Banyak tulisan yang kita temukan membahas tentang penyanderaan pajak dan hampir semua memberikan pengertian untuk penyanderaan pajak sama dengan gizjeling.
Sebagai contoh dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2000 bahwa gijzeling diartikan dengan istilah “Paksa Badan”, yaitu upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seseorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam Rumah Tahanan Negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya.
Adapun tulisan lain menyatakan pengertian lain menurut UU Nomor 19 Tahun 1997 jo UU Nomor 19 Tahun 2000 bahwa gijzeling yaitu pengekangan sementara waktu kebebasan. Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Dari pengertian-pengertian diatas terdapat perbedaan pengertian, namun pada hakikatnya sama-sama mendefiniskan gijzeling merupakan upaya pengekangan sementara waktu terhadap debitur untuk memenuhi kewajiban membayar utangnya kepada kreditur.
Sementara ini penulis tidak menemukan kata-kata gijzeling dalam UU Nomor 19 Tahun 1997 jo UU Nomor 19 Tahun 2000, namun hanya ada kata penyanderaan yaitu dalam Pasal 1 angka 21 Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Begitupun dalam UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tidak ditemukan gijzeling hanya ada penyanderaan dalam penjelasan Pasal 2OA Ayat (8) Klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra merupakan dasar penagihan pajak yang akan dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Nilai klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra kedudukannya dipersamakan dengan utang pajak. Oleh karena itu, atas nilai klaim pajak tersebut dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal pajak melalui kegiatan menegur atau memperingatkan, menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan penyitaan, menjual barang yang telah disita, mengusulkan pencegahan, dan melaksanakan penyanderaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Selanjutnya gijzeling sendiri diatur dalam Pasal 209 sampai 224 HIR atau pasal 242 sampai dengan 258 RBg.
Penjelasan Pasal 224 HIR (Herzien Inlandsch Reglement)
1. Pasal 224 ini menerangkan, bahwa surat-surat yang dianggap mempunyai kekuatan yang pasti untuk dieksekusikan seperti surat keputusan hakim yaitu:
- surat utang memakai hipotik.
- surat utang yang dilakukan di hadapan notaris (akte notaris) yang kepalanya memakai perkataan-perkataan dahulu "Atas nama Raja", kemudian berturut-turut diubah menjadi "Atas nama Republik Indonesia", "Atas nama Undang-undang" dan sekarang berdasarkan pasal 4 UU Pokok Kehakiman No. 14/1970 menjadi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
2. Apabila surat-surat yang tersebut di atas itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih sebagai tempat tinggalnya, akan tetapi mengenai paksaan badan (sanders = gijzeling) hanya dapat dilakukan apabila sudah diizinkan dengan keputusan pengadilan negeri.
Kesimpulan penulis bahwa pengertian penyanderaan pajak berbeda dengan gijzeling, gijzeling digunakan dalam hukum perdata dan pidana, sedangkan hukum pajak adalah hukum administrasi negara yang lebih tepat disebut penyanderaan atau sandera pajak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H