"Tadi malam seru, ya. Kyai-nya lucu," ucap warga kampung saya sehabis pulang dari pengajian.
Ngaji apa stand up comedy? Jujur, saya sangat puas mendengar berita mengenai gus yang tengah ramai diperbincangkan netizen baru-baru ini. Mengapa puas? Karena saya tipe yang sangat anti pada pengajian lucu, gus/kyai ganteng, ustadz populer, mafia sholawat apalagi itulah namanya. Dan saya seorang muslim. Tetapi sayangnya warga kampung saya ini hampir 99% menyukainya. Seolah-olah kalau kamu tidak suka hal tersebut, bawaannya seperti kamu ini alien, mudahnyaya... tidak normal begitu. Beruntungnya ibu saya bukan salah satu penggemar seperti mereka. Ibu saya tergolong introvert dan berinteraksi secukupnya dengan tetangga. Karena beliau seorang penjahit baju (bukan konveksi borongan), mungkin bisa dibilang designer baju kecil-kecilan. Jadi lebih suka menghabiskan waktu membuat baju dari kain-kain sisa atau lebih produktif ngurusin jahitannya. Dan saya sangat sangat bersyukur atas hal ini. Jadi tidak perlu menentang ibu untuk menghadiri pengajian-pengajian yang menurut saya "aneh" diluar sana.
Fenomena kyai gak lucu gak seru ini, anehnya lagi, masyarakat sangat memuja para ustadz-ustadz, ulama-ulama, kyai-kyai yang hadir di pengajian tersebut. Seolah mereka adalah penolong. Mereka mengantre air minum yang sudah terkontaminasi oleh kulit, rambut bahkan saliva para ulama ini. Bagaimana jika yang mereka puja-puja itu memiliki penyakit tertentu? Apakah ini penyembahan gaya baru? Wah kacau sudah hiburan bangsa ini.
Sebenarnya saya sendiri memiliki stereotype pengajian lucu itu aneh, adalah sejak duduk dibangku sekolah. Pengalaman ini sangat terpatri dalam ingatan,dan setiap saya mengingat kembali semakin ngeri bawaannya. Karena dulu tidak ada yang speak up masalah pengajian-pengajian aneh ini, jadi saya tidak berani berpendapat seperti sekarang. Makanya saya sangat bersyukur akhirnya ketahuan perilsaya-perilsaya aneh orang-orang yang disebut ulama/gus/kyai ini melalui kasus Miftah Maulana kemarin.
Pengajian Lucu yang "Aneh" di Kampung Saya
Cerita ini dimulai saat saya masih sangat muda untuk memahami hal-hal tersebut. Waktu itu ramai sekali, hampair satu kampung menghadiri pengajian itu. Ibu saya pun mengikutinya bersama adik saya yang masih kecil, tetapi mereka tidak bersama saya, karena saya dengan sok-sokan pengen ikut keren seperti teman-teman yang suka pengajian. Jadi saya pun berbaur dengan teman-teman sekelas alih-alih bersama keluarga.
Semuanya terlihat normal di awal. Namun disana saya mulai mengantuk ketika kyai bernyanyi dengan bahasa arab bersama para penonton. Anehnya semua orang menyanyi seolah lagu tersebut lagu yang "seharusnya" orang tahu. Tua, muda, ibu-ibu bahkan teman-teman saya yang masih usia remaja. Saya cuma bisa plonga-plongo. Teman disamping menyenggol lengan dan heran mengapa saya bisa-bisanya tidak tahu lagu itu? I was like WHAT? Is that necessary to KNOW? Saya yakin sekali bahwa lagu itu bukan sholawat, tapi cuma lagu berbahasa arab biasa yang mungkin semua orang disana juga tidak tahu menahu tentang artinya.
Ini masih permulaan, lanjut lagi setelah bernyanyi, kyai melanjutkan ceramah dengan gaya lucuya. Semua orang ketawa-ketiwi mengenai jokes "suami-istri", bahkan teman-teman saya pun ikut tertawa, aneh banget, padahal itu jokes tentang hubungan rumah tangga, seperti perselingkuhan, organ laki-laki dan perempuan yang disamarkan seperti pisang atau apalah itu. Semua orang tertawa! Saat itu saya mikir ini beneran jokes?
Hal yang membuat saya trauma adalah peristiwa puncak dari pengajian tersebut. Yaitu ketika kyai mulai bertingkah aneh setelah penari sufi turun. Jadi biasanya akan ada hiburan penari sufi, penari yang berputar-putar. Kata orang itu adalah budaya Timur Tengah dimana para penari tersebut sebenarnya sedang berdzikir. (Entah ini benar atau tidak).
Setelah penari sufi menari sekitar setengah jam, mereka turun. Kyai masuk kembali seperti seorang yang baru mabuk. Sungguh ini diluar nalar sekali dan saya sangat ingat jelas, kyai tersebut dan antek-antek di belakangnya membawa minuman dalam botol-botol yang sudah dibacakan doa. Orang-orang seperti semut dalam beriak, saling mendorong satu sama lain dan maju ke depan dengan tangan terangkat-angkat dan menyerukan tasbih, tahmid dan takbir. Saat itu dalam hati, saya sungguh terkejut bukan kepalang, "Mereka bukan Tuhan! Mereka bukan Nabi! Mereka bahkan bukan Wali!"