Si Corona, Guru dan PJJ
Oleh Fatimah Latif
Sejak akhir tahun 2019 dunia digemparkan dengan jenis virus baru. Awalnya semua negara anteng-anteng saja karena penyebarannya masih di sekitar negeri ginseng. Namun awal tahun 2020 penyebarannya meluas ke beberapa Negara.
Si corona virus membuat panik, meski wujudnya tak nampak oleh mata. Namun, keberadaannya mampu membunuh secara pelan-pelan. Akibat ulah si Corona banyak orang yang terinveksi dan bahkan ratusan ribu orang yang meninggal.
Semua negara mencoba mengambil tindakan dan kebijakan dengan cara lockdown termasuk Indonesia. Hal ini berakibat pada semua sektor, termasuk pada sektor pendidikan.
Dunia pendidikan pun ikut terimbas dengan menyelenggarakan PJJ (Pembelajaran Jarak jauh). Meski PJJ bukan hal yang baru di dunia pendidikan, namun pelaksanaannya secara langsung membuat guru dan kalangan terkait begitu pusing dibuatnya.
Terutama siswa dan orang tua yang belum bisa beradaptasi dengan situasi ini. Guru yang awalnya berada pada zona nyaman dengan mengajar secara tatap muka harus mutar otak dan cari cara mengajar secara online.
Ada banyak tantangan dan kendala yang dihadapi termasuk penggunaan aplikasi online yang dipakai mengajar dalam PJJ. Guru berusaha mengenali satu persatu aplikasi yang ada dan memahami cara penggunaannya.
Kadang kala masalah muncul dan terkadang masalah tersebut datangnya dari siswa atau orang tua. Bagi siswa yang kelas tinggi mereka akan dengan mudah memahami penggunaan sebuah aplikasi pembelajaran yang ditawarkan guru.
Namun bagi siswa kelas awal seperti kelas 1 dan 2 yang masih tidak terlalu paham akan penggunaan aplikasi pembelajaran yang ditawarkan guru akan terasa begitu sulit. Apalagi bila orang tua sendiri yang tidak mengerti penggunaan aplikasi tersebut. Minimnya pendidikan mereka yang kadang meminta guru tidak menggunaka aplikasi online yang menurut mereka sangat ribet.
Orang tua kadang merasa penggunaan aplikasi seperti zoom sungguh memberatkan. Apalagi bagi mereka yang bekerja di luar rumah. Hal ini membuat guru berpikir cepat agar siswa tetap belajar. Aplikasi whatsapp pun menjadi satu-satunya solusi sehingga guru harus berusaha hadir di tengah-tengah siswa meski dengan menggunakan aplikasi ini.
Dengan apllikasi whatsapp guru mencoba membuat video pembelajaran yang sesuai dengan materi dan gampang diterima anak-anak dengan mengaitkan lingkungannya. Pembelajaran pun bisa berlangsung dan tidak terlalu memberatkan orang tua, meski masih ada keluhan-keluhan yang datang dari mereka.
Tak bisa dipungkiri keadaan ini sangat menyita waktu orang tua dan beberapa diantaranya mengeluh dengan kondisi mereka di rumah. Terutama kaum ibu-ibu yang tidak bisa menyesuaikan waktu untuk kegiatannya dan membimbing anaknya belajar.
Ada beberapa diantara mereka yang mengatakan “saya jadi suka marah-marah, bu guru semenjak anak saya belajar di rumah”. Kami pun bisa mengerti akan hal tersebut. Karena ketidakbiasaan membuat mereka harus banyak belajar untuk beradaptasi dengan cara belajar anak masing-masing.
Ketidakbiaasan inilah yang kadang membuat beberapa orang tua menjalin komunikasi intensif dengan guru untuk memecahkan masalah belajar anak. Sehingga waktu guru pun tidak terlalu banyak untuk dirinya sendiri karena harus menyediakan waktu lebih untuk konsultasi dengan para orang tua, di samping itu juga harus mengecek pekerjaan siswa dan memberikan laporan ke atasan.
Guru pun berusaha memberikan pelayanan kepada orang tua dan siswa selama pembalajaran jarak jauh ini. Guru semaksimal mungkin menjaga komunikasi dengan orang tua untuk mengetahui perkembangan belajar siswa-siswanya selama belajar dari rumah.
Bila memungkinkan guru akan memberikan beberapa soal untuk membantu mereka yang masih kurang mengerti materi yang sedang dibahas. Namun, bila mereka telah memahami materi pembelajaran akan berlanjut..
Kadang kala guru masih menerima kata-kata yang tak sepantasnya dari orang-orang yang tak bertanggungjawab. Mereka melontarkan kata dan kritikan tanpa menelusuri kebenarannya. Apa yang dilihatnya menjadi komsumsi mentah untuknya. Mereka dengan seenak jidatnya mengatakan guru terima gaji tanpa harus capek-capek kerja. Padahal kondisi dilapangan tak seperti yang mereka tuduhkan.
Bagaimana mereka tahu kalau guru tak bekerja? Toh mereka tidak melihat sendiri. Mereka tidak ada di posisi itu. Mereka tidak pernah tahu kalau guru kadang harus tidur larut dan bahkan kadang kala mereka tidak tidur untuk menyiapkan pembelajaran onlinenya.
Selain itu, mereka juga harus mengoreksi pekerjaan siswanya dan menyelesaikan seabrek administrasi sekolah sebagai bukti pertanggungjawabannya. Mereka itu tak pernah tahu itu semua, mereka hanya asal ngomong dan tak tahu kondisi sebenarnya.
Omongan-omongan itu sangat menyakitkan, pekerjaannya seolah sia-sia di mata mereka. Upaya mereka selama virus corona merajalelah tak dianggap. Meski begitu mereka tetap bekerja ikhlas.
Bijaklah dalam berkata-kata, dan coba tempatkan posisi kalian pada posisi mereka. Mereka itu punya telinga untuk mendengarkan apa yang kalian tuduhkan. Tapi mereka tetap bekerja dengan sepenuh hati.
Mereka juga tak menginginkan situasi seperti ini. Karena mereka pun merindukan suasana sekolah. agar bisa bercengkrama dengan siswanya. Tapi keadaanlah yang memaksa mereka harus mengajar secara online.
Jaga hati dan ucapanmu. Ucapanmu itu laksana pedang yang dapat menghunus dan melukai siapa pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H