Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Temporary Loneliness; Mengapa Orang-orang Berkelompok?

22 Desember 2024   13:12 Diperbarui: 22 Desember 2024   13:12 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay/syahdannugraha

Pernah dengar kalau orang-orang  yang bergerombol adalah ciri-ciri orang yang lemah? Dulu saya tidak percaya ini. Saat usia 19 tahun atau masih maba (mahasiswa baru), lihat teman-teman perempuan pada bergerombol makan bareng, ke kafe bareng, sedangkan aku makan sendirian, lanjut ke perpustakaan, mampir koperasi beli minum sendirian, mampir ke basecamp sebentar buat ngobrol-ngobrol sama teman-teman se-visi, terus balik sendirian ke kelas yang isinya teman-teman yang sudah duduk bareng kelompoknya masing-masing. Jujur saat itu lihatnya ada sedikit rasa iri hati ini, tapi ya... sudahlah, begitu pikirku. Toh mereka tidak sevisi dengan saya tapi saya pun tak membenci mereka.

Mereka yang berkelompok ini biasanya memiliki habit yang sama. Ngobrol dengan suara keras, tertawa terbahak-bahak, membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Namun saya perhatikan, mereka hanya ramai saat bersama kelompok mereka, dan mendadak diam seribu bahasa jika sendirian. Misalnya saat teman-teman yang lain tidak berangkat, mereka yang terpaksa seorang diri akan mencari teman yang lain saat hendak ke toilet. Mereka juga mencari teman untuk makan siang bareng. Karena apa? Yups, mereka tidak terbiasa sendiri, mereka terbiasa melakukan semuanya bersama-sama. Tanpa sadar mereka terserang kesepian kontemporer, saya sebut sebagai temporary loneliness. Mereka merasa sangat tidak berdaya dalam lingkungan sosial karena tidak ada supporter-supporter di sisinya.

Saya beberapa kali ditawari tumpangan oleh "orang-orang yang terpaksa sendirian ini" saat teman mereka tidak ada. Mereka akan berkata dengan humble "Yuk aku boncengin sampe gerbang atau sampe ke tempat kamu nungguin bis."

Alasannya sederhana, mereka tidak biasa jalan ke parkiran sendirian. Merasa nervous dan awkward karena berjalan seorang diri ke parkiran. Bayangkan saja, parkiran lho. Mereka mungkin belum tahu, nantinya saat dewasa, kita melakukan semuanya sendirian. Saya pun sadar mengapa mereka ngobrol dengan saya saat tidak ada teman. Biasanya akan ada satu atau dua orang menasihati, "Dia ngobrol sama kamu karena dia itu nggak punya teman."

Tentu saya ucapkan terimakasih pada teman itu. But actually... yes, I know girl. I know that stuff. And I was just 19 years old. Hidup ini terus berjalan, yang datang ingin berteman, saya welcome-in saja, tapi saya tidak mengharapkan apapun, maksudnya saya tidak sangat berharap menjadi teman baiknya, tidak sama sekali. Tetapi tidak mungkin saya mengusirnya. Bukan...bukan begitu prinsip saya. Yang datang biarlah datang, yang pergi biarlah pergi. Ada teman tidak ada teman, saya tetap bisa makan siang dan ke toilet sendiri.

Mereka sesungguhnya itu cuma kenalan. Tahu kan bedanya teman dan kenalan? Kita manusia butuh relasi, jadi seandainya teman itu berniat memanfaatkan saya disaat dia kesepian, sesungguhnya dia salah kaprah. Sebenarnya saya tidak lugu, saya tidak munafik juga, tapi saya stoicism. Saya membiarkan segala hal mengalir di sekitar. Faktanya adalah, mereka ini tidak worth it dijadikan musuh. Kalau bisa mutualisme, mengapa harus mengusir? Jadilah sampai pada prinsip stoicism yang saya mulai sejak masuk kuliah, yang meskipun saat itu belum kenal istilah stoicism.

"Makan bareng ya oke, pulang bareng ya oke, besok udah gak bareng lagi ya oke. Everything is okay. None who can't control my environment. I was exactly don't care about those society stuff. But still, I  socialize like normal person does."

Jadi saya tidak membatasi sosialisasi dan lingkungan berteman. Tetapi saya membatasi mulut saya. Jangan katakan hal yang menyakitkan pada mereka yang berkebalikan prinsip denganmu. Dan masa itu saya lagi gencar-gencarnya mencari beasiswa, ikut lomba, fokus literasi, menulis buku, aktif di komunitas pers mahasiswa dan berbagai event online dan offline lainnya. Ambis banget dah gw kagak ada waktu buat mikirin mau masuk geng mana. Jangankan pacaran dan berteman, lah wong free time saja saya buat tidur, kelas kosong pun saya manfaatkan tidur di basecamp atau di masjid. Benar-benar tidak ada waktu memikirkan society stuff di sekitar saya. Lagi tren baju apa, tas apa, sepatu model apa, artis siapa yang dibicarain, bahkan gosip antar mahasiswa di kelas pun saya tidak update. Kalo tidak ada yang memberitahu, maka saya selamanya pun tidak tahu.

Bahkan orang yang ada di kelompok tersebut pernah cekcok dengan member mereka sendiri, atau mungkin dari kelompok pertemanan lain. Setelah itu kelompok terpecah belah, puncaknya bermusuhan dan kelas yang biasanya ramai menjadi sepi interaksi.

Apakah kamu pernah dengar, "Berteman dengan semua orang artinya tidak punya teman." Agaknya saya percaya dengan quote satu ini. Keuntungannya kamu bisa diterima di circle mana saja, entah mereka ngomong apa di belakangmu, yang pasti mereka tetap ramah. Tidak untungnya, kamu harus mengandalkan dirimu sendiri untuk semua hal. Iya, "semua hal".

Keberanian melawan kesendirian adalah ilmu bertahan alami manusia yang harus terus diasah, apalagi di lingkungan society yang toxic di sekitar kita. Dan inilah puncak dari prinsip stoicism, kamu mengalir mengikuti arus kehidupan, tetapi kamu tidak tergerus kenyamanan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun