Mohon tunggu...
fatma ariyanti
fatma ariyanti Mohon Tunggu... Buruh - Citizen

Point of view orang ke-3

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Standar Pengajian; Kyai Gak Lucu Gak Seru

21 Desember 2024   11:31 Diperbarui: 21 Desember 2024   11:31 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teman-teman saya yang ikut berlari maju ke depan panggung mengajak saya dengan nada tergesa. Tentu saya menolak halus karena di usia remaja kala itu, saya benar-benar bingung, heran, lengkap semua rasa keanehan ini. Apa yang terjadi dengan mereka?

Katanya, mereka meminta syafaat dari air minum itu! Syafaat apanya kocak! Warga yang membawa botol pribadi dari rumah, menyodorkan ke depan meminta air, lalu dibawa ke depan kyai, dan kyai menyentuh air tersebut dengan ujung jari telunjuknya, Ya Allah.... saya cuma bisa beristighfar sembari berdiri mematung di belakang. Saya muslim dan saya merasa malu.

Karena saya lelah dengan kerumuman tidak etis tersebut, saya berniat mencari ibu. Saya berharap ibu tidak berada di antara kerumuman tersebut. Ternyata beliau sedang duduk dekat tiang rumah warga sembari memegang kepala. Adik saya makan snack pengajian sembari menarik-narik baju ibu. Saya menghampirinya dan terekejut mendengar ibu katanya mual, pusing dan terus-terusan beristighfar karena bingung melihat orang-orang seumurannya membawa botol tupperware dan berteriak meminta syafaat para kyai. Saya lumayan bersyukur ibu bukan salah satu dari kerumunan itu.

Kemudian saya menggandeng adik dan kami pun pulang meninggalkan kerumuman pengajian itu. Saat itu sekitar pukul 11 malam. Dan menurut orang-orang pada pagi harinya, mereka pulang 12 malam lebih. Ibu saya pagi-pagi setelah subuh merebus jahe dan meminumnya. Katanya efek pusing semalam masih terasa.

Manusia sibuk menuhankan manusia lain

Pengalaman tersebut masih aneh dan terngiang dalam memori otak. Sejak saat itu saya tidak mau lagi disebut keren karena menghadiri pengajian. Saya cuma diam seribu bahasa kalau ada yang bahas-bahas pengajian, mafia sholawat, syafaat kyai, ulama populer kota X, ustadz ganteng kota Y. Tetapi saya pun tidak mengajak-ajak atau memaksa teman untuk memiliki pandangan yang sama dengan saya. Kalau ada yang mengajak, saya cuma bilang dengan sopan "saya gak bisa hadir" atau "saya agak males keluar, hehe" teman-teman saya pun akan memakluminya karena biasanya saya memang jarang terlihat diluar.

Ibu saya pernah berpendapat perihal warga yang rajin ke "pengajian lucu" ini. Beliau berkata:

"Aneh ya orang-orang, rajin menghadiri pengajian tapi niatnya karena kyainya lucu. Dan mereka ini tidak dapat ilmu apa-apa selain cuma menghabiskan malam dengan ngetawain lelucon garing kyai dan asyik gosip bersama sesaama tetangga yang lain. Ditambah lagi, warga yang menghadiri pegajian tersebut masih banyak yang bersitegang dengan saudara, berebut tanah warisan, berkata kasar dan membicarakan satu sama lain di belakang dengan nyinyir. Lalu apa gunanya ke pengajian kalau belum merubah diri sendiri dulu? Belum lagi pergi pengajian hingga pulang tengah malam, mereka pikir diri mereka alim. Mereka bersikap besar kepala hanya karena ikut mendengarkan khotbah lucu yang sama sekali bukan ilmu agama. Paginya bangun kesiangan, lupa sarapan, lupa sholat subuh, berangkat kerja keteteran. Kayak gimana ya? Pengajian ini kok menurutku sudah disalah artikan oleh orang Indonesia."

Ibu saya bahkan sampe ngomong begini lho, di tahun segitu bayangkan, sekitar 2015 atau 2016. Kudu nanges banget lah gwe kocak. Mungkin pemikiran saya juga mengikuti ibu. Beliau mengatakan lebih baik menghadiri pengajian mushola, yang biasanya dihadiri kyai kampung, bapak moden, imam masjid, yang notabenenya tidak ada tuh jokes-jokes aneh nan kasar. Kalau menasihati sangat halus, suaranya dipelankan, tidak ada yang ketawa ngakak, tiadak ada gesture berlebihan yang saru (tidak sopan), bahkan salaman dengan perempuan pun kyai-kyai kampung lebih menolak halus dan saat berjalan melewati jamaah ibu-ibu mereka menurunkan pandangan. Yang begini biasanya isi amplopnya ya sewajarnya saja. Bukan seperti ustadz-ustadz lucu dari luar kota yang bayaran sekali manggung belasan sampai puluhan juta. Lah dalah wes tekor ogak entuk ilmu sisan. (Sudah bayar mahal tetapi malah bukan ilmu yang dibagikan). Bisa dibilang saya respect pada ustad-ustadzah yang memang sudah saya kenal di lingkungan saya sendiri, daripada pada ustadz populer yang entah dari mana, yang perilsaya dan amalannya tidak kita ketahui.

Buat pengingat kita semua, syafaat datangnya hanya dari Rasulullah. Jangan menuhankan Kyai, Ustadz, dan orang-orang yang ingin dipanggil ahli agama ini. Mereka manusia, sama seperti kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun