Bulan separo bundar, tersimpan di sela kabut malam yang hitam pekat. Sedang hujan tak hendak jatuh. Sebab seharian sudah basahkan setiap jengkal dada.Â
Kotak merah masih erat kugenggam walau gemetar takmampu kukendalikan. Sementara itu, Â dingin malam memaksa menyusup di penjuru sendi. Aku masih sembunyi di balik pohon mangga yang sudah dua hari dipanen tengkulak.Â
 Aku terus waspada dan berkali kilatan mataku berloncatan ke sana  ke mari. Keringat dingin pun sudah penuhi kepala dan leherku. langkahku yang takboleh timbulkan suara sudah sampai di jendela 88. ya bangunan ini memang terdiri dari ratusan kamar.Â
Pelan kuketuk jendela dan berbisik kupanggil nama,
"Surti...surti...ayo cepatlah keluar sebelum kita ketahuan."Â
"I..iya...aku bersiap, tunggu di pintu palang," bisiknya. Â
Aku sedikit lega dan bergegas menuju pintu palang yang bebera hari yang lalu sudah kami persiapkan  untuk kabur dari padepokan brengsek ini tanpa seorang pun tahu. Itu menurut kami.Â
Nyatanya, takada jalan yang semudah kita pikirkan. Sebab aku sempat terkejut bukan kepalang ketika si Bejo yang tukang kebun itu sudah berdiri di pintu itu dengan tubuh yang dibalut sarung ala ninja dan hanya terlihat dua mata yang cekatan mengarahkan kami.Â
Aku hampir saja teriak, kalau Surti tidak segera menutupkan jari tangan ke bibirnya memberi isyarat.
"Sett...lewat sini, ini sedikit, bawalah, mungkin kamu akan memerlukan." bisik Bejo.
Sudah dua minggu setelah pelarianku bersama Surti dari padepokan Gajahsuri. Â Keadaan aman sementara.Â