Saya tidak bosan-bosannya berbicara tentang zonasi, karena kita tahu pendidikan ini sangat penting, anggaran 20% lo. Zonasi ini sangat berkaitan dengan nalar dan matematika (ada hitung-hitunganya) bahkan bisa menginspirasi untuk pembelajaran matematika dan fisika.
Mengapa Zonasi Bergejolak? Salah satu jawabannya adalah ketersediaan sekolah lanjutan di banyak provinsi tidak mencukupi. Gak usah bilang masalah pemenuhan mutu deh, la wong ketersediaan sekolah lanjutan per kecamatan saja belum terpenuhi kok.
Kita ambil contoh, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jumlah kecamatan banyak 34 buah, sementara SMA negeri cuma 12 dengan penduduk sangat padat. Bandingkan dengan kabupaten Lombok Utara, NTB, kecamatan hanya 5, jumlah SMA Negeri 7. Jadi ada kecamatan yang memiliki 2 SMA negeri. SMA Negeri di Sidoarjo itu pun terkosentrasi di kota. Di sidoarjo saja ada 4 SMA Negeri.Â
Apa efeknya, daerah pelosok, yang jauh dari perkotaan, tidak akan bisa masuk negeri. Bila di pelosok ini tidak tersedia SMA Negeri sampai kapan pun anak-anak di sini dan adik-adiknya kelak tidak bisa masuk ke SMA Negeri.Â
Bukankah ini juga ketidakadilan? Bisa saja sekolah swasta, namun mind set masyarakat masih mengutamakan sekolah negeri, salah satu pertimbangannya adalah biaya lebih murah. ke swasta biasanya ada uang pangkal, uang bangunan atau uang apalah namanya, yang cukup menguras kantong bagi rakyat kebanyakan. Semakin bermutu semakin mahal biayanya. Tentu orang tua gak mau biaya lebih mahal.
Lo dulu ketika menggunakan UN sebagai alat seleksi kok tidak bergejolak? Karena sistem itu sudah mapan. Lagian bila tidak keterima di negeri karena UN jelek, mereka sudah maklum. Ketika mereka tidak diterima gara-gara lokasi jauh, mereka tidak terima, mau ke swasta tambah biaya.
Mungkin zonasi siswa ini dilakukan bertahap. jangan 90% zonasi + 10% non zonasi dulu. Mungkin dimulai dari 50% + 50%. Sambil mencukupi ketersediaan sekolah negeri, tiap tahun persentasi zonasi dinaikkan.Â
Masyarakat pada umumnya gak mikir mutu sekolah kok, yang penting mereka bisa menyekolahkan anaknya di negeri berbiaya relatif lebih murah, syukur-syukur berkualitas.Â
Jadi jangan berbicara soal mutu atau pemenuhan SNP dulu dah, perbanyak aja sekolah-sekolah negeri, maka insyaallah tidak bergejolak. Saya ambil contoh di Lombok Utara.Â