Mohon tunggu...
fatimatus zahro
fatimatus zahro Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Membaca adalah jendela dunia

Selanjutnya

Tutup

Healthy

BPJS Kesehatan Alami Defisit Keuangan, Pemerintah Naikan Iuran!

30 September 2019   06:00 Diperbarui: 30 September 2019   11:57 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS sudah di resmikan dan terjun untuk melayani masyrakat. Awalnya BPJS hanya membuka program di sedikit tempat, karena antusias masyarakat kantor BPJS langsung di penuhi pendaftar, antrianpun semakin panjang sehingga pemerintah menambah kantor pelayanan BPJS di berbagai daerah. 

Namun seiring berjalannya waktu mulai banyak peserta yang tidak membayar iuran. Dan ada sebagian peserta BPJS yang hanya mendaftar ketika sedang sakit, namun ketika sehat mereka tidak lagi mau membayar iuran. 

Terkait banyaknya peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  yang menunggak pembayaran premi, BPJS Kesehatan terus melakukan sosialisasi bahkan penagihan langsung kepada 15 juta peserta. 

Penagihan tersebut dilakukan melalui para relawan yang menjadi kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)  sampai Juni 2019 terhitung jumlah kader relawan ini hingga mencapai 3.288 orang. 

Menurut data BPJS kesehatan saat ini, iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang jumlahnya 133 juta orang sebesar Rp 32.000. Sementara iuran untuk Peserta Bukan Penerima Upah atau Mandiri terdiri dari tiga kelas. Kelas I Rp 80.000, kelas II Rp 50.000, dan kelas III Rp 25.500.

Besaran itu tidak naik sejak 2016 dan dianggap menjadi salah satu penyebab defisit. 

Perlu di pahami, defisit yang dialami BPJS Kesehatan boleh dikatakan merupakan defisit yang direncanakan karena iuran masyrakat yang di tetapkan pemerintah untuk kelas II dan III masih di bawah aktuaria. 

Iuran kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan sedangkan berdasarkan hitungan aktuaria seharusnya Rp 53.000 per bulan. Iuran kelas II sebesar Rp 51.000 per bulan sedangkan berdasarkan hitungan aktuaria seharusnya Rp 63.000 per bulan hanya Iuran kelas I sebesar Rp 80.000 yang sesuai hitungan aktuaria. Dengan demikian, penetapan iuran ini saja sudah mengandung defisit di dalamnya. Atrinya kepersertaan 100% pun tidak menjamin BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit. 

Pemerintah berencana menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  Kesehatan mulai 1 Januari 2020. Nantinya iuran BPJS kesehatan kelas I naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 perbulan, kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 perbulan. Sementara iuran untuk kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 perbulan belum bisa dipastikan karena di tolak DPR. 

Sejauh ini, pemerintah tinggal menunggu payung hukumnya berupa Peraturan Presiden (Perpres) untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. 

Juru bicara BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma'ruf, mengatakan kenaikan iuran ini akan di berlakukan tahun depan dan diklaim manjur mengatasi persoalan defisit anggaran yang terjadi saban tahun.

Peran sentral negara dalam perwujudan sistem jaminan sosial  tertuang dalam UUD 1945, khususnya pasal 28 H dan pasal 34, serta UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dalam UU SJSN dinyatakan bahwa, jaminan sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. 

Karena itu tanpa mengabaikan peran BPJS dalam segi operasionalnya, tanggung jawab utama mengatasi defisit tetap pada negara, dalam hal ini pemerintah.  Upaya mengatasi defist ini tidak hanya di bebankan kepada BPJS Kesehatan. Apalagi, pasal 48 UU SJSN mengatakan pemerintah dapat melakukan tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya  tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 

Bila mengacu pada kondisi yang ada, ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan untuk mengatasi defisit seperti menaikkan iuran, subsidi, mencari alternatif sumber pembiayaan lain dan meningkatkan peran pemda. Mengurangi nilai manfaat atau cakupan layanan tidak disarankan kareana akan merugikan masyarakat. Sementara itu menaikkan iuran perlu di pertimbangan cermat karena akan merugikan masyarakat. 

Pilihan yang cukup strategis ialah mencari alternatif sumber dana lain, yaitu menggunakan dana cukai dan pajak rokok. Jalan inj dinilai paling tepat karena merokok berisiko menimbulkan penyakit. Di samping itu, hal ini dapat di katagorikan sebagai upaya preventif, mengendalikan konsumsi rokok. 

Peran Pemda juga perlu di optimalkan, seperti mengintegrasikan program Jamkesda ke JKN, membantu membayar iuran warga tidak mampu di luar PBI. 

Seharusnya pemerintah segera melakukan cara mengatasi defisit keuangan, yang nyatanya sekarang masih planing dan tak terlaksanakan. Agar para peserta BPJS langsung mendapatkan pelayanan dari para jasa medis, yang mana para peserta BPJS pada kenyataannya masih di nomer duakan oleh jasa medis jika membayarnya menggunakan BPJS, lain halnya jika membayarnya dengan spontan para jasa medis langsung tanggap menangani hal tersebut. 

Maka dari itu seharusnya pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan apalagi untuk kelas II dan I, yang rata-rata dari masyarakat kalangan bawah. Yang mana pada tujuan awal didirikannya BPJS adalah untuk mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan, bukan mempersulit masyarakat mendapatkan layanan kesehatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun