Mohon tunggu...
Firda Fatimah
Firda Fatimah Mohon Tunggu... Tutor - Belajar

IG : @fatim_firda

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Media Sosial Itu Panggung, Begini Cara Saya Menjaga Kesehatan Mental Daripadanya

7 Mei 2021   03:12 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:00 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media Sosial sebagai Ajang pamer. Foto oleh Teen.co.id

"Media Sosial itu panggung. Yang namanya panggung, apa yang ditampilkan pasti yang terpilih dan yang dianggap terbaik."

Kurang lebih seperti itu yang saya pahami dari perkataan salah satu motivator yang tidak sengaja saya lihat dan saya dengar dari video pendek di Instagram beberapa waktu lalu.

Media Sosial itu panggung-- saya sangat setuju dengan statement ini. Faktanya, media sosial memang sebagai salah satu tempat untuk tampil dan mengekspresikan diri.

Seseorang akan merasa senang ketika keberadaanya diakui, apalagi jika kemudian muncul apresiasi bagus dari orang lain. Keberadaan media sosial ini semakin menambah jembatan untuk diakuinya keberadaan seseorang.

Media sosial sangat memungkinkan digunakan setiap penggunanya sebagai ajang eksistensi diri, baik itu dari kalangan atas hingga kalangan bawah sekalipun. 

Setiap individu terkesan berlomba-lomba menampilkan yang paling menarik, paling bagus, paling memukau, paling kaya, paling modis, paling gaul, dan paling-paling lainnya.

Begitulah panggung--apa yang tampak, hanya itulah yang terlihat; apa yang ditampilkan, hanya itulah yang ditangkap oleh mata.

Tanpa sadar, kita banyak yang tertipu dengan apa yang terlihat di media sosial. Tidak perlu jauh-jauh, misalkan kita melihat salah satu unggahan media sosial teman yang berisi foto bersama rekan kerjanya dengan pose yang keren di depan sebuah perusahaan besar. Dengan cepat kita memujinya kemudian membalikkan pada diri dengan kata-kata, "Keren banget dia, kenapa aku gak sesukses dia?!"

Kembali lagi, apa yang terlihat, itu hanyalah yang terlihat. Ucapan di atas tidaklah salah, yang salah adalah ketika kita dengan cepat menilai sebuah unggahan dari apa yang tampak saja tanpa tahu cerita di balik itu.

Maka dari itu, memahami adanya "behind the scene" dari setiap unggahan itu perlu. Saya mengatakan 'memahami' bukan 'mengetahui', karena cerita nyata hidup seseorang adalah hak milik mereka sendiri, tidak semuanya harus dibagikan atau kita ketahui. 

Kita hanya perlu memahami bahwa apa yang tampak itu hanya sebagian dari cerita hidup yang sesungguhnya lebih kompleks dari hanya sekedar beberapa unggahan di media sosial.

Berdasarkan teori Dramaturgi, Erving Goffman mengatakan kesan yang ingin ditampilkan dari pertunjukan seseorang ini dinamakan pengelolaan kesan (Impression Management). Dikatakan bahwa teori ini yang digunakan seseorang atau aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Dalam hubungannya dengan media sosial sebagai tempat eksistensi dan presentasi diri, seorang pengguna media sosial akan berusaha menampilkan unggahan-unggahan yang dapat menimbulkan kesan yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan. 

Sebagai contoh lagi, seseorang menggugah dirinya sedang jalan-jalan dan makan di restoran hotel bintang tujuh agar menimbulkan kesan pada para pengikutnya bahwa ia adalah orang kaya dan lain sebagainya.

Dengan begitu, media sosial berhasil menciptakan kesan-kesan itu. Dan secara tidak langsung, itu sangat berpengaruh dan berdampak pada kondisi kesehatan mental para penggunanya.

Media Sosial sebagai Ajang pamer. Foto oleh Teen.co.id
Media Sosial sebagai Ajang pamer. Foto oleh Teen.co.id
Dalam jurnal yang berjudul "Pengaruh Media Sosial terhadap Perkembangan Pola Pikir, Kepribadian dan Kesehatan Mental Manusia" disebutkan bahwa ada 3 hal yang menjadi alasan mengapa media sosial sangat berkaitan dengan kesehatan mental. Apa saja itu?

Pertama, Ketika seseorang terlalu asyik bermedia sosial, mereka cenderung lupa dengan kesehatan dirinya. Kualitas dan kuantitas tidur yang berpengaruh pada kesehatan otak sering terabaikan, pola makan tidak teratur, duduk terlalu lama, dan kurangnya aktivitas fisik. Hal seperti itu dapat menyebabkan datangnya penyakit fisik maupun mental.

Kedua, Pengguna media sosial yang pasif namun sering memantau media sosial dengan gulir sana-gulir sini berpotensi mengalami gangguan mental. Emosi negatif yang juga disebut Fear of Missing atau FOMO kemungkinan dapat mereka alami dengan merasakan kehampaan, marah, dan emosi-emosi negatif lainnya. 

Ketiga, Pengguna media sosial yang aktif mengunggah kegiatan dirinya kemungkinan besar berisiko mengalami gangguan mental. Mereka cenderung terobsesi dengan respon para pengguna media sosial lainnya, mulai dari berapa banyak like, komen, impression, dll. Dalam dunia Psikologi, hal tersebut disebut dengan validasi eksternal.

Lantas, Bagaimana Cara Saya Menjaga Kesehatan Mental dari Pengaruh Media Sosial?

Sederhana saja. Saya hanya melakukan dua hal, yaitu mengurangi gulir media sosial dan tidak sering unggah status atau foto di media sosial saya.

Apa yang saya lakukan ini bertujuan untuk menghindari kecenderungan diri untuk membanding-bandingkan diri saya sendiri dengan orang lain yang hanya tampak di media sosial yang kemungkinan berpotensi menggangu kesehatan mental saya.

Sejak awal mempunyai akun Instagram, WhatsApp, dan Twitter, saya memang membiasakan diri untuk tidak sering gulir-gulir di linimasa atau status/story/snapchat/snapgram para pengguna media sosial atau bahkan pada akun teman-teman saya sendiri.

Mengurangi scroll media sosial untuk menjaga kesehatan mental. Ilustrasi oleh wartaalbantani.co.id
Mengurangi scroll media sosial untuk menjaga kesehatan mental. Ilustrasi oleh wartaalbantani.co.id

Kebiasaan itu masih saya lakukan hingga sekarang. Jadi, tidak heran jika saya kurang sering nongol di daftar like ataupun view unggahan seseorang. Bahkan ada yang sempat jujur ke saya dengan mengatakan, "Sombong banget gak pernah lihat story wa-ku". 

Lantas saya katakan bahwa saya memang tidak membiasakan itu karena bagi saya itu tidak begitu penting dan tentunya untuk menjaga kesehatan mental diri saya.

Selain bertujuan untuk menjaga kesehatan mental, saya juga berpikir buat apa saya terlalu kepo dengan kehidupan orang lain. Bukan begitu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun