Haduh pokoknya serba dilema, apakah kalian juga begitu? Apakah kalian pernah merasakannya?
Kalau siswa sekarang mungkin banyak materi yang di share via e-book, pdf atau word. Buku catatan masih ada tapi tidak banyak kayak dahulu. Apalagi di sekolah favorit, hampir tidak ada buku kecuali di perpustakaan saja. Menulis pakainya tablet, tes pakainya komputer, jadi penggunaan kertas sudah terbatas, hanya pada dokumen penting dan sangat perlu saja. Bentuk dari kemajuan teknologi yang hemat dan ringkas.
Lalu beberapa bulan yang lalu, ibuk saya lagi-lagi bertanya akan menjual buku adik saya. Karena saya sudah gak sekolah, dan buku kuliah saya juga gak banyak. Belia bertanya pada saya dan adik saya. Lagi-lagi jawaban saya dilema, seperti ngambang, antara iya atau tidak. Kemudian ibuk saya berkata sesuatu yang mengubah pandangan saya. Belia berkata,
"Ilmu kan sudah kamu serap. Kamu jadi punya pola pikir pinter kayak gini karena bantuan buku-buku itu kan? Berarti ilmunya sudah masuk otak, kenapa masih merasa bersalah menjualnya?"
Saya juga mendengar bahwa buku-buku yang dijual sekarang tidak diedarkan kembali dan akan masuk pabrik kertas untuk diuraikan kembali, di daur ulang. Maksudnya sudah gak dijadikan bungkus makanan. Saya agak lega mendengarnya, mungkin dilema menjual buku ke tukang rongsok sekarang sudah tidak perlu lagi. Daripada masih disimpan dan membuat ilmu jadi kotor dalam gudang gelap, kan?
Meskipun dalam hati masih berat, saya akhirnya membiasakan diri untuk menjual buku yang tidak terpakai. Biasanya paling banyak memang buku tulis. Karena buku paket dikembalikan ke perpustakaan dan buku yang dibeli bisa disumbangkan ke tempat yang membutuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H