Mohon tunggu...
fatiya
fatiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

mahasiswa yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Xenoglosofilia: Tren Modern atau Ancaman Budaya?

20 Desember 2024   12:50 Diperbarui: 20 Desember 2024   12:50 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era globalisasi dan digitalisasi yang berkembang saat ini, masyarakat hidup dengan dipengaruhi oleh pesatnya arus informasi melalui internet dan kemajuan teknologi. Kita bisa mendapatkan informasi dengan sangat mudah dan cepat. Namun, perkembangan teknologi dapat menyebabkan budaya dan bahasa asing masuk melalui berbagai akses, mulai dari platform digital, media massa, hingga institusi pendidikan. Mengingat bahwa bahasa memiliki peran yang sangat penting di suatu negara serta menjadi alat utama dalam berkomunikasi. Salah satu fenomena bahasa yang sedang menjadi buah bibir yaitu fenomena Xenoglosofilia atau pergeseran bahasa, di mana seseorang menunjukkan ketertarikan yang berlebihan terhadap bahasa asing dan cenderung menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi sehari-hari. Hal ini dapat berdampak positif maupun negatif di kalangan masyarakat. Secara bahasa, xenoglosofilia berasal dari tiga kata yaitu xeno (asing), gloso (bahasa), dan filia (suka) yang artinya ketertarikan berlebihan terhadap bahasa asing (Lanin, 2018). Fenomena ini menjadi relevan dan umum ditemui, terutama dengan kemudahan akses informasi dan komunikasi lintas negara.

Pada 27 Agustus silam, Lembaga Bahasa Internasional FIB UI menyatakan bahwa banyak masyarakat Indonesia, terutama remaja di Jakarta Selatan, yang cenderung menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-harinya. Bahkan muncul istilah "Bahasa jaksel" untuk mereka yang cenderung mencampurkan penggunaan dua bahasa, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Namun seiring berjalannya waktu, fenomena ini ikut menyebar di beberapa kota besar. Mereka seringkali merasa lebih keren dan modern dengan menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Inggris. Percampuran dua bahasa ini tidak hanya terjadi dalam sebuah percakapan nyata, tetapi juga marak terjadi di media sosial seperti twitter, instagram, dan tiktok. Menurut Ivan Lanin, "Bahasa jaksel" ini bukanlah fenomena musiman, melainkan sudah lama muncul di kalangan remaja. Hal ini dapat dilatarbelakangi pula dari kota Jakarta Selatan yang memiliki banyak lembaga pendidikan berskala internasional. Tak jarang beberapa sekolah sudah mewajibkan siswa untuk menguasai bahasa asing terutama bahasa Inggris.

Secara umum, xenoglosofilia terjadi karena adanya pemikiran bahwa mencampurkan bahasa asing terutama bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dapat menambah kesan gaul dan eksis di mata banyak orang. Bahasa inggris juga seringkali dianggap sebagai bahasa global yang melambangkan pendidikan, modernitas, dan kemajuan. Selain itu, pengaruh media dan budaya populer, seperti film dan musik, sangat besar dalam membentuk selera dan preferensi budaya di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Mereka mengadopsi kata-kata dan gaya bicara dari media untuk menunjukkan pengetahuan budaya yang luas dan menciptakan kesan modern. Menurut Ivan Lanin dalam bukunya yang berjudul "Xenoglosofilia Kenapa Harus Nginggris" telah banyak dijumpai masyarakat yang kerap menjadi sasaran fenomena xenoglosofilia ini. Hal ini tercermin dari pemilihan kata yang seringkali disisipkan di sebuah kalimat oleh remaja generasi Y dan Z, seperti kata "by the way" dan "at least". Adanya teknologi digital juga mempermudah akses terhadap bahasa asing, seperti penggunaan media sosial, aplikasi komunikasi, dan konten digital yang seringkali mengandung banyak kata-kata asing. Hal ini semakin memperkuat terjadinya kebiasaan mencampurkan kedua bahasa tersebut.

Fenomena xenoglosofilia ini mendapat banyak perhatian dari berbagai ahli linguistik, salah satunya Ivan Lanin yang menyatakan bahwa xenoglosofilia dapat mengancam keberadaan bahasa Indonesia di era globalisasi. Pada dasarnya, penggunaan bahasa asing terutama bahasa inggris dapat memperkaya kemampuan berbahasa, membuka akses ke informasi global, dan menciptakan peluang karir. Selain itu, menguasai bahasa asing dapat meningkatkan kemampuan kognitif, seperti pemecahan masalah, kreativitas, dan fleksibilitas mental. Hal ini juga memungkinkan seseorang untuk lebih memahami dan berinteraksi dengan berbagai budaya, meningkatkan toleransi dan memperkaya pengalam hidup melalui pertukaran budaya. Namun sebaliknya, xenoglosofilia di era globalisasi saat ini dapat mengancam keberadaan bahasa Indonesia dengan mengubah pola pikir para remaja yang merupakan sosok pelopor tunas bangsa bagi masa depan. Lebih buruknya, dampak dari xenoglosofilia ini dapat merusak identitas budaya. Seperti yang kita tahu bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga perekat sosial yang mencerminkan sejarah, nilai-nilai, dan warisan budaya sebuah bangsa. Mereka yang lebih mengutamakan bahasa asing mungkin akan kehilangan koneksi dengan budaya dan tradisi dari bangsa mereka sendiri. Maka dari itu, fenomena xenoglosofilia ini dapat berakibat fatal jika tidak dipelajari lebih dalam terkait pentingnya keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kecenderungan untuk lebih memilih menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan penurunan kemampuan berbahasa Indonesia.

Oleh karena itu, perlu diingat bahwa penggunaan bahasa asing harus diimbangi dengan penggunaan bahasa Indonesia agar eksistensi dari bahasa ibu tidak dengan mudah tergeser. Melalui pendidikan formal maupun informal diharapkan dapat menekankan nilai-nilai budaya lokal dan peran bahasa Indonesia dalam membangun identitas nasional. Sebagaimana dengan prinsip trigatra bangun bahasa, yaitu "Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah dan kuasai bahasa asing". Dengan pendekatan yang seimbang, kita bisa meraih manfaat dari kemampuan berbahasa asing tanpa harus mengorbankan identitas budaya dan nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun