatkah kalian pada memori di Jembatan Bypass saat sore hari kita nongkrong sehabis pulang kuliah? Kira-kira begitulah yang dapat terbaca di mata Difa. Di kafe yang biasa mereka datangi bahkan setelah dua puluh menit duduk bersama, tak ada seorang pun yang mau bicara. Meski mulut diam, mata tentu tak dapat berbohong ada ribuan kata yang ingin diutarakan.
Difa sungguh ingin mempertanyakan kalimat itu sejak tadi. Pasalnya di sanalah mereka berjanji akan selalu bersama. Berjanji tidak akan  saling menjauh apa pun yang terjadi.
Sayangnya kehidupan tak selurus itu. Ada-ada saja yang datang menguji. Termasuk keinginan Hani yang akan melanjutkan studi di pulau seberang serta Djian yang ingin kerja di ibu kota.
Tersebab itu, Fara dan Septi yang bukan berasal dari Gorontalo akhirnya memutuskan akan pulang ke kampung masing-masing, tepatnya di Buol dan Bitung. Difa merana sendiri karena dia akan tetap di kota ini dan pastinya lebih berat karena di setiap sudut kota itu ada kenangan mereka berlima.
"Aku udah bilang aku bisa nyari kerja aja di sini, tapi kalau Hani tetap pengen studi di Jawa sana, ya aku juga mau ke sana. Hani bilang itu udah mimpinya, padahal pindah ke Jakarta juga mimpi aku sejak dulu. Aku bertahan di sini karena kalian berempat. Tapi kalau kita nggak berlima lagi, buat apa aku di sini?" Djian akhirnya bicara.
Hani mati-matian menahan untuk tidak menjawab. Pasalnya kalau dia angkat bicara, pasti akan tambah keruh. Pasti kejadian seminggu lalu saat dia berdebat dengan Djian akan terulang lagi. Kasihan Difa yang mati-matian merencanakan pertemuan ini.
Septi sungguh bersyukur Hani memilih diam. Dari mereka berempat, Hani selalu punya jawaban logis. Sayangnya Djian kadang bersebrangan dengan pendapatnya. Hani berpikir dia harus melanjutkan mimpinya sekalipun harus meninggalkan mereka berempat. Djian tak setuju karena dia mengutamakan persahabatan mereka dan menganggap Hani egois.
Fara menghela napas. Semua terlalu rumit. Dilihatnya Djian yang memakai kemeja warna merah tampak menahan marah. Perpaduan yang klop.
"Oke guys, kita ngumpul di sini bukan buat debat part 2. Aku ada solusi. Sebagai yang paling tua dari kalian, aku harap ini keputusan yang bijak. Kita memang sahabatan, tapi itu bukan alasan kita buat nggak ngejar impian masing-masing. Ending-nya sekuat apa pun janji kita yang nggak mau pisah, akan tetap ada bagian kita pisah mau itu sementara atau selamanya. Kalau pengen perpisahan yang sementara, ayo nikmati momen sebelum kalian pada pergi. Kalian berangkat tanggal berapa?" Difa menatap mereka satu-persatu.
"Bulan depan aku harus ngurus berkas pendaftaran," kata Hani.
"Aku balik ke Bitung kalau Hani udah pergi." Septi tersenyum paksa.
"Aku setelah mereka bertiga pergi," timpal Fara.
"Pengumuman lolos kerja hari Kamis ini, kalau diterima hari Minggu aku udah berangkat."
Ucapan Djian membuat semua menahan napas sejenak. Secepat itukah? Namun, Difa lekas mengambil alih suasana. Katanya dia telah merencanakan tempat-tempat yang harus mereka kunjungi sebelum berpisah.
Setelah pertemuan di kafe itu, mereka sepakat untuk lanjut pergi ke Danau Perintis. Ketenangan danau membawa memori saat-saat masih kuliah dulu. Ada Septi yang begitu semangat untuk naik perahu bebek yang disewakan serta Djian yang akan ditariknya agar segera naik.
Piknik di sana sepertinya keputusan yang tepat. Hari berganti dan kini mereka di Yumme Korean Food. Tempat rekomendasi Fara yang begitu menyukai K-Pop. Difa yang punya lidah 'udik' seperti kata Fara, pada akhirnya terselamatkan dengan adanya menu omurice.
Di sanalah mereka menghabiskan waktu mengobrol tentang banyak hal. Mulai dari tetangga indekos Septi yang kemarin kemalingan payung sampai mamanya Hani yang suka mengunggah foto Hani di Facebook-nya. Kata mereka, Hani adalah idaman ibu-ibu Facebook.
Mereka juga mendatangi Lapangan Taruna Remaja. Ada banyak penjual dan wisata mainan untuk anak-anak. Mereka ke sana menyewa motor listrik lalu mengelilingi lapangan tersebut. Difa yang tidak bisa naik motor harus puas dengan menjadi penumpang Djian.
Di lain kesempatan mereka ke Stadion Olahraga Gelanggang yang setiap pagi pasti banyak orang berolahraga. Biasanya jogging dan di weekend selalu ada senam pagi sepaket dengan instrukturnya. Septi yang langganan bangun siang harus memasang alarm berturut-turut agar tepat waktu. Sayangnya Hani tidak bisa datang. Dia bahkan terlambat konfirmasi di grup padahal yang lain sudah menunggu di lokasi sejak tadi.
Sontak Djian marah. Pasalnya semalam dia sudah mendapat email resmi bahwa dia diterima. Otomatis dia harus berangkat hari Minggu. Sisa dua hari ini setidaknya Hani menghargai momen mereka.
Hal itu membuat mereka melewati Jumat tanpa momen. Hani sungguh merasa bersalah. Dia berusaha minta maaf hingga akhirnya Djian mau berkumpul lagi di hari Sabtu tepat di Jembatan Bypass. Sayangnya Djian tidak mau melihat wajahnya. Dia bahkan terang-terangan menghindari Hani. Katanya Hani selalu egois.
"Oke aku emang egois, Dji. Egois banget malah. Maaf aku selalu jadi masalah buat kalian. Kemarin aku udah siap-siap, tapi Mamaku mendadak sakit. Aku udah panik sampe lupa konfirmasi." Hani berkata sambil berkaca-kaca. Dia bahkan sudah menangis ketika Difa memeluk bahunya.
Djian sontak merasa bersalah. Sahabat macam apa dia yang selalu julid pada Hani tanpa mendengar penjelasannya? Lagi pula semalam dia sempat menonton podcast dari komika favoritnya. Di situ ada kalimat bahwa mimpi itu harus dikejar karena penyesalan akan selalu membekas bahkan sampai kita mati. Dia harusnya memahami posisi Hani. Bukan Hani yang egois, dia hanya manusia biasa yang punya mimpi.
Akhirnya Djian ikut menangis dan mereka berlima berpelukan. Membiarkan tatapan aneh dan penasaran dari orang yang berlalu-lalang di sana.
Kebersamaan mereka ditutup dengan karaoke di tempat rekomendasi Difa. Mereka mengekspresikan diri masing-masing. Septi dan Fara yang memegang mic sementara yang lainnya sebagai penari latar. Tidak jelas gerakannya yang memicu tawa dan kegilaan. Tidak jelas pula mereka sedang sedih atau bahagia karena tawa dan tangis sudah menyatu.
Hingga tibalah Minggu. Mereka berempat mengantar Djian sampai di Bandara Djalaluddin Gorontalo. Di situ juga terakhir kalinya mereka berpelukan dengan tangis sedih dan haru.
Mereka telah mengubah janji persahabatan bahwa hubungan mereka tidak akan putus tersebab jarak. Lagi pula mereka bisa berkumpul lagi di masa liburan. Pada akhirnya mereka yang selalu satu arah kini punya arah masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H