1. Suatu Model Integrasi Agama
Majapahit, salah satu kerajaan besar di Nusantara, dikenal luas karena toleransi agama yang tinggi. Era Majapahit bukan saja merupakan zaman keemasan politik dan ekonomi, tetapi juga era yang menandai pentingnya kerukunan dan harmoni antarumat beragama. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi bagaimana toleransi beragama di Majapahit menciptakan integrasi sosial yang kuat dan menjadi model inspiratif bagi generasi mendatang.
2. Latar Belakang Historis
Majapahit didirikan pada abad ke-13 oleh Raden Wijaya, putra Ken Dedes, seorang wanita dari Wangsakerta. Kerajaan ini kemudian berkembang menjadi salah satu kerajaan Hindu-Buddha terbesar di Asia Tenggara. Meski menganut agama Hindu-Siwa, raja-raja Majapahit seperti Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada menunjukkan sikap toleran terhadap agama Buddha dan Islam.
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular menegaskan pentingnya kerukunan antarumat beragama. Kalimat ini berarti "bermacam-macam tetapi satu jua," menunjukkan bahwa walaupun ada perbedaan, masih ada kesatuan yang melekat. Konsep ini sangat relevan dalam menciptakan harmoni sosial di masyarakat multi-agama.
3. Integrasi Sosial
Integrasi sosial di Majapahit tercermin dalam arsitektur bangunan-bangunan suci. Banyak candi Hindu dan Buddha yang dibangun bersama-sama, menunjukkan sinkretisme agama yang kuat. Contohnya, kompleks candi Borobudur di Jawa Tengah merupakan simbol unik dari sinergi antara tradisi Hindu dan Buddhisme. Bangunan ini tidak hanya monumental tapi juga menjadi tempat ziarah spiritual bagi umat beragama.
Selain itu, patronase para raja terhadap seni dan sastra juga menambahkan warna kulturnya. Buku-buku klasik seperti Mahabharata dan Ramayana, serta puisi-puisi religius seperti Sutasoma, menjadi bagian integral dari warisan intelektual Majapahit. Seniman dan penulis dari berbagai latar belakang agama bebas berekspresi dan berkontribusi pada katalog budaya yang kompleks.
4. Politik Toleransi
Patih Gajah Mada, salah satu tokoh penting di Majapahit, dikenal karena visi politiknya yang inklusif. Ia berhasil merekrut para panglima militer dari berbagai wilayah, termasuk Muslim Malaka, untuk bergabung dalam upaya penaklukan Sriwijaya. Sikap ini menunjukkan betapa tingginya toleransinya terhadap perbedaan etnis dan agama.
Selain itu, sistem administrasi Majapahit juga menjamin kebebasan berkeyakinan. Sistem desentralisasi yang diterapkan memungkinkan provinsi-provinsi untuk mengelola urusan lokalnya sendiri, asalkan tetap loyal kepada monarki sentral. Ini menciptakan atmosfer demokratis yang relatif tinggi untuk periode waktu itu.
5. Warisan Modern
Warisan toleransi Majapahit tidak hanya berharga dari sudut historis saja. Saat ini, konsep "Bhinneka Tunggal Ika" masih relevan dalam menghadapi globalisasi yang makin intensif. Negara-negara modern dapat belajar dari contoh Majapahit tentang pentingnya mengintegrasi berbagai unsur kebudayaan dan agama dalam menciptakan masyarakat yang harmonis.
Di Indonesia, contoh ini tercermin dalam filosofi Pancasila yang menekankan sila kebersamaan dan perdamaian internasional. Filosofi ini merupakan warisan langsung dari semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" yang telah diamalkan selama berabad-abad.
6. Kesimpulan
Era Majapahit menunjukkan bahwa toleransi beragama bukanlah hal yang mustahil. Dengan integritas moral dan visi politik yang kuat, Majapahit berhasil menciptakan masyarakat yang pluralistik yet harmonis. Warisan ini patut direnungkan oleh kita semua guna menciptakan dunia yang lebih damai dan sejahtera bagi semua insan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H