"Penerapan Hukum Adat Dalam KUHP Baru (UU No.1 2023) Dan Kewajiban Hakim Mensubstansikan Norma Hukum Adat"
Penerapan hukum adat dalam KUHP baru (UU No.1 2023) dan kewajiban hakim untuk mensubstansikan norma hukum adat adalah langkah yang penting dalam memperkuat fondasi hukum yang inklusif dan berkeadilan di Indonesia. mengakui keberadaan hukum adat sebagai bagian integral dari kekayaan budaya dan tradisi masyarakat Indonesia adalah langkah yang penting dalam menghargai keanekaragaman budaya di negara ini. Dengan memberikan pengakuan resmi terhadap hukum adat, negara menegaskan komitmennya terhadap semangat Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, penerapan hukum adat juga memperkuat identitas lokal masyarakat adat yang telah terbentuk melalui nilai-nilai, norma, dan adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun.
Menurut Bagus Sujatmiko, koordinator Forum Kajian Dunia Peradilan, Pasal 2 dalam KUHP baru menyiratkan representasi bersama dari perilaku sosial dalam suatu masyarakat tertentu, yang menetapkan norma-norma tentang interaksi sosial dan apa yang diterima atau tidak diterima oleh masyarakat itu. Secara esensial, ide ini sejalan dengan konsep hukum nasional.
"Maka tepatnya pada 1 Januari 2026 mendatang jadi momentum penting bagi kita mempersiapkan diri dengan KUHP Baru," kata Bagus, Sabtu (10/2/2024)
Menurut Timothee K. Malye, hakim di Pengadilan Negeri Teluk Kuantan, penerapan konsep living law dalam KUHP Baru dapat menjadi dasar bagi hakim dalam menentukan apakah pidana tambahan harus diberikan dalam kasus pidana pokok atau tidak, sesuai dengan ketentuan hukum positif yang berlaku. Meskipun demikian, karakteristik living law tidak secara langsung melanggar legalitas hukum positif karena hukum yang hidup dalam masyarakat seringkali tidak tertulis. Dengan demikian, hakim diberi kebebasan untuk mencari nilai-nilai norma adat sebagai dasar untuk memberatkan atau meringankan hukuman dalam suatu kasus pidana.
"Oleh karena itu, diskresinya suatu peristiwa sengketa yang melanggar norma adat bisa diselesaikan oleh pranata adat tanpa harus dibawa ke pengadilan. Ini pula yang menjadi tugas level hulu, misalnya polisi dalam menjaga kestabilan sosial di mana pidana ini perlu diselesaikan secara adat atau pengadilan," ungkap Timothee.
Hal tersebut dimungkinkan, lanjut Timothee, karena pengadilan selama ini praktiknya juga mengadopsi hukum yang hidup dalam masyarakat. Sehingga dalam menangani perkara adat yang intinya memutus terdakwa memenuhi unsur pidana atau tidak, memerlukan para pemangku adat terlebih dulu agar meminimalisasi living law di pengadilan. Pertimbangannya, para pihak dalam perkara bisa diselesaikan secara adat.
Timothee K. Malye mengemukakan bahwa pembahasan mengenai Living Law membutuhkan pendekatan yang lebih kritis. Menurutnya, perlu dipertimbangkan apakah suatu kasus adat seharusnya diserahkan kepada pengadilan atau tidak. Ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai yang berlaku saat ini, termasuk pertimbangan terhadap peraturan-peraturan daerah yang mungkin telah ada, sehingga dapat menjadi landasan bagi majelis hakim untuk menyesuaikan diri dengan hukum adat dari suku yang bersangkutan. Namun, Malye menekankan bahwa pengaturan Living Law harus dilakukan secara hati-hati, karena pengambilan keputusan yang keliru dapat mengakibatkan ketidakadilan. Selain itu, dia menyoroti perlunya kesadaran hukum masyarakat, prinsip keadilan, dan pertimbangan etis dalam proses penegakan hukum, yang juga harus dipertimbangkan dalam konteks Pasal 66 KUHP Baru dan panduan pemidanaan.
Ada lagi pendapat yang kontroversial tentang KUHP baru ini yaitu Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh DPR RI dapat menjadi ancaman yang membahayakan Masyarakat Adat.Rukka juga menyebut KUHP ini jauh lebih berbahaya dari Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
"Saya membayangkan, akan terjadi kekacauan ke depan ketika Undang-Undang (KUHP) itu berlaku," kata Rukka dalam sambutannya pada acara diskusi publik: "Living Law dan Ancaman Terhadap Masyarakat Adat dan Keberagaman Pasca Pengesahan UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP" di Joglo Keadilan Bogor pada Rabu, (6/9).
DPR RI baru-baru ini mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI pada 6 Desember 2022. Namun, KUHP yang baru ini akan diimplementasikan pada 2026. Rukka mengatakan KUHP yang baru disahkan ini akan menjadi senjata pamungkas untuk menghancurkan Masyarakat Adat. Pasalnya, hukum adat mengatur lebih kompleks dari sekadar tentang pidana. Sementara, pidana hanyalah sebagian kecil dari hukum adat. Dikatakannya, pelanggaran dalam hukum adat pun sebenarnya tidak terbatas hanya pada apa yang dapat dilihat saat ini. Lebih dari itu, pelanggaran dalam hukum adat dapat terjadi bahkan kepada leluhur dan sang pencipta.
"Hukum adat itu sangat kompleks. Bukan hanya urusan tingkah laku manusia, tetapi juga tingkah laku manusia terhadap sesamanya, tingkah laku manusia terhadap alam sekitarnya, bahkan juga tingkah laku manusia terhadap leluhur dan pencipta," ungkapnya.
Dengan demikian, Rukka menilai pengaturan Living Law dalam KUHP baru justru mencomot dan melepaskan satu bagian penting dari hukum adat itu sendiri karena meletakkannya sebagai perbuatan pidana.
"Kita juga harus sadar bahwa keberadaan hukum adat, peradilan adat, dan pemerintahan adat itu justru memastikan bahwa Masyarakat Adat bisa dekat dengan keadilan. Karena kalau kita harus pergi ke pengadilan, biasanya biayanya mahal. Kita juga akan diadili sesuai dengan hukum yang tidak kita pahami," katanya.
Sementara, Direktur Advokasi PB AMAN Muhammad Arman menyampaikan seputar persoalan yang menjadi akar permasalahan dalam KUHP dan kaitannya dengan Masyarakat Adat. Menurutnya, terdapat beberapa frasa dalam Pasal 2 KUHP baru yang menjadi permasalahan, sehingga perlu didiskusikan.
"Di penjelasan pasal dua itu, sebenarnya baru kita menemukan bahwa yang disebut dengan hukum yang hidup dalam masyarakat itu adalah hukum adat. Yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana," ujarnya.
Bukan hanya itu, Arman juga mengungkapkan bahwa menjadi tantangan karena KUHP baru dibangun di atas asas legalitas yang diformalisasikan melalui Peraturan Daerah. Sementara, peraturan daerah masih memiliki banyak permasalahan tersendiri.
"Sekarang ini, sedang proses penyusunan rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan pasal living law ini. Dan itu akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam penyusunan peraturan daerah tentang hukum pidana adat. Jadi, dia ini spesifik sebetulnya, pengakuan dan persyaratannya menjadi semakin panjang dan macam-macam," pungkas Arman.
Disinilah peranan hakim dimainkan, yaitu dengan menggali nilai nilai norma hukum adat yang beragam, masyarakat adat pastinya memiliki kecenderungan keterbiasaan menyelesaikan sengketa adat dengan hukum adat. Sementara undang undang baru itu sudah disahkan dan dijalankan pada 2026, peraturan adat memiliki keterbatasan untuk mengatasi masalah karena dibatasi dengan hukum positif. Hakim harus menyelesaikan masalah adat khusunya KUHP baru ini dengan seadil adilnya tentang masalah living law.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H