PINTER KEBLINGER
Oleh: Fatma Elly
SUARA ITU GEGAP. Mengejek ramai dalam pekikan teriak. Meski kadang terdengar lucu dalam gaung yang dihantarkan. Sorak sorai semakin riuh mengiringi langkah-langkah kaki. Apalagi suara hardik sudah mulai menyelingi.
“Bodoh. Bodoh. Beginikah hasil didikan orang tuamu?! Bodoh! Bodoh!”, katanya. Raut muka masamnya menandakan kegeraman. Kulit merah wajahnya, membaurkan kemarahan. Matanya membulat besar. Membelalak.
MENDENGAR cetusan serupa ini, anak-anak semakin senang mempermainkan. Bersorak-sorak dan berteriak: “Pinter keblinger, pinter-pinter…keblinger!” teriak mereka.
Kemudian menghambur kabur, bilamana laki-laki tersebut mengejarnya dengan batu di tangan. Yang diambilnya dari jalan di mana ia berada.______________________________________________________
KEGADUHAN mulai terasa oleh penduduk setempat, karena perilaku dan kata-kata yang sering diucapkan laki-laki tersebut. Yang konon telah mengundang dan membuat rasa sakit hati serta panas yang berkorbar di antara warga.
Terutama para orang tua atau anak muda yang masih memiliki secercah rasa dan cita. Keinginan untuk memperbaiki lingkungan tempat mereka berdomisili. Agar terasa nyaman dari segala kemabukan.
SEMENTARA ITU, demi mengatisipasi kegiatan anak-anak muda berandalan yang senang narkotika dan pacaran, warga kampung membentuk satuan tugas di antara para pemuda yang baik.
Ada yang bertugas menasihati. Menembus relung jiwa mereka dengan ajakan lembut penuh kasih sayang. Seperti yang diajarkan al Qur’an melalui ayat ini:
”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik………..” (QS 16:125)
Ada pula yang mematai-matai. Mengirim salah satu teman mereka yang hanif, dan telah insaf, duduk di antara mereka. Dengan misi, mengamat-amati, memberi informasi. Dan melontarkan rumor kepada mereka; keberadaan mereka telah diketahui polisi. Dan sewaktu-waktu akan digerebek.
Ada pula yang secara keras. Lewat orang yang ditakuti di wilayah itu. Memiliki badan kekar dan kuat, yang mengancam mereka, bilamana masih melakukan hal-hal yang meresahkan dan dianggap mengganggu ketenteraman warga, mereka akan bertindak tegas. Pokoknya segala usaha dijalankan.
Bukankah, mengajak manusia kembali ke jalan Allah, diperlukan beragam cara? Baik perkataan, tulisan atau santunan sosial?
UNTUK ITU, beberapa pemuda baik tersebut,mendatangi rumah saya. Mengadukan perihalnya.
Bahaya virus yang tersebar, melalui ulah laki-laki itu, dikhawatirkan akan menularkan wabah penyakit rohani dan jasmani ke sekeliling. Apalagi mengingat anak muda di wilayah itu kebanyakan telah kecanduan minuman keras dan zat-zat adiktif semacam narkoba. Belum lagi perkumpulan pergaulan yang mereka bentuk. dan adakan. Antara lelaki dan perempuan, dengan perilaku bebas itu. Dimana semakin banyak saja di ganderungi. Disukai dan diminati para pemuda.
Mereka bertemu disana. Bersenang-senang, dengan pola hidup hedonis permisif yang mereka anut dan nikmati. Apalagi ada sang pengelola. Sang pemelihara. Semakin bergairah-lah mereka menjalaninya.
KONON, pendatang baru itu, kabarnya seorang pintar yang berilmu. Kalau berbicara membuat anak-anak muda yang memang kurang dalam masalah agama, individualis dan masa bodoh, cuek dengan segala hirukpikuk permasalahan Negara atau bangsa, apalagi umat, sangat merasa senang sekali dengan pembicaraannya. Menyukai.
Hilang rasa takut dan cemas yang kadang bersembunyi di balik sanubari mereka. Tertutup dan terkalahkan oleh rasa asyikmasyuk khayal yang dibuat lelaki itu. Yang diserap ucapan dan ajarannya, melebihi orang tua bahkan agama.
Bukankah setan memang senang menggoda dengan janji-janji, angan-angan kosong dan tipu daya?
"Syeitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka." (QS 4:120)
Ganja, putau, heroin, sabu-sabu, ataupun sejenis oplosan yang harganya lebih murah dari yang lain, membuat mereka terlena. Apalagi ditemani sang pendamping. Pasangan sekse. Klop-lah. Lupalah mereka pada segala. Sementara uang pun bukan menjadi masalah lagi.
Bukankah di rumah banyak barang yang bisa dijual? Banyak uang yang bisa dipinta sama orang tua? Atau.., kalau kebetulan punya pacar atau pasangan orang kaya, bisa minjam atau diberikan?
Kalau tidak dapat juga dengan cara begitu, sang bandar masih markir. Bisa traktir. Sebelum mereka sama terjerat masuk perangkap dan tidak bisa berkutik lagi. Terpukat dalam jaring-jaring yang dibuat sang bandar.
Pokoknya, bila dikasih minjam pun, bisa diganti nanti. Saat kesempatan mencuri tiba. Peluang terbuka. Dan mereka melakukannya tanpa rasa takut dan kesadaran yang masih tersisa.
Yang penting bagi merka; dunia nyata. “Saeculum”. ‘This present age’. Kini. Bukan besok. Apalagi dulu.
Dulu itu, usang! Out of date! Begitulah filosofi mereka!
“Orang asing itu memberikan pengajaran yang tidak benar dan tidak baik pada remaja kita di sini, Bu.” Ujar salah seorang di antara mereka. Ketika datang ke rumah saya. Mengadukan perihal keadaan tersebut. Pemuda pendatang baru, yang ramai diberi julukan sebagai orang ’pinter’. Banyak ilmu.
“Coba saja Ibu bayangkan, apa yang dikatakan orang berilmu itu Bu,” ucap salah seorang di antara mereka. Yang bernama Mamad. Yang diberi tugas untuk memata-matai, karena hanif. Dan sudah mulai insaf. Tak menyenangi kelakuan teman-temannya itu. Yang dianggapnya merugikan diri sendiri. Yang kemudian karena itu, digunakan warga kampung untuk mencari dan mendapatkan informasi melalui dirinya, sebagai mata-mata.
Atas kata-katanya itu, saya menjadi penasaran. Dan bertanya: “Apa yang dikatakannya itu, Dik?”
“Dia menyuruh melakukan apa saja, Bu. Asal bisa senang. Enjoy. Berbuatlah! serunya pada kawan-kawanku dulu itu. Jangan takut. Apa sih yang ditakutkan? Hidup ini kan, cuma begini. Kita hidup dan kita mati, karena masa. Tak ada apa-apanya. Kenapa mesti takut?”
Atas ucapan itu, saya langsung ingat sebuah ayat Al Qur’an:
Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS 45:24)
“PANTASLAH” pikir saya, “kalau mereka menamakan dunia ini hanyalah sebagai ruang. Atau 'Mundus’. Kosmos. Tempat dimana mereka memiliki dan memperoleh kesenangan.”
“Masa sih, tubuh yang sudah hancur jadi tulang-belulang, lebur bersama tanah, bisa hidup lagi!? ucap orang itu Bu, pada teman-teman,” cerita si pemata-mata. Pemberi informasi itu. Mamad.
Dan saya kembali teringat informasi Al Qur’an:
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa pada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS 36: 78-79)
SEDANG ALLAH dan hadis telah pula memperingatkan:
“Dan apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban?) (QS 75:36)
“Sesungguhnya Allah pasti menuntut pertanggung-jawaban dari setiap pengembala tentang gembalaan yang digembalakannya, apakah ia memelihara ataukah menyia-nyiakannya….” (HR. Ibnu Hibban)
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS 102:8)
SEMENTARA ITU, si pemuda pemberi informasi, yang datang bersama pemuda lainnya yang baik itu, Mamad, kembali bercerita. Memberi informasinya:
“Waktu itu ia berkata sinis, Bu; dengan senyum di bibirnya yang mengejek, ia remehkan soal pertangungan jawab. Katanya, peringatan tentang masalah tanggung jawab itu khayalan orang-orang bodoh. Orang-orang tua selalu menakuti anak-anak dengan kabar tentang akhirat. Tentang tanggung jawab. Tentang neraka. Dan kalian tau kan, kalian bukan anak-anak lagi? dan neraka itu hanya ada di sini. Di tempat kita ini. Bilamana kita tidak mau bersenang-senang memuaskan diri. Membiarkan mumet sumpek, ya itu neraka!? apalgi orang tua dan keadaan keluarga uda pada nggak bener! begitu katanya, Bu.”
“Atas kata-kata dan kalimatnya ini, para teman-teman sama menganggukkan kepala, Bu. Tertawa membenarkan, sambil mencemoohkan.” Ceritanya lagi.
“Iya..iya.., ucap mereka serentak itu, Bu. Hidup memang di sini. Di bumi ini. Dan mumpung masih hidup, lagi muda…sebelum mati, ayolah kita nikmati. Senang-senang. Puaskan hati!”
“Dan mereka pun tenggelam dalam kesenangan semu itu, Bu. Masing-masing meraup dan meraih apa yang disukainya. Ngisap ganja kek. Nyuntik putau atau ngebong sabu-sabu. Bahkan buat oplosan sendiri.” Ceritanya pula.
“Yang penting senang, kata mereka, Bu. Apalagi pasangan tepeluk dalam rangkulan. Dan mereka telah hanyut tenggelam dibuai nafsu. Mereka tak ingat lagi sama akhirat, Bu. Apalagi orang pinter itu bilang; akhirat hanyalah khayalan orang-orang bodoh yang belum dewasa!”
RACUN BERBISA yang sering dilontarkan sang pendatang baru, yang konon katanya berilmu itu, telah mempengaruhi cara berpikir, melihat, dan pandang serta bertingkah laku para remaja dan anak muda. Yang minim iman islamnya di kampung ini. Yang sudah terasuk dan terpengaruh budaya luar yang tidak baik dan tidak sesuai dengan adat ketimuran, pikir saya.
Setelah pemberi informasi itu terdiam sejenak, salah seorang pemuda, yang menjadi pimpinan di antara mereka, yang memiliki pengetahuan agama, berkata menyela:
“Iya Bu. Coba. Siapa yang tak gemas dan kesal, bila ia mengumbar racun pada pemuda warga kita dengan mengatakan: ...masa sih, Tuhan perlu dikenal dan diketahui dulu oleh yang diciptakan-Nya? Kan aneh? Berarti tuhan itu membutuhkan yang lain. Yang diciptakannya itu? Iya kan Mad, bukankah kau telah menceritakan itu kepadaku?” tanya dan ucapnya pada anak muda yang diberi tugas memata-matai dan memberi informasi itu. Wajahnya menatap di sejenak di sana. Di wajah Mamad.
Pemuda yang tugasnya memberi informasi itu, mengganggukkan kepala. Tanda membenarkan perkataan pemimpin rombongan itu.
Dan si pemimpin rombongan berkata lagi:
“Dan ia mengejek, lagi Bu. Kata Mamad, ia berkata; kalau tanpa kita nih…mana bisa dia jadi tuhan? kalian pernah dengar nggak salah satu hadis Qudsi yang mereka percayai tuh, tanyanya..”
DAN PEMIMPIN para rombongan pemuda itu pun kemudian membacakan hadis Qudsi kepada saya: “Aku adalah khazanah yang tersembunyi, dan Aku ingin hamba-hamba-Ku mengetahui-Ku.”
“Setelah itu, Bu,” pemuda tersebut kembali meneruskan perkataannya, setelah matanya terarah dan melihat ke wajah Mamad. Menujukan ucapannya padanya:
“Tidakkah ia berkata kepada teman-teman kalian Mad,: Nah pikir aja sobat, kesempurnaan Tuhan ternyata mengandaikan adanya makhluk ciptaan yang bisa mengetahui kesempurnaan-Nya. Bukankah begitu Mad?”
Mendengar ucapan yang ditujukan padanya, Mamad lalu menganggukkan kepalanya. Menggiyakan dan membenarkan.
Dan pemimpin pemuda tersebut berkata pula: “Bukankah ini keterlaluan Bu?“
Melihat saya diam, kembali ia meneruskan:
“Bukan hanya sekali dua kali ia menghina seperti itu, Bu. Tapi berulangkali. Masak kita mau diam saja?”
AKHIRNYA suara saya keluar juga:
“Begitulah Dik. Seorang bodoh dan zalim, tidak menempatkan sesuatu menurut proporsi yang hak. Dikiranya ia dapat menembus kelemahan dan keterbatasan dirinya,” kata saya. “Padahal sejauh-jauh ia memandang, ia tak akan dapat menjangkau hal-hal diluar kesanggupannya, Dik.”
"Bahkan jika lalat sebagai binatang kecil dan senang pada yang bau-bau, merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu." (lihat ibrah QS 22:73)
PEMUDA yang jadi mata-mata, pemberi informasi, Mamad, mengangguk-anggukkan kepalanya. Membenarkan. Begitupun pemuda sang pemimpin rombongan tadi.
“Iya. Benar Bu.” Kata mereka hampir serentak.
Sedang saya kemudian berkata lagi:
“Khazanah yang tersembunyi, sudah berani diartikan lain. Di sesuaikan dengan pola pemikiran manusia yang serba terbatas dan lemah. Tahukah dia, khazanah yang tersembunyi itu apa?” Tanya saya sinis.
Mereka sama terdiam. Tak menjawab perkataan saya. Tapi menunggu. Apa lagi kiranya yang akan saya katakan.
“Bagaimanapun kita hendak memeras otak dan akal kita, kita tidak akan mengetahuinya, Dik. Untuk mengetahui khazanah yang tersembunyi itu, kita tak akan mungkin bisa. Tak akan dapat.”
“Bukankah Allah Dzat non materi, tak dapat diserap dengan penglihatan? Tak dapat dicerap dan dilihat dengan indera? Begitu pula khazanah yang tersembunyi itu, Dik. Ghaib!”
Lalu saya bawakan satu ayat untuk menguatkan argumentasi:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS 6:103)
“Hanya Dialah yang Mengetahui yang ghaib. Manusia seperti kita, tidak bisa Dik.”
Dan kemudian saya membacakan satu ayat lagi:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata. (Lauh Mahfuzh).” ”(QS 6:59)
“Kita di sini, terutama para pemuda yang baik-baik, sudah tidak bisa mentolerir lagi, Bu. Ini kan penghinaan. Kita sudah mengadukannya pada Pak RT, Bu. Agar segera diambil tindakan. Sebab, jika dibiarkan, bisa lebih membahayakan warga. Ketimbang dari bahaya nyamuk demam berdarah!”
“Pemuda-pemuda di sini kan, Ibu tau sendiri. Banyak yang belum mantap iman dan Islamnya. Nah kalau terus menerus didiamkan, ia akan semakin menyebarkan virus. Apa tidak membahayakan?”
Saya manggut-manggut.
“Kita tidak boleh membiarkan, Bu. Harus bertindak tegas. Para orang tua juga menyetujui tindakan kita. Mereka meski tidak begitu paham perihal agama, tapi sangat fanatik. Kalau sampai agama Allah dan Rasul diejek, masa mau diam saja?”
“Jadi bagaimana? Apa yang akan kalian lakukan?” Tanya saya kemudian.
“Kita sepakat mau mengusirnya dari sini. Bukankah ia juga awalnya bukan warga sini?”
BEGITULAH. Sekelumit gambaran yang meresahkan warga. Membuat khawatir, cemas, takut, akan terjadinya pengikisan akidah dan kerusakan moral baik, oleh ulah si pendatang baru tersebut. Apalagi bagi mereka yang tidak memiliki keimanan sebagai pondasi. Wawasan keislaman sebagai pagar.
DAN SEBELUM pengusiran itu terjadi, masyaAllah, rupanya si pendatang baru itu telah mendapatkan getah, atau dampak atas perbuatannya. (lihat pelajaran dari QS 2:286)
Mungkin selama itu pula, fitrah dirinya sendiri yang cenderung pada kebenaran dan kebaikan, selalu mengajaknya berdialog di atas logika berpikirnya yang sehat atas ucapan dan tindakannya selama itu. Bukankah Allah kuasa berbuat sekehendak-Nya?
TAK TAHU KENAPA, orang banyak kemudian menyaksikan, ia sering bicara dan tertawa sendiri. Hingga orang sekampung mengetahui. Hal aneh yang terjadi dan menimpa si pendatang baru itu.
DAN ANAK-ANAK KECIL mengganggu dan meneriakinya. Seperti gambaran di atas. Bilamana mereka melihat dan menemukan di jalan, laki-laki itu sedang tertawa terbahak-bahak. Atau berbicara tak keruan. Lalu menangis.
Berulang kali anak-anak itu meneriakkan kata-kata: “Pinter keblinger, pinter-pinter…keblinger!”
WALLAHU A’LAM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H