Mohon tunggu...
Firda Fatimah
Firda Fatimah Mohon Tunggu... Tutor - Belajar

IG : @fatim_firda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Irama Pencarian dalam Ruang Duka

26 Desember 2020   21:57 Diperbarui: 26 Desember 2020   22:39 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dari pixabay.com

Cerpen di bawah ini terinspirasi dari kisah nyata dengan sedikit perubahan. Semoga dengan membacanya, teman-teman bisa mendapatkan sedikit pengetahuan. Selamat membaca, ya.

--

Mata gadis itu menerawang jauh. Untuk kesekian kalinya ia harus berada pada kebingungan yang tak tahu kapan akan menemukan titik terang. Impiannya kini hanya ingin semesta mengerti keadaannya. Apa yang ia rasakan saat ini tak hanya luka pada tubuh, namun lebih dari itu.

"Anak Ibu ini kekurangan gizi," ucap dokter puskesmas sesaat setelah memeriksa kondisi Ayudya. Saat itu bibir Ayudya memang tampak pecah-pecah. Ia mengeluhkan sering merasakan sakit pada sendi-sendi kaki dan tangan, pun di pipinya yang ada bercak-bercak merah.

Sontak sang ibu kaget dan mengatakan bahwa anaknya tak mungkin kekurangan gizi. Makanan dan gizi cukup yang termasuk dalam 4 sehat 5 sempurna selalu ia hadirkan untuk anak gadis kesayangannya, bahkan sebelum ia beranjak remaja seperti sekarang ini.

Ya, itu bukan kali pertama dokter-dokter mendiagnosa penyakit Ayudya. Sejak pertama kali merasakan sakit yang tiba-tiba pada tubuhnya sekaligus keluar bercak-bercak merah pada pipinya, ia sudah berkali-kali periksa ke tempat praktek dokter, puskesmas, hingga rumah sakit, namun tak juga menemukan titik terang akan sakit apa yang ia alami.

"Kenapa jalanmu begitu, Ayud?" tanya salah seorang guru Ayudya saat memanggilnya keatas panggung untuk menerima hadiah di acara perpisahan SMP yang seharusnya menyenangkan itu. Ia hanya tersenyum meringis. Saat itu apa yang ia rasakan hanya kesakitan, bercak merah di pipinya yang berbalut make up itupun sedikit nampak karna bedak yang mulai memudar.

Teman-teman Ayudya pun nampak aneh melihatnya. Tak biasanya ia melihat si ceria Ayudya begitu kesakitan dan pucat. Ayudya hanya menahan sakit serta sesekali tersenyum. Keadaan mulai berubah saat kedua kalinya ia harus maju untuk menerima hadiah sebagai siswa teladan. Saat itu ia benar-benar tak sanggup berjalan lagi menaiki tangga. Saat itu pula akhirnya Ayudya dan sang ibu terpaksa meninggalkan acara yang seharusnya menjadi momen sakral dan membahagiakan bagi putrinya.

Orang-orang mengatakan bahwa Ayudya kemungkinan terkena penyakit Herpes. Penyakit pada kulit yang timbul akibat sebuah virus. Penyakit ini ditandai dengan kulit kering dan lepuhan berwarna kemerahan. Namun, setelah berobat kesekian kalinya, tetap saja penyakit itu tak kunjung hilang.

Sampai suatu saat dokter mengindikasi bahwa Ayudya kemungkinan mengalami sakit asam urat yang biasa dialami oleh orang tua. Setelah menjalani tes laboratorium ternyata titik terang akan penyakit yang dialami Ayudya tak kunjung terlihat. Tes Laboratorium tak menunjukkan bahwa ia mengalami sakit asam urat. Saat itu Ayudya hanya bisa terdiam, ia tak bisa berkata-kata. Ia hanya berdo'a semoga Tuhan segera memberinya kesembuhan agar ibunya tak murung setiap hari. Ia hanya tak kuat melihat sang Ibu berusaha tegar dibalik air mata yang berusaha ia seka saat berada di hadapan putrinya.

Eritroderma...

Eritroderma adalah kelainan pada kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan pada 90 % permukaan tubuh yang terjadi dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Penyakit ini cukup memberikan titik terang akan apa yang Ayudya rasakan setelah 5 bulan lamanya menunggu.

"Ayudya, Kamu ternyata sakit apa?" tanya gurunya saat akan memulai pelajaran sejarah di kelas. Sang Guru bertanya tentang hal itu karna Ayudya seringkali izin untuk berobat. Tak hanya sekali dua kali. Pun hampir semua guru mata pelajaran tau bahwa ia sering sakit. Bahkan saat pelajaran olahraga ia tak kuat jika harus berlari dan mengikuti permainan olahraga lainnya. Hal itu tak hanya membuat persendiannya sakit hingga membuatnya susah berjalan, namun juga membuat bercak merah di pipinya semakin banyak dan terlihat.

Setelah beberapa minggu mengonsumsi obat untuk penyakit ini, sakit yang ia alami tak jua kunjung sembuh. Apa yang ia rasakan tetaplah sama seperti dulu. Bahkan ia sempat tak ingin lagi berobat. Matanya semakin menerawang jauh. Tak nampak apapun, yang terlihat oleh matanya hanya harapan yang pupus. Harapan yang dibawa terbang oleh elang, dicengkeram kemudian dilahapnya hingga tak menyisakan sedikitpun potongan impian-impian.

6 bulan berlalu...

Saat itu hari kamis, bersama sang ibu, Ayudya pergi ke rumah sakit. Di perjalanan, Ayudya hanya melamun dan komat-komat di bibirnya tak pernah berhenti. Jilbab pink yang ia kenakan membuatnya terlihat tetap cantik walaupun sedikit pucat. Cahaya matahari yang mengenai mukanya membuat bercak merah di pipinya semakin terlihat dan terasa panas. Hal itu menjadi suatu hal yang biasa ia rasakan sekarang.

"Ayudya Putri Firdaus", panggil dokter dari dalam ruangan. Ayudya dan sang ibu pun memasuki ruangan.

"Begini, berdasarkan cek urin dan cek darah seminggu lalu akhirnya dapat kami simpulkan bahwa anak ibu mengalami penyakit Lupus, yaitu penyakit yang menyerang sistem imunitas atau kekebalan tubuh, sistem kekebalan tubuh anak ibu terlalu over sehingga menyerang tubuhnya sendiri," terang dokter.

"Apakah penyakit ini bisa sembuh, Dok?" tanya ibu Ayudya.

"Dalam dunia kedokteran, Lupus adalah penyakit autoimun yang tidak bisa disembuhkan secara total dan akan dimiliki seumur hidup, Bu. Namun, Ibu tenang saja. kami sudah ada obatnya yang bisa diminum oleh anak Ibu secara rutin, dan anak Ibu bisa kontrol setiap bulannya, penyakit ini tidak mematikan, kok", jawab dokter.

Ayudya memeluk ibunya, ia seka air mata dari belakang punggung ibunya.

"Aku sudah menerimanya, Bu. Ayudya akan tetap tersenyum untuk Ibu dan Ayudya janji akan bahagiain Ibu. Allah sudah berikan titik terang akan sakit yang diderita Ayudya, Ayudya udah sangat bersyukur," ucap Ayudya lirih.

Saat itu langit sore tampak cerah, senja tak malu-malu menyungging senyum untuk sang gadis cantik berjilbab pink yang tegar itu. Di sepanjang perjalanan pulang, Ayudya terus mengucap syukur akan keadaannya saat ini. Matanya tetap menerawang jauh, nampak olehnya mentari yang akan terus bersinar untuk dirinya sampai kapanpun.

--

Cerpen di atas menjadi salah satu bagian dari buku "When Illness become Blessing"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun