Mohon tunggu...
Fatimah Dasrum
Fatimah Dasrum Mohon Tunggu... Guru - PNS

Kata Sayidina Ali, kekasih Fatimah, Kesabaran itu ada dua, sabar atas sesuatu yang kauingin dan sabar atas sesuatu yang tidak kauingikan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Namaku Gina Pujiastuti, Aku Seorang Lesbi (3)

9 Maret 2019   16:18 Diperbarui: 9 Maret 2019   16:40 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Baik, sekarang kita bicara serius ya,Gina Pujiastu yang cantik. Di luar sana, pembicaraan tentang Lesbi, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT) sedang marak dibicarakan. Ada yang menuntut pengakuan, ada yang memperjuangkan, ada yang melarang propaganda dengan berbagai alasan. Ada yang mati-matian melindungi."

"Dan kamu meminta pembenaran atas perilaku lesbimu padaku dengan menunjukkan contoh di kotamu, Ponorogo.
Bahwa dari dulu kehidupan homoseks sudah ada dan tidak ada yang menolak, ini dilakukan oleh para Warok Ponorogo dengan Gemblaknya, mereka sesama laki-laki." Katamu

"Aduuh, aku cuma melongo dan tersenyum tipis waktu itu, ingat kan ? Aku tidak langsung jawab, sebab kamu tidak akan siap mendengar jawabanku. Kamu tahu nggak, pembenaranmu itu terlalu dangkal, ya... kayak Joko Tarub bawa payung. nggak nyambung. Ngerti kan, nggak nyambung! "

"Tu kan, kamu marah mendengar jawabanku?" lanjutmu. Dan benar, aku marah. Lalu kamu melanjutkan penjelasanmu,

"Gina, Kamu kira para warok yang pacaran dengan gemblaknya itu tidak membuat istrinya cemburu? Perempuan mana yang nggak cemburui suaminya kayak gitu, mereka menyimpan erat rasa cemburunya, karena sistem  patriaki yang mengakar sejak feodal, jadi mereka tidak berani berontak, takada daya." Kata Dewi lagi menandaskan.

" Benar juga, "pikirku,  sedikit mengiyakan.

Bisa saja seorang perempuan bilang, ya, seolah setuju dengan perilaku suami yang menyimpang. Padahal, bisa diumpamakan kalau dia bersandar pada sebuah pohon, maka pohon itu akan terbakar habis oleh bara cemburu di dadanya.

Dalam berbagai kisah diungkapkan, seorang warok akan menjalani tapabrata untuk mencapai kesaktian. Jadi bukan rahasia lagi, ketika sedang mencari kesaktian, seorang warok akan puasa perempuan. Sebagai gantinya mereka akan menuntaskan hasratnya kepada bocah laki-laki tampan yang sengaja dipeliharanya. Lelaki tampan inilah yang disebut gemblak.

Gemblak merupakan bocah laki-laki berusia antara 12-15 tahun. Mereka berparas tampan dan terawat. Bagi seorang warok, memelihara gemblak adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pun pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman. Bahkan juga terjadi praktik pinjam-meminjam gemblak.

Biaya yang dikeluarkan warok untuk memelihara seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping keperluan makan dan tempat tinggal. Sedangkan bagi gemblak yang tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberinya seekor sapi.

Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak pun turun-temurun dipercaya guna mempertahankan kesaktian. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok.

Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara warok dan gemblaknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.

"Nah, hal seperti itu kamu pakai salah satu alasan untuk membenarkan perilaku Lesbimu , halloo...!" lanjut Dewi Tirtasani dan aku bisa membayangkan kalau dia di hadapanku, pasti sambil memonyongkan bibirnya dan menggigit apel Malang kesukaannya (sebenarnya apel ini asli dari kota Batu, bahkan sekarang mulai banyak di tanam di daerah Pujon).

Aku menahan nafas panjang sebelum melanjutkan catatan Dewi Tirtasani

"Gina, meski itu sebuah sejarah, itu merupakan catatan sejarah budaya kelam yang sudah tentu takbisa kita hapus. Namun, apakah masyarakat yang sudah terdidik akan kembali mencontoh sejarah kelam? Apakah kalau ada contoh perampok seperti Zorro yang hasilnya untuk dibagi-bagi pada masyarakat miskin, kita legalkan, dibolehkaan?... Lalu koruptor boleh meniru, dengan melegalkan korupsinya untuk memelihara anak yatim misalnya? Hei, Haluu!" Dewi seperti kembali mencibirku.

Ah, aku sepeti tersugesti oleh kalimat Dewi Tirtasani, gadis cantik , menawan yang kini sudah pulang. Sudah menuntaskan kewajibannya sebagai perempuan cerdas yang agamis. Semoga kamu mendapatkan Syurga sesuai dengan kiprah dan keiklasnmu. Amiin.

Sudah pukul sepuluh malam, aku masih terus ingin melanjutkan catatan Dewi.

"Jangan mengakunya sebagai masyarakat terdidik, tapi cara berpikir sempit. Sebab, ini juga dipakai para pengaku LGBT untuk melegalkan perilakunya." Lanjut Dewi lagi.

" Hei Gina, Kegiatan para warok melakukan homoseksual itu dalam rangka menjalani tapabrata untuk mencapai kesaktian. Kamu dengar, untuk mencapai kesaktian , sebuah kepercayaan yang diyakininya."

"Dan kita,...aku dan kamu bukankah perempuan Muslim, layakkah percaya dan meyakini kekuatan lain selain Allah?"

Sampai di sini Dewi Tirtasani menutup catatan HVS biru keduanya. Aku jadi lelah dengan pikiran yang dicekoki Dewi di kepalaku. Aku mau tidur


(huff, maaf lagi ya...tubi kontinyuuu...)
Batu(16.18)

Fd,09032019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun