Hanya Deis yang bisa menolongku.Â
Kalimat itu terus berputar hingga akhirnya aku memutuskan sesuatu.
Maaf, Deis, tapi hanya ini yang bisa kupikirkan. Segera aku melakukan ritual pertukaran jiwa. Kutempelkan telapak tangan kanan kami dan bergegas membaca mantra.
"Aaaa!" Tiba-tiba saja Deis berteriak. Aku kaget dan terbangun. Tunggu dulu, bukankah yang sedang tertidur adalah Deis? Kenapa aku yang terbangun? Oh, ya ampun! Ritualnya berhasil! Sempurna!
"K-kenapa gue bisa ngeliat diri gue?" Deis terkejut dan segera menyadari sesuatu. "Lo ... lo kenapa milih gue, Nad!" Dia kaget dan mulai menangis histeris.
"Gue nggak punya pilihan lain, Dei. Maaf, tapi gue harus tetap hidup."
Deis meraung-raung ingin kami kembali bertukar jiwa. Cengkeraman tangannya di tubuh baruku terasa sakit. Aku berhasil melepaskan diri dan segera berlari menuju mobil. Deis mengejarku.
Kubalapkan mobil menuju kuburan Ayah. Itu satu-satunya tujuan yang terlintas. Kulihat dari spion, mobil Deis tidak kalah laju mengejar. Persetan! Toh sebentar lagi dia akan meninggal. Aku hanya butuh mengulur waktu hingga malaikat maut menjemputnya.
"Lo mau ke mana, Nad! Balikin tubuh gue!" teriaknya jauh di belakangku ketika kami telah sampai di kuburan.
Kupercepat lariku hingga tak terlalu memperhatikan jalan. Tepat di depan makam Ayah, aku tersandung akar tanaman lalu terbanting di makam sebelahnya. Ketika menatap nisannya, aku kaget. Napasku tercekat. Nisan itu telah berganti nama.
Deisa Anafi binti Danial