Sistem Proporsional Terbuka, Siapa Untung?
Setelah hasil uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November 2022. Gugatan yang teregistrasi dengan nomor 114/PPU/XX/2022 itu menyoal sejumlah ketentuan, di antaranya Pasal 168 ayat (2) tentang sistem pemilu yang hasil putusannya adalah bahwa sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024 telah disahkan. Maka akan muncul sebuah pertanyaan dasar. Siapakah yang bisa mengambil keuntungan atas putusan tersebut.
Di Indonesia, penerapan sistem proporsional semi-terbuka pertama kali dilakukan pada Pemilu 2004. Sejak itu, sistem proporsional terbuka dalam Pemilu terus diterapkan hingga kini. Lalu, apa saja untung rugi sistem proporsional terbuka?
Pertama berikan kebebasan kepada pemilih. Dalam sistem pemungutan suara proporsional terbuka, pemilih bebas memilih  langsung calon pilihannya, tidak hanya memilih partai politik. Hal ini memberikan kebebasan kepada pemilih untuk mempertimbangkan kualitas, identitas, dan popularitas kandidat dalam proses pemungutan suara. Namun efek dari sistem ini juga dapat mempengaruhi stabilitas partai politik dan menyebabkan munculnya partai-partai dengan ideologi yang kurang koheren.
Dalam sistem proporsional terbuka, calon memiliki kesempatan untuk mendapatkan dukungan langsung dari pemilih berdasarkan faktor yang lebih personal. Artinya, partai-partai harus bersaing tidak hanya pada ideologi dan platform politik, tetapi juga pada kualitas dan popularitas kandidatnya.
Kedua, mengurangi peran partai politik. Mantan Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, merujuk pada situs Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa sistem pemilihan proporsional terbuka yang diperkenalkan dalam empat pemilihan sebelumnya membawa beberapa kerugian.Â
Meski sistem ini awalnya dimaksudkan untuk memperkecil jarak antara pemilih dan caleg, sistem ini justru menciptakan celah yang melemahkan posisi partai. Dalam sistem proporsional terbuka, partai politik kehilangan fokus sebagai mediator pendidikan politik dan pendorong partisipasi politik yang sejati. Partai  tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas programnya yang mencerminkan ideologi partai, tetapi hanya mencari calon yang dapat menarik perhatian dan memperoleh suara terbanyak. Akibatnya,  partai politik melemah secara struktural.Â
Namun, dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan, peran penting partai politik dalam pemilu dapat dilihat dari banyak hal. Salah satunya adalah partai politik memiliki kewenangan penuh untuk menentukan calon anggota dalam proses pemilihan, termasuk  nomor urut calon anggota. Fakta menunjukkan bahwa pasca pelaksanaan amandemen dalam pemilu konstitusi tahun 1945, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk  warga negara kepada calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DPRD).Â
Ketiga Persaingan Antar Kandidat. Selain memperkecil peran partai, sistem proporsional terbuka mengakibatkan partai  tidak lagi serius memprioritaskan pembinaan kader muda sejalan dengan  kepentingan jangka panjang ideologi partai. Sebaliknya, mereka lebih fokus  mencari jalan pintas dengan merekrut kader-kader yang populer dan memiliki sumber keuangan untuk membiayai kebutuhan partai. Â
Sistem proporsional terbuka telah mengubah pemilu yang seharusnya menjadi ajang pertarungan ide dan pemikiran, menjadi medan pertempuran bagi orang-orang terkenal dan berkuasa secara finansial. Pasalnya, kader-kader ternama yang mampu secara finansial menjadi magnet  partai peraih suara terbanyak. Akibatnya, partai bolak-balik dalam pelatihan dan menjalankan tugas.
Mahkamah juga tidak sependapat dengan pandangan para pemohon bahwa sistem pemilu proporsional terbuka menghasilkan calon-calon pragmatis yang  tidak mewakili partai  bahkan merugikan integrasi partai. Menurut Mahkamah, partai politik mencalonkan dan memilih calon anggota DPR/DPRD yang  mewakili kepentingan, ideologi, rencana, dan program kerja partai. Oleh karena itu, jika ada calon yang begitu pragmatis sehingga dianggap tidak mampu menerjemahkan ideologi, visi dan misi partai politik, aspirasi dan memperjuangkan serta melindungi kepentingan partai politik, masyarakat, bangsa dan negara, partai politik. tidak boleh disebut calon anggota DPR/DPR.