Di tahun 2005, pertikaian mahasiswa antara pribumi Sulawesi Selatan dengan minoritas perantauan seperti Maluku kerap terjadi. Dan ini senantiasa tersimpan rapi secara rahasia dan tak pernah tergubris oleh media kala itu. Pertikaian kecil (Perseorangan) berujung besar hingga membawa basis massa paguyuban daerah. Beberapa tahun lalu Jogja pun terdengar demikian. Padahal mereka lupa, hubungan Sulawesi Selatan dan Maluku di masa lalu penuh persaudaraan dan bahu membahu dalam kepentingan ekonomi kala itu. sejak masa tragis itu, aku berniat menguak sejarah hubungan kedua daerah ini sejak masa lalu demi sebuah nostalgia perdamaian di masa yang akan datang.
Ketertarikanku pada sejarah berawal ketika mata pelajaran Sejarah telah dikenalkan guru SMP ku kala itu (2000). Kala itu aku duduk di bangku SMP yang tepatnya di SMP 1 Soa Sio Tidore eks Rumah Sakit di era perang dunia II yang masih sekarang terkenal akan bangunan horornya.Â
Tidore, adalah kampung halamanku, sebuah pulau yang tak kusadari adalah pulau bersejarah dunia yang diperebutkan dua kerajaan katolik besar di dunia kala itu yakni Spanyol dan Portugis. Ketertarikanku memuncak usai mengetahui bahwa Rempah dunia berasal dari tanah yang subur ini, tanah leluhurku, tanah yang penuh dengan darah para perompak dan pribumi tak berdosa. Dari sinilah aku menyukai sejarah dan senantiasa memandang setiap tempat bak mesin waktu mengembalikanku ke masa yang pada hari ini sangat kupelajari dengan baik.
Identitas Maluku yang penuh misteri di kota MakassarÂ
Sejak kepindahanku  melanjutkan kuliah di Makassar (2005), ada hal menarik sepanjang aku merantau di sini. Ya, aku menemukan sisa identitas Maluku yang sampai hari ini tak mampu di tafsir oleh masyarakat setempat. Seperti halnya sebuah tempat di pesisir barat Makassar bernama Kampung Maloku yang kini menjadi salah satu kelurahan di kota ini. Demikian pula seorang misterius yang sangat dihormati di kampung itu yang mereka percayai merupakan orang besar asal Maluku yang pernah berjasa di daerah itu. Makamnya tepat di belakang sebuah masjid kuno yang tepat berdiri di tengah kelurahan kampung Maloku itu. Masyarakat setempat yang tak tahu siapa sebenaranya dibalik makam itu menyebutnya dengan nama Karaeng Malokua. Sejak melihat keunikan ini, hati saya tergerak mencari tahu siapa, apa, dan bagaimana bisa identitas Maluku bisa hadir di kota yang pernah terkenal sebagai kota bandar dunia di abad 15 ini.
Berawal dari tahun 1511
Pada tahun 1511, Malaka yang kala merupakan pusat pasar (bandar) dan ekspor rempah dunia runtuh total akibat gempuran Portugis. Kekalahan Malaka mengakibatkan krisis global sebab lumpuhnya perdagangan rempah dunia terutama ke Barat. Sontak harga rempah meningkat dan merangsang para pelaut Eropa ke timur tuk mencarinya langsung. Tapi mereka lupa, meskipun Bandar Malaka runtuh, Pakuan Pajajaran di bawah kuasa Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja (1482-1521) dan para keturunannya beserta para niagawan Islam kala itu masih memegang peranan terhadap ekspor rempah dan memainkannya di Jawa, sontak Jawa kembali menggeser Bandar Malaka menjadi Bandar utama kala itu.Â
Kerajaan Demak yang saat itu didirikan dan dipimpin seorang pangeran dari Majapahit berdarah Tiong Hoa Muslim bernama Jim Bun alias Raden Patah pun tak kalah saing memainkan peran penguasaan maritim kala itu, namun ekstrim ketika dibawah Demak dibawah kepemimpinan menantunya Yan Tsun alias Raden Muhammad Yunus (Patih Yunus), Yunus mengikrarkan Jihad dan menghardik Portugis di Malaka, tragis Demak kalah dan kembali dengan hampa.
Konflik yang menguntungkan bagi kerajaan Gowa
Dibalik perseteruan penguasaan kawasan jalur rempah Jawa-Malaka, mereka lupa bahwa Gowa dan Tallo (Sulawesi Selatan) sedang berkembang menjadi pusat pasar rempah baru dan jauh lebih maju. Di sana harga rempah jauh lebih murah dan dijamin keamanannya oleh pihak Gowa dan Tallo yang bergabung membentuk sebuah kerajaan afiliasi bernama Kesultanan Makassar di bawah pimpinan Sultan Alauddin (1593) yang juga merupakan raja Gowa ke-14. Pelabuhan Makassar (Pao Tere) menjadi pelabuhan teramai kala itu dalam menerima pasokan rempah cengkeh dan Pala yang didatangkan dari pedagang Maluku ke kota ini. Bandar yang baru ini dikenal dengan nama Bandar Makassar.
Pengabdian muslim melayu
Menurut Mattulada (Pakar sejarah Sulawesi Selatan), kemajuan bandar Makassar tak lain adalah peran besar dari para pedagang muslim (Melayu) yang memilih migrasi dari Malaka ke Makassar dan setia pada Gowa dikarnakan tak mau dipengaruhi oleh portugis yang terlalu keras memaksakan masyarakat melayu untuk berpindah keyakinan ke kristen katolik pula menghindar dari konflik Demak-Portugis (Malaka) kala itu. Hal ini wajar sebab Portugis selain mencari kekayaan, mereka membawa misi syiarnya yang dinilai terlalu keras dan arogan tanpa memikirkan adat dan tradisi pribumi setempat. Lewat pendekatannya para pedagang Melayu (Arab) mendapat kehormatan menjadi pemimpin bandar (Syah Bandar) dalam membantu mengelola perdagangan di Kesultanan Makassar demi kesejahteraan kedua kerajaan besar ini (Gowa dan Tallo) yang merupakan muasal dari garis keturunan yang sama sebelum keduanya dipersatukan kembali. Demikianlah kisah awal Bandar Makassar menjadi bandar dunia yang kelak akan memainkan aransemen sejarah keberpihakan masyarakat Maluku dalam perniagaan rempah ke barat. Kita sudahi sejarahnya dulu. Mari telusuri jejak rekam andil masyarakat Maluku di kota ini (Makassar).
Pangeran Andi Kumala Idjo bersaksi
(2015) Menurut Pangeran Gowa ke-36 Andi Kumala Idjo (Putera II dari mendiang Raja Gowa Andi Idjo Karaeng Laloang), mendiang leluhurnya Sultan Alauddin pernah memberikan sebuah tanah hibah di sebelah selatan benteng Ujungpandang (yang kini Fort Rotterdam) kepada para pedagang muslim Maluku untuk bermukim. Kampung ini masih terawat secara identitas dengan nama KAMPUNG MOLOKUÂ yang telah menjadi bagian dari kelurahan di kecamatan Ujung Pandang Kota Makassar ini. Di tempat ini lahirlah perkampungan muslim yang didiami oleh para etnis kepualauan Maluku yang berdagang dan membantu para ulama jawa menyiarkan Islam di sana pada abad 15.Â
Saya dan pak Andi Kumala Idjo menghabiskan waktu di sore itu, beliau banyak berbagi sejarah dan menguak setiap pertanyaan misterius saya. Ia pun menambahkan bahwasanya bukan hanya perkampungan maluku kala itu yang dibentuk oleh mendiang leluhurnya. Perkampungan Bima, perkampungan Buton pun diberikan izin pada saat itu. Sisa perkampungan Buton kini telah berubah menjadi kawasan pasar yang dikenal kini dengan sebutan Pasar butung dan hingga saat ini masih eksis ungkap beliau.
Adnan Amal dan Saleh Putuhena bersaksi
Menurut sejarah pula, hubungan Maluku dan Gowa bukan tepatnya berawal dari Maluku saja. Adnan Amal seorang pakar sejarah Maluku Utara pun angkat bicara dalam bukunya Sejarah Kepualauan Rempah , ia turut mengungkapkan bahwa pada tahun 1500 Sultan Ternate ke-18 Zainal Abidin Syah yang baru saja pulang dari Gresik usai belajar Islam di sana sempat singgah di pelabuhan Somba Opu dan bersilturrahmi dengan Raja Gowa kala itu bernama I Pakere Tau alias Karaeng Tumapa’risi’ Kallona.Â
Demikian pula ungkap Prof.DR Saleh Putuhena (pakar sejarah Islam) yang mengatakan bahwa Sultan Ternate ke-24 Baabullah Datu Syah pada tahun 1580 pun pernah menjalin hubungan dengan raja Gowa kala itu Karaeng I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa Alias Tunijallo (1560-1590).Â
Dari hubungan itu, Baabullah meminta izin Gowa untuk menyiarkan Islam di Gowa dan menawarkan Tunijallo untuk bergabung masuk Islam dengannya. Sebagai tanda perdamaian dan penghormatan, Baabullah memberikan kembali pulau Selayar yang pernah direbut dari tangan Gowa sebagai tanda tulus niatnya akan hubungan ini.Â
Sayangnya tawaran masuk Islam ditolak Tunijallo dengan menganggap bahwa Selayar hanya menjadi tanda persahabatan tak lebih dari permintaan lainnya. Menurut Mattulada Tunijallo berat meninggalkan kepercayaannya karena menghormati tradisi luhurnya dan hal ini pun dihormati oleh Baabullah kala itu sebagai dua pemimpin yang bijaksana.
Mattulada bersaksi
Meski demikian menurut Matullada, Tunijallo sempat memberikan tanda persahabatannya pula dengan menghibahkan beberapa tanahnya di sana kepada Baabullah dan para pengikutnya untuk menyiarkan islam dan berdagang di sana. Desa ini bernama Mangalengkana, sebuah desa kecil di kawasan ibu kota kerajaan Somba Opu yang kini masih terawat dan dikenal sebagai kawasan wisata sejarah di sana.
 Ketika saya kesana, sayangnya pengaruh dan sisa identitas Maluku telah hilang ditelan sejarah akibat konflik Perang Makassar (Gowa-VOC) yang meluluh lantahkan ibukota kerajaan kala itu. Meskipun banyak sejarah menceritakan tentang hubungan Gowa dan Maluku hanya sekedar bagian terkecil dari masa lalu, di masa depannya (Abad 15) hubungan keduanya jauh lebih menarik dan seru untuk dibincangkan sebab kelak menjadi sebuah sejarah yang menarik untuk disimak.
(Bersambung...)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H