Mungkin bagi orang Indonesia, pertanyaan yang lebih tepat adalah, sejak kapan kamu tahu kalau jari tengah itu umpatan?
Dulu, saat saya masih kecil dan remaja, saya dan teman-teman sering bermain suit jika ingin memutuskan sesuatu. Selain suit batu kertas gunting, di Indonesia juga ada suit jari, yaitu ibu jari, jari telunjuk dan kelingking.Â
Kadang saya dan teman-teman bercanda dengan mengeluarkan jari tengah dan jari manis yang tidak masuk dalam permainan, setelah itu kami akan tertawa.
Jujur saja, saya tahu bahwa jari tengah adalah simbol cacian baru-baru ini, ketika masuk abad 20, sekitar tahun 2017-an. Saat itu saya melihatnya dalam serial drama Korea, dan ada adegan mengacungkan jari tengah.Â
Para karakter lain di dalamnya nampak sebal dan jengkel. Namun nyatanya, simbol jari tengah sendiri berkembang dari dunia barat. Dan masuk Asia setelah perjalanan panjang, yaitu ketika perfilm-an barat mulai populer. Saat itu banyak sisipan adegan jari tengah dalam film, kemudian di adaptasi ke banyak film Asia. Dan sekarang, seluruh dunia tahu simbol ini.
Menurut laman Vice, dalam sejarahnya, jari tengah berasal dari Yunani Kuno, orang-orang menggunakan sebagai simbol seks, gesture tidak senonoh, penghinaan pada orang lain, atau bermakna 'Saya benci anda'.
Gesture ini kadang juga digunakan sebagai isyarat lelucon, meski begitu banyak orang setuju bahwa ini menunjukkan ketidaksopanan.
Di dunia Barat jari tengah juga disebut 'Flipping Bird', di Romawi Kuno disebut 'Digitus Impudicus' dan dalam budaya kontemporer ini bukan lagi ancaman secara fisik melainkan umpatan yang berarti 'Fuck off' atau dalam bahasa Indonesia berarti 'Bangs*t'.
Meskipun sejarahnya sudah ada sejak dulu dan bisa dibilang simbol kuno, nyatanya, jari tengah sendiri termasuk budaya populer baru di Indonesia. Saya sendiri tidak terlalu suka mengumpat pada orang lain dalam kehidupan nyata.Â
Sebagai muslim, alih-alih umpatan semacam itu mungkin lebih baik kita mengatakan 'Astagfirullah'. karena apa? Karena jari tengah adalah budaya populer, jadi sekali anda melakukannya, anda akan terus melakukannya.
Misalnya, tetangga anda sangat berisik, suara motor yang sangat keras dan membangunkan anda dari tidur siang atau anda melihat orang yang tak patuh lalu lintas dan seenak jidat merokok sambil berkendara.Â
Mungkin dalam hati anda sangat ingin mengumpat melihat orang-orang yang sangat menyebalkan seperti itu, ya sama! Saya juga! Saya sangat jengkel sampai ingin marah. Namun kenyataannya kita hanya diam, jadi usahakan jangan mengumpat, karena itu akan jadi kebiasaan. Dan kebiasaan sulit dihilangkan.
Lebih baik, ganti kata-kata umpatan menjadi kata yang lebih baik. Pengalaman saya sendiri, teman saya pernah beberapa kali memanggil saya 'asu' atau 'jancuk' namun dalam konteks lelucon dan itu memang sudah kebiasaannya.Â
Meskipun tidak berniat mengumpat, saya kaget dan terdiam mendengarnya. Kemudian teman saya sadar ekspresi saya, ia lalu bertanya apa leluconnya terlalu kasar.Â
Saya menjawab, 'ya...sedikit' dengan nada canggung. Ia lalu meminta maaf dan mengklarifikasi bahwa itu bukan umpatan atau penghinaan. Saya mengatakan kalau saya tahu itu. Kita cuma tertawa awkward setelah itu.
Kenyataannya, memang ada orang yang sensitif terhadap kata kasar meskipun itu hanya lelucon. Jadi mungkin lebih baik menghindari lelucon umpatan, jika baru kenal.Â
Atau mungkin anda bisa menguranginya sedikit-sedikit agar tidak terlalu keterusan. Seperti menggantinya dengan kata 'Astagfirullah' yang memiliki makna terkejut karena melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan perkiraannya.Â
Misal melihat orang merokok dalam bis, saya mengatakan 'Astagfirullah, itu orang parah banget.' alih-alih 'fuck banget itu orang'. Keduanya memiliki penekanan dan makna yang hampir sama, yaitu sama-sama jengkel. Jadi kenapa tidak mulai menggunakan kata yang baik?
Jika menemui hal yang tidak sesuai aturan atau yang membuat jengkel, hindari saja dari pada memberi simbol jari tengah pada orang lain. Dalam konteks yang lelucon, memang bisa dipahami dan dimaklumi, namun dalam konteks serius, ini bisa menimbulkan pertengkaran.
Kita tentu miris sekali melihat anak-anak kecil di tiktok dan si sosial media tiada angin tiada hujan tiba-tiba mengacungkan jari tengah. Generasi sekarang sangat rentan mengonsumsi budaya globalisasi.Â
Jadi untuk  ikut membantu meminimalisir kata dan simbol serapan semacam ini, sebagai orang dewasa, anda dan kita semua sudah seharusnya tidak sering-sering menggunakannya, apalagi di depan anak di bawah umur.Â
Di lingkungan sekitar, saya pernah diacungi jari tengah sama bocah sekitar kelas 2 SD, anak tetangga saya sendiri. Saya spontan kaget, dan yakin kalau anak itu tidak tahu makna dari jari tengah. Saya cuma bisa mengelus dada, 'Astagfirullah'....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H