Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Itu sungguh benar. Pada seorang ibu, seorang bayi belajar mengenali dan berinteraksi dengan orang lain. Sosok inilah yang dengan sabar memuaskan lapar dahaganya sang bayi. dengan sabar mengajarkan cara makan dan minum, duduk, berjalan, berbicara. Ia juga mengajarkan membaca, menulis, budi pekerti yang luhur dan mengendalikan emosi. Tentu dengan caranya yang unik dan berbeda bagi setiap ibu. Begitu pula dengan ibuku.Â
Ibuku adalah putri seorang wedana di  Wonosari, Yogyakarta sebelum masa gestapu. Kakek seorang wedana yang baik, pemurah dan sangat dekat dengan rakyat. Beliau juga menyediakan tempat menginap dan kebutuhan sehari-hari bagi pemuda-pemuda desa yang bersekolah di Yogya.
Kakek mengasuh mereka seperti putra-putrinya sendiri. Begitupun perlakuan kakek kepada para ajudan dan pelayannya. Nyaris tak ada sekat antara abdi dan bendara (majikan). Kakek juga seorang penganut katholik yang taat. Ibu dan adik-adiknya tumbuh dalam lingkungan yang nyaman, saling memberi dan penuh kasih sayang.
Selepas gestapu, tahun 1965, Ibu kehilangan ayah dan uwanya. Nenek dibantu beberapa ajudan kakek terpaksa membawa kedelapan putra-putrinya mengungsi. Rumah, sawah dan kebun terpaksa ditinggalkan demi menyelamatkan hidup.Â
Mereka hijrah ke Semarang dan menempati tanah dan rumah dari sepupu nenek yang tinggal di Semarang. Waktu itu, usia Ibu baru 17 tahun, baru lulus SMEA. Dengan ijazah itu beliau kemudian mengajar sekolah dasar dan tinggal bersama pamannya yang juga tinggal di Semarang. Rumah paman beliau dekat dengan sekolah tempat Ibu mengajar.Â
Dua tahun berikutnya, Ibu menerima lamaran Ayah yang ingin emperistri beliau. Â Seseorang yang belum pernah dikenalnya, berusia 17 tahun lebih tua
darinya. Wajah Ayah mengingatkan Ibu pada kakek. Ibu berpikir, bila wajahnya bisa mirip, barangkali sifatnya juga serupa. Beliau menjadi mualaf dan berhenti mengajar setelah menikah dengan Ayah.
Perkiraan Ibu tentang Ayah ternyata bertolak belakang dengan kenyataan. Ayah seorang temperamental dan kasar, mungkin karena masa kecil beliau dibesarkan dalam lingkungan yang keras dan kasar. Apabila ada sesuatu yang tak berkenan, beliau tak segan mengayunkan tangan dan kaki. Hampir semua putra-putrinya pernah merasakan lecutan selang plastik atau gagang sapu buah kemarahannya.Â
Kami berenam bersaudara sangat menyayangi Ibu, tapi kurang menyukai kehadiran Ayah. Bila beliau datang, semua putra-putrinya segera masuk kamar, pura-pura belajar, atau pura-pura tidur. Bila beliau tidak ada, kami semua merasa merdeka dan bebas bermain bersama. Si Bungsu bahkan sampai pernah merengek pada Ibu untuk menukarkan Ayah di pasar. Ditukar dengan ayah yang suka bawa tas koper, pakai dasi dan enggak suka marah-marah, katanya. Hehe... namanya juga permintaan anak balita, terkadang bikin geli juga.
Bukan sekali dua, Ayah melakukan kekerasan pada anak-anak, tapi tak sampai melakukan kekerasan fisik pada Ibu. Meski demikian beliau acapkali terluka mendapati perlakuan Ayah pada anak-anaknya. Â Hal ini kuketahui dari membaca buku diari beliau.Â
Ibu suka menulis. Menurut beliau, menulis adalah tempat curhatnya. Bila mendapati hal-hal yang tidak menyenangkan, dan menyesakkan dada, beliau akan menuliskannya. Setelah beberapa waktu, beliau akan menyobek dan membuang tulisan itu ke tempat sampah. Setiap kali kudapati Ibu menangis diam-diam di kamar, pasti berikutnya kutemukan sobekan tulisan Ibu di tempat sampah.Â
Bila mendapati hal-hal yang menyenangkan atau kelucuan putra-putrinya, beliau pun menuliskannya dan membiarkan tulisan itu tetap berada dalam
buku diari. Terkadang, aku suka sembunyi-sembunyi meminjam buku diari Ibu dan membacanya. Dari sanalah (mungkin), virus keinginan menulisku berasal. Terinspirasi dari kebiasaan beliau. Belakangan kuketahui bahwa apa yang beliau lakukan adalah upaya untuk menyembuhkan dirinya yang terluka dengan menulis. Writing is healing.
Ayah juga kurang peduli dengan pendidikan untuk putra-putrinya. Beliau acapkali berargumen bahwa sekolah tak terlalu penting. Â Beliau yang hanya tamatan SD saja bisa mendapat pekerjaan, tapi banyak lulusan sarjana yang malah jadi pengangguran. Karenanya Ibu memutuskan kembali mengajar agar bisa menyekolahkan putra-putrinya. Meski keberatan, Ayah akhirnya mengijinkan Ibu mengajar dan menyekolahkan kami. Â