Mohon tunggu...
fatmasari titien
fatmasari titien Mohon Tunggu... Penulis - abadikan jejak kebaikan, jadikan hidup penuh manfaat

ibu profesional, pembelajar dan pegiat sosial.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Madrasah Sepanyang Hayat

24 November 2020   16:21 Diperbarui: 24 November 2020   16:28 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Itu sungguh benar. Pada seorang ibu, seorang bayi belajar mengenali dan berinteraksi dengan orang lain. Sosok inilah yang dengan sabar memuaskan lapar dahaganya sang bayi. dengan sabar mengajarkan cara makan dan minum, duduk, berjalan, berbicara. Ia juga mengajarkan membaca, menulis, budi pekerti yang luhur dan mengendalikan emosi. Tentu dengan caranya yang unik dan berbeda bagi setiap ibu. Begitu pula dengan ibuku. 

Ibuku adalah putri seorang wedana di  Wonosari, Yogyakarta sebelum masa gestapu. Kakek seorang wedana yang baik, pemurah dan sangat dekat dengan rakyat. Beliau juga menyediakan tempat menginap dan kebutuhan sehari-hari bagi pemuda-pemuda desa yang bersekolah di Yogya.
Kakek mengasuh mereka seperti putra-putrinya sendiri. Begitupun perlakuan kakek kepada para ajudan dan pelayannya. Nyaris tak ada sekat antara abdi dan bendara (majikan). Kakek juga seorang penganut katholik yang taat. Ibu dan adik-adiknya tumbuh dalam lingkungan yang nyaman, saling memberi dan penuh kasih sayang.

Selepas gestapu, tahun 1965, Ibu kehilangan ayah dan uwanya. Nenek dibantu beberapa ajudan kakek terpaksa membawa kedelapan putra-putrinya mengungsi. Rumah, sawah dan kebun terpaksa ditinggalkan demi menyelamatkan hidup. 

Mereka hijrah ke Semarang dan menempati tanah dan rumah dari sepupu nenek yang tinggal di Semarang. Waktu itu, usia Ibu baru 17 tahun, baru lulus SMEA. Dengan ijazah itu beliau kemudian mengajar sekolah dasar dan tinggal bersama pamannya yang juga tinggal di Semarang. Rumah paman beliau dekat dengan sekolah tempat Ibu mengajar. 

Dua tahun berikutnya, Ibu menerima lamaran Ayah yang ingin emperistri beliau.  Seseorang yang belum pernah dikenalnya, berusia 17 tahun lebih tua
darinya. Wajah Ayah mengingatkan Ibu pada kakek. Ibu berpikir, bila wajahnya bisa mirip, barangkali sifatnya juga serupa. Beliau menjadi mualaf dan berhenti mengajar setelah menikah dengan Ayah.

Perkiraan Ibu tentang Ayah ternyata bertolak belakang dengan kenyataan. Ayah seorang temperamental dan kasar, mungkin karena masa kecil beliau dibesarkan dalam lingkungan yang keras dan kasar. Apabila ada sesuatu yang tak berkenan, beliau tak segan mengayunkan tangan dan kaki. Hampir semua putra-putrinya pernah merasakan lecutan selang plastik atau gagang sapu buah kemarahannya. 

Kami berenam bersaudara sangat menyayangi Ibu, tapi kurang menyukai kehadiran Ayah. Bila beliau datang, semua putra-putrinya segera masuk kamar, pura-pura belajar, atau pura-pura tidur. Bila beliau tidak ada, kami semua merasa merdeka dan bebas bermain bersama. Si Bungsu bahkan sampai pernah merengek pada Ibu untuk menukarkan Ayah di pasar. Ditukar dengan ayah yang suka bawa tas koper, pakai dasi dan enggak suka marah-marah, katanya. Hehe... namanya juga permintaan anak balita, terkadang bikin geli juga.

Bukan sekali dua, Ayah melakukan kekerasan pada anak-anak, tapi tak sampai melakukan kekerasan fisik pada Ibu. Meski demikian beliau acapkali terluka mendapati perlakuan Ayah pada anak-anaknya.  Hal ini kuketahui dari membaca buku diari beliau. 

Ibu suka menulis. Menurut beliau, menulis adalah tempat curhatnya. Bila mendapati hal-hal yang tidak menyenangkan, dan menyesakkan dada, beliau akan menuliskannya. Setelah beberapa waktu, beliau akan menyobek dan membuang tulisan itu ke tempat sampah. Setiap kali kudapati Ibu menangis diam-diam di kamar, pasti berikutnya kutemukan sobekan tulisan Ibu di tempat sampah. 

Bila mendapati hal-hal yang menyenangkan atau kelucuan putra-putrinya, beliau pun menuliskannya dan membiarkan tulisan itu tetap berada dalam
buku diari. Terkadang, aku suka sembunyi-sembunyi meminjam buku diari Ibu dan membacanya. Dari sanalah (mungkin), virus keinginan menulisku berasal. Terinspirasi dari kebiasaan beliau. Belakangan kuketahui bahwa apa yang beliau lakukan adalah upaya untuk menyembuhkan dirinya yang terluka dengan menulis. Writing is healing.

Ayah juga kurang peduli dengan pendidikan untuk putra-putrinya. Beliau acapkali berargumen bahwa sekolah tak terlalu penting.  Beliau yang hanya tamatan SD saja bisa mendapat pekerjaan, tapi banyak lulusan sarjana yang malah jadi pengangguran. Karenanya Ibu memutuskan kembali mengajar agar bisa menyekolahkan putra-putrinya. Meski keberatan, Ayah akhirnya mengijinkan Ibu mengajar dan menyekolahkan kami.  

Tak hanya mengajar, di luar jam mengajar Ibu juga berjualan pecel dan gorengan di depan rumah. Beliau juga tak sungkan dipekerjakan untuk  merawat orang sakit pada waktu-waktu tertentu.  Berkat Ibu pula, semua putrinya selesai kuliah dan bekerja sesuai bidangnya. Maa syaa Allah, perjuangan Ibu sungguh takkan terlupakan.

Ibu baru mempelajari islam dengan benar di usia 10 tahun pernikahan. Beliau tidak segan belajar mengeja huruf alif ba' tsa' bersamaku. Demikian juga dalam memperbaiki bacaan sholatnya. Beliau juga aktif mengikuti kegiatan pengajian dan kegiatan sosial yang lain. Meski Ayah seorang yang keras dan kaku, beliau mengijinkan Ibu untuk belajar agama lebih dalam.

Ibu adalah orang paling sabar yang pernah kukenal. Bahkan meski ada orang yang tak dikenalnya tiba-tiba mencacinya di pasar, beliau tetap diam dan tidak membalas cacian itu. Hingga di kemudian hari, orang yang mencacinya datang ke rumah dan meminta maaf karena telah salah menuduh orang. Ibu pun memaafkannya dan malah menjalin hubungan baik dengannya sampai kini. 

Ibu juga memaafkan dan tetap menjalin kekerabatan dengan nenek dan adik-adiknya meski mereka tidak merestui pernikahan Ibu dengan Ayah. Berkali-kali mereka meminta Ibu untuk berpisah dengan Ayah dan menikah dengan pilihan nenek yang seagama. Meski tidak suka dengan permintaan nenek, Ibu tetap bersabar dan berbuat baik pada mereka. Di kemudian hari, nenek akhirmya merestui Ibu dan Ayah.

Ibu memang bukan perempuan yang sempurna. Terkadang kami mengajukan protes ketika merasa waktunya habis untuk menambah penghasilan. Terkadang kami juga merajuk ketika beliau terlambat mengambil rapot karena urusan tertentu. Namun, beliau selalu memaafkan kami. 

Dari Ibu, kami belajar filosofi air. Seperti yang kita lihat, air itu akan terus mengalir ke bawah sesuai hukum alamnya. Ketemu rintangan dia berbelok, ketemu celah sempit dia menyelip, ketemu batu besar dia menyibak, ketemu tanggul dia mengumpulkan diri, membesar lalu meninggi dan menumpahkan diri melewati bendungan untuk terus mengalir lagi hingga kembali ke samudra luas. Begitulah seharusnya kita. Tak boleh
lekas menyerah. 

Hidup ini ujian dan bila Allah memberikan ujian, semua pasti disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan kita. Bila tidak menyerah, pasti kita
dapat melewatinya.

Coba lihatlah air sungai dan selokan. Dalam perjalanannya, terkadang ikut pula terbawa kotoran berbagai macam, terkadang mengotori lahirnya yang tak lagi terlihat bening, tapi keruh, menghijau, kecoklatan atau bahkan menghitam. Sungguh tak elok dilihat dan dinikmati. Namun dia akan terus berjuang, walau terkadang panas mentari menghabiskan raganya hingga tak bersisa, atau tertatih- tatih hingga percikannya sampai ke muara, membersihkan segala daki dan kembali suci lagi mensucikan dalam samudra luas. 

Begitupun kita, manusia selalu diikuti salah dan khilaf, terkadang juga lalai. Kesemua itu adalah kotoran jiwa yang harus dibersihkan. Dengan jiwa yang bersih, kita bisa melihat petunjuk Allah. Kita mudah menerima nasehat, untuk kemudian dapat memperbaiki diri.

Air terkadang terlihat seperti diam, tenang dan seolah tak melakukan apa-apa, sejatinya dalam tenang dan diamnya, dia terus berjuang habis-habisan agar bisa terus mengalir menuju muaranya. Begitu pula yang seharusnya kita upayakan. Jangan mudah protes, jangan mudah mengeluh. Muhasabah dirilah, barangkali ada banyak salah dan khilaf yang sudah kita lakukan. Dan Allah memberikan ujian sebagai peringatan. Agar kita kembali memperbaiki diri. Sejatinya apa yang dilakukan setiap orang, akan kembali kepada dirinya sendiri. Karenanya lakukanlah kebaikan. Dan ikutilah keburukan yang  terlanjur dilakukan dengan kebaikan. Maka semua itu akan menyelamatkanmu.

Dari Ibu, kami belajar merendah dan bertahan, serta memaafkan. Seperti sifat air yang mendinginkan dan menyejukkan, maka jadilah pemaaf dan jangan gengsi untuk meminta maaf. Maaf itu melanggengkan kasih sayang dan persaudaraan. Tidak ada yang dirugikan dan direndahkan bila manusia mau saling memberi maaf. Air juga alat bersuci dan membersihkan segala sesuatu. Demikian juga maaf, membersihkan hati  dari buruk sangka, dengki, hasad dan amarah.

Seperti air yang menetes di atas batu secara terus menerus, maka batu pun menjadi berlubang. Ungkapan ini berlaku pula untuk Ibu dan Ayah. Sifat Ibu yang seperti air perlahan melunakkan Ayah. 

Hingga di tahun-tahun terakhir kehidupannya, Ayah tak lagi dikenal sebagai sosok keras, kasar dan kejam. Beliau telah berubah menjadi seorang kakek yang penyayang dan peduli. Kepergiannya meninggalkan duka yang mendalam bagi kami semua, meski dahulu  sempat menyesalkan terlahir menjadi darah dagingnya. Semua adalah karunia Allah yang merupakan buah kesabaran Ibu.

Ibu tak hanya sekolah pertamaku.  Ketika aku menikah, beliau tetap menjadi guru yang mengajariku tentang segala sesuatu tentang kerumahtanggaan. Saat anak-anaku lahir, beliau menjadi tempat belajar untuk menjadi ibu. Pun ketika aku memiliki menantu pun, beliau tempat belajar menjadi mertua dan nenek yang baik. Maka tak berlebihan bila aku memaknai kehadirannya sebagai madrasah sepanjang hayat. I love you, mom. 

Ibu dan Ayah adalah dua cahaya yang menuntunku dalam belajar hidup dan kehidupan. Belajar cara mereka berrumah tangga, cara mereka mengasuh anak, juga bergaul dan bermuamalah dengan orang lain. Dari beliau berdua pula, kami belajar berproses. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam berproses untuk menjadi baik. Jadi, jangan mudah menghakimi. Bila ada sebagian perilakunya yang tak kita sukai, tentu  ada sebagian perilakunya yang lain, yang baik untuk kita. Tak ada yang sempurna.

Mereka memang bukan orang-orang sempurna. Ada kebaikan, ada pula keburukan. Ada sisi positif, ada pula sisi negatif. Ambil yang baik, terapkan yang positif saja. Tandai yang buruk dan buang semua yang negatif, jangan terapkan. Fokuslah pada kebaikannya saja, maka engkau akan dimudahkan Allah untuk melihat hal-hal yang positif. Inilah warisan yang kuambil dari mereka. Dan akan kuwariskan pada anak  cucuku kelak. Mudahkanlah kami ya Robbi.

Robbighfirlana wali walidaina warhamhuma kama robbayana shighoro. Ya Robbi, ampunilah kami dan kedua orang tua kami. Sayangilah mereka sebagaimana mereka memelihara kami sejak kecil. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun