Mohon tunggu...
Fatimah K
Fatimah K Mohon Tunggu... -

Perempuan 22 tahun. Suka sekali membaca dan ingin mencoba menuangkan tulisannya disini. Kunjungi blog saya www.fatimkablog.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbung | Tersimpan dalam Ingatan (Part 2)

30 April 2017   02:17 Diperbarui: 30 April 2017   02:43 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku beranjak dari kasur menuju lemari pakaian. Mengambil bekas kotak sepatu yang sudah ku hias kertas kado motif floral. Kemudian membukanya.

Bunga ini masih ada…

Ya, bunga dari Pelatih Didi kala hiking menuju Bukit Piayu. Aku mengeluarkan bunga tersebut dengan hati-hati, maklum hanya bunga kering.

Aku mencoba mengelus permukaan bunga, rapuh.

Apa yang harus aku perbuat dengan hatiku?

***

Setelah menerima “hadiah selamat datang” dari para pelatih berupa penceburan di kolam sekitar bukit, kami dibagi menjadi beberapa grup untuk membuat tenda. Malam ini kami akan menghabiskan waktu di Bukit Piayu.

Not bad.

Pemandangan disini sangat bagus. Tempat ini sangat sempurna untuk menikmati keindahan Batam yang kotanya sudah dipenuhi perumahan serta hiruk-pikuk kendaraan. Bukit Piayu terletak di antara perumahan Piayu dan perumahan Barelang. Jika melihat sekeliling, maka disatu sisi terlihat Jembatan Barelang dan lautan biru dibawahnya serta pepohonan rimbun yang menyejukkan disisi lainnya.

Setelah mencari beberapa kayu yang kira-kira dapat digunakan sebagai penyangga tenda, aku, Rindu, dan Wuri mencoba memasang tenda sendiri. Beberapa menit kemudian kami berusaha memukul kayu agar dapat berdiri sempurna. Namun tetap saja kayu menjadi miring dan mudah tumbang. Pertanda tidak baik nih.

Rindu, si bungsu, akhirnya meminta bantuan Pelatih Arjuna untuk mendirikan tenda kami sedangkan kami bertiga hanya memperhatikan dan sesekali membantu mengikat tali pada kayu yang sekarang sudah menjadi tiang yang kokoh.

Grup kami menjadi grup pertama yang menyelesaikan tendanya. Tentu saja karena pekerjaan dilakukan oleh Pelatih langsung. Aku yakin grup lain pasti sangat iri melihat kami. Semoga grup yang lain dapat memaklumi karena kami bertiga dikenal sebagai “para bungsu” pada kalangan perempuan. Aku berusia 18 tahun sedangkan Rindu dan Wuri berusia 17 tahun namun mereka lahir dibulan yang berbeda. Teman-teman perempuan yang lain rata-rata berusia 20 tahun keatas.

Setelah semua selesai mendirikan tenda, kami berkumpul untuk makan malam kemudian dilanjutkan dengan api unggun. Lebih tepatnya kami menghadap api unggun karena udara hutan pada malam hari sangat dingin. Ditambah lagi tidak ada yang ganti baju setelah “mendapat hadiah” tadi alhasil baju, kaus kaki serta sepatu PDL yang kami kenakan membuat badan kami semakin kedinginan.

Ada yang bernyayi, ada yang bercerita hal yang menyeramkan, ada yang tertawa, ada yang sudah beberapa kali menguap. Aku salah satunya yang menguap sangat lebar pada malam itu. Tapi aku sangat bahagia.

Aku bahagia mendapatkan kesempatan berlatih kesamaptaan bersama teman-teman disini.

Aku bahagia karena aku lolos seleksi dan setelah ini aku menjadi pegawai tetap yang “kata orang” banyak tunjangan dan benefit yang akan didapat. Sedikit berbau uang memang. Namun itulah kenyataannya.

Aku bahagia karena aku mendapat bunga dari orang yang ku sukai.

Aku memutuskan untuk menyukai Pelatih Didi selama mengikuti kesamaptaan. Aku akan menikmati keberadaanku disini yang tinggal beberapa hari saja.

Aku sudah berulang kali mengatakan pada diriku sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Aku hanya perlu menikmati hari-hari yang berlalu selama di Yonif, setelah itu aku akan menjalani kehidupanku seperti biasanya, mencintai orang yang sama—pacarku Handy. Aku yakin rasa suka kepada Pelatih Didi hanya sesaat saja, sekedar cinta lokasisaja.

Arghhh, aku tidak tahan lagi. Aku sudah tidak bisa mengendalikan lebar mulutku saat menguap. Aku segera memasuki tenda untuk berisitirahat walaupun suasana disekitar masih riuh.

“Ndu, kamu jaga jam 2 sampai jam 3 kan? Nanti bangunkan aku ya 15 menit sebelum giliran jagamu berakhir.” Kataku pada Rindu yang sedang bersiap-siap keluar tenda. Sepertinya dia tidak bisa tidur karena riuhnya suara teman-teman disekitar api unggun. Aku mendapat giliran jaga jam 3 sampai jam 4.

Rindu menjawab dengan dengan kata ‘Ke.

Kemudian aku berbaring didalam tenda. Hanya beralaskan terpal dan berbantal tas sudah mampu membuatku nyaman. Aku sudah melepaskan kaos kaki serta sepatu PDL dan berharap saat jam 3 nanti akan kering karena aku benar-benar tidak nyaman dengan rasa lembap pada kakiku ini.

Aku berbaring kesamping, mengarah pada deretan tempat tidur para Pelatih. Tempat tidur mereka mirip sekali dengan tempat berbaringnya pendonor darah, aku tidak tahu apa sebutannya untuk tempat tidur tersebut. Mataku mencari keberadaan Pelatih Didi yang sejak makan malam tadi tidak terlihat.

Lama kelamaan aku memejamkan mata, aku sudah tidak bisa membuka mataku yang semakin terasa berat. Padahal aku masih belum menemukan Pelatih Didi dengan mataku.

Sambil sesekali mengerjapkan mataku, aku masih dapat melihat keadaan sekitar yang kelihatan seperti berbayang. Beberapa detik kemudian aku menyadari bahwa saat itu udara semakin dingin namun aku terlalu malas untuk bangun dan meminjam selimut. Aku sengaja tidak memasukkan selimut kedalam tasku mengingat beratnya tasku hanya dengan berisi pasir.

Aku yakin bisa tidur walaupun kedinginan. Aku dijuluki “tukang tidur” oleh teman-temanku karena dalam kondisi apapun ketika mengantuk aku bisa tidur.

Aku mengeratkan pelukan pada tanganku semakin dalam, berharap kehangatan menghampiri.

Masih sambil mengerjapkan mataku, aku sangat yakin melihat Pelatih Didi dari kejauhan. Aku yakin melihat siluet tubuhnya. Hal itu membuatku tersenyum.

Benarkah yang kulihat adalah Pelatih Didi?

Kenapa semakin lama dia bergerak ke arahku? Ada apa ini?

Aku sengaja menutup mataku sepenuhnya saat Pelatih Didi berada kurang lebih 3 langkah dari tendaku. Kemudian aku merasakan kehangatan pada kedua kakiku.

Apa ini?

“Fathi, ini pake selimutku.”

Aku tidak salah, ini memang suara Pelatih Didi. Sepertinya dia memberiku selimut. Aku membuka mataku sebentar untuk melihat kearahnya dan mengatakan “terima kasih” yang mungkin terdengar sedikit serak. Kemudian segera memperbaiki letak selimut agar dapat menuput badanku dengan sempurna.

Badanku terasa hangat, begitu juga hatiku.

Lagi-lagi aku baper karenanya…

BERSAMBUNG

30 April 2017

Baca part 1 disini.

Terima kasih sudah membaca part 2. SIlahkan vote, tinggalkan kritik dan sarannya ya jika berkenan. Salam hangat :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun