Biofarmaka, yang merupakan bahan alami dari tanaman obat, semakin populer di tengah meningkatnya tren gaya hidup sehat berbasis bahan alami. Kecamatan Liang Anggang, terletak di Kalimantan Selatan, memiliki potensi besar dalam produksi biofarmaka berkat kekayaan alam dan kondisi geografis yang mendukung pertumbuhan berbagai tanaman obat. Namun, pengembangan sektor ini menghadapi tantangan yang tidak sedikit.
Tanaman biofarmaka telah menjadi fokus utama dalam pengembangan pertanian di berbagai wilayah, termasuk di Kecamatan Liang Anggang. Komoditas biofarmaka seperti jahe, kencur, kunyit, lengkuas, lempuyang, temuireng, temulawak, kapulaga, mahkota dewa, lidah buaya, dan mengkudu telah dibudidayakan dan diproduksi secara signifikan di wilayah ini. Namun, untuk memahami lebih lanjut tentang potensi dan keunggulan komoditas biofarmaka di Kecamatan Liang Anggang, diperlukan analisis yang sistematis dan terstruktur.
Dalam laporan praktikum berjudul "Analisis Produksi dan Kebutuhan Biofarmaka di Kecamatan Liang Anggang", Saya Fatiya Nazla Putri, mahasiswa dari Universitas Lambung Mangkurat Program Studi Geografi, mengeksplorasi berbagai jenis tanaman biofarmaka yang potensial di wilayah tersebut, serta menganalisis kebutuhan biofarmaka di kalangan masyarakat setempat. Penelitian ini juga mengkaji kesenjangan antara produksi dan kebutuhan yang terus meningkat.
Fluktuasi Produksi Biofarmaka: Data Tahun 2018-2022
Berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Liang Anggang, produksi tanaman biofarmaka di wilayah ini menunjukkan fluktuasi signifikan. Total produksi biofarmaka dari 2018 hingga 2022 mencapai 28.879 kilogram, dengan jenis tanaman seperti Jeruk Nipis, Mahkota Dewa, dan Mengkudu menjadi komoditas utama. Jeruk Nipis mencatatkan produksi tertinggi pada tahun 2021, mencapai 7.000 kg, sementara tanaman lainnya seperti Jahe, Kencur, dan Kunyit memiliki produksi yang lebih rendah.
Namun, produksi biofarmaka di Liang Anggang belum konsisten. Beberapa tanaman seperti Dlingo/Drigo, Kapulaga, dan Temuireng bahkan tidak diproduksi sama sekali selama lima tahun tersebut. Tantangan utama dalam menjaga stabilitas produksi adalah faktor cuaca, keterbatasan lahan, serta kurangnya pengetahuan petani tentang budidaya tanaman obat yang baik.
Kesenjangan Antara Produksi dan Kebutuhan
Penelitian ini juga menemukan adanya kesenjangan antara produksi biofarmaka dan kebutuhan masyarakat. Permintaan terhadap produk-produk herbal meningkat, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan alami. Namun, kapasitas produksi lokal masih jauh dari mencukupi untuk memenuhi kebutuhan ini. Misalnya, pada 2022, kebutuhan biofarmaka jenis Jahe diperkirakan mencapai 1.460 gram per orang per tahun, sementara produksi lokal hanya 602 kg.
Peluang Pengembangan dan Dukungan Pemerintah
Selain itu, kemitraan dengan industri farmasi dan pengembangan pasar domestik maupun internasional untuk produk biofarmaka lokal akan memberikan dorongan tambahan bagi pertumbuhan sektor ini. Jika produksi dapat ditingkatkan, Liang Anggang memiliki potensi untuk menjadi salah satu pusat produksi biofarmaka di Kalimantan Selatan.
Kesimpulan
Produksi biofarmaka di Kecamatan Liang Anggang menunjukkan potensi besar namun menghadapi tantangan dalam menjaga stabilitas dan memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Dengan dukungan kebijakan yang tepat serta peningkatan kapasitas produksi, sektor ini berpeluang besar untuk dikembangkan, memberikan manfaat ekonomi dan kesehatan bagi masyarakat lokal. Dari analisis ini, terlihat bahwa hanya beberapa tanaman biofarmaka yang memiliki keunggulan atau spesialisasi produksi di Kecamatan Liang Anggang. Tanaman seperti Lidah Buaya dan Mahkota Dewa terkadang menunjukkan keunggulan produksi (BASIS), sementara tanaman lain seperti Jahe juga sempat memiliki spesialisasi tetapi kembali menurun di tahun-tahun berikutnya. Kebanyakan tanaman biofarmaka lainnya tetap tergolong NONBASIS sepanjang periode analisis, menunjukkan bahwa Kecamatan Liang Anggang tidak memiliki keunggulan khusus dalam produksi tanaman-tanaman tersebut.
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Rosalina Kumalawati S.Si., M.Si., dosen pengampun mata kuliah Geografi Ekonomi, karena telah memberikan waktu dan kesempatan kepada saya untuk membuat analisis artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H