Mohon tunggu...
MOCH. FATKOER ROHMAN
MOCH. FATKOER ROHMAN Mohon Tunggu... Guru - Kepala SMAN 1 KAYANGAN

Ketua Umum PP Matematika Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bagaimana Jadinya Sekolah Tanpa Ujian Nasional?

30 November 2016   07:07 Diperbarui: 30 November 2016   12:49 10968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak digulirkan Ujian Nasional (UN) 10 tahun yang lalu sebagai penentu kelulusan dari satuan pendidikan, masih saja menuai kontroversi. Ketika terjadi pergantian menteri pendidikan, UN selalu menjadi salah satu bahan evaluasi. Di era M. Nuh, UN tetap dipertahankan sebagai penentu kelulusan namun nilai akhir sebagai penentu kelulusan digabung dnegan nilai rapor dan nilai Ujian Sekolah (US). Di era Anies Baswedan, UN tidak dijadikan penentu kelulusan, namun masih dipakai sebagai alat seleksi untuk masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di era mendikbud Muhajir, UN akan dimoratorium (baca: Pemerintah Lakukan Moratoriun Ujian Nasional Mulai 2017). Namun moratorium itu tentu tidak serta disetujui oleh pemerintah (presiden). Presiden akan melakukan rapat terbatas untuk membahas masalah ini (baca: Jokowi Akan Rapat Terbatas Sebelum Putuskan Moratorium UN 2017)

Saya selaku guru, yang selama ini mengamati penyelenggaraan UN, meyatakan sikap setuju dengan moratorium UN tersebut, dengan alasan sebagai berikut:

  1. Pemerintah Tidak Berhasil Menghilangkan Kecurangan dalam Penyelenggaraan UN
    Sebelum UN, ada ujian sejenis yang disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Pada pelaksaan EBTANAS ini hampir tidak kita temui kecurangan-kecurangan, namun ketika EBTANAS berubah jadi UN dan sebagai penentu lulusan, banyak terjadi kecurangan. Usaha-usaha sudah banyak dilakukan namun tetap saja kecurangan itu terjadi. Usaha-usaha itu di antaranya adalah jumlah paket soal semula 1 jadi 2, jadi 5 bahkan jadi 20 lebih. Soal disimpan di kantor polisi dengan pengawalan yang ketat. Guru yang mengajar pada mapel diujikan tidak boleh mengawas. Pengawas harus menandatangani pakta integritas. Usaha yang paling fenomenal adalah adanya IIUN (Indeks Integritas UN). UN yang sifatnya sebagai alat dan terbukti alat itu mengakibatkan kecurangan, lantas apakah alat itu perlu dipertahankan? Kecurangan ini tentu tidak sesuai dengan pendidikan karakter yang selama ini kita dengung-dengungkan.
    Ujian Nasional|Sumber: https://www.merdeka.com/peristiwa
    Ujian Nasional|Sumber: https://www.merdeka.com/peristiwa

  2. Efektivitas Tidak Sebanding dengan Biaya yang Dikeluarkan
    UN menelan biaya sekitar 500 miliar, anggaran yang sangat besar. Namun hasil UN belum dapat menncerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya. UN sebagi pemetaan, apakah juga sudah ditindaklanjuti? Ketika sudah ditindaklanjuti apakah serius? Ini yang masih menjadi pertanyaan kita. Anggaran yang begitu besar lebih baik digunakan untuk sektor pendidikan yang lain.

  3. Terjadi Dikotomi Mata Pelajaran UN dan Non-UN
    Semenjak siswa duduk di bangku sekolah, sebenarnya siswa sudah dicekoki ada dikotomi mata pelajaran UN dan non UN, mata pelajaran penting dan kurang penting. Ini fakta, siswa dan guru lebih mementingkan mata pelajaran UN dan non UN. Apalagi ketika siswa sudah menduduki kelas akhir, yaitu kelas VI, IX dan XII, banyak diselenggarakan program-program yang sejatinya mementingkan mata pelajaran UN, misal jam tambahan di sore hari, Uji Coba UN, bahkan ada sekolah yang hanya mengajarkan mata pelajaran UN di kelas akhir. Lantas bagaimana dengan mata pelajaran yang non UN, bagaimana dengan pelajaran pendidikan agama dan PPKn, mata pelajaran yang isinya tentang sikap baik sikap spiritual maupun sosial?

    Kita sepakat bahwa ada 3 ranah yang perlu dibangun, yaitu sikap, pengetahuan dan keterampilan. Tujuan pendidikan nasional pun juga meliputi 3 ranah itu. Artinya semua mata pelajaran itu penting, tidak boleh ada dikotomi mata pelajaran UN dan non UN, tidak boleh ada pembedaan mata pelajaran penting dan kurang penting.

  4. UN Menjadikan Kita Mementingkan Hasil daripada Proses
    Sudah bukan rahasia lagi, ketika kelas akhir siswa dilatih untuk menjawab soal-soal UN, bagaimana menjawab dengan cara cepat yang tidak mengindahkan proses. Padahal UN adalah sebagian dari kegiatan pembelajaran. Masih banyak kegiatan pembelajaran yang juga penting. Namun UN ini seakan-akan jadi benalu. perhatian pemangku pendidikan tercurah ke UN. Perhatikan ketika UN diselenggarakan, ada kunjungan pejabat, terutama ke sekolah-sekolah favorit. Hal ini mencerminkan seolah-olah UN ini merupakan perhelatan akbar dan seolah-olah kegiatan yang lain tidak penting.

    Moratorium UN tentu saja juga menuai pro kontra. Ada yang setuju ada pula yang tidak. Setelah dihentikan UN apakah lantas pendidikan akan menjadi lebih bagus? Biarkan waktu dan kebijakan-kebijakan selanjutnya yang menjawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun