Mohon tunggu...
Fatimah Azzahra
Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum

Your current situation isn't your final destination

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Rekam Jejak Kebebasan Pers di Indonesia

22 Desember 2020   15:47 Diperbarui: 28 Januari 2024   15:13 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pers merupakan media massa yang berfungsi untuk memberikan atau menyebarkan informasi dengan berlandaskan kepada keterbukaan dan kejujuran. Dengan posisinya sebagai media massa, sudah seharusnya pers memiliki hak bebas berpendapat dan menyebarkan informasi yang sesuai fakta dengan mentaati kode etik pers. Namun, pada kenyataanya pers seringkali mengalami kriminalisasi. Kriminalisasi kebebasan pers dapat didefinisikan sebagai adanya pembatasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pihak tertentu kepada pers dalam berekspresi.

Kebebasan pers erat kaitannya dengan hak asasi manusia, sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, "Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak."

Melihat sejarahnya, pers mengalami masa kelam pada era orde lama tahun 1950, dimana pers hanya memihak kepada golongan yang dipilihnya saja. Pada tahun 1960, pers diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Cetak (SIC) dan untuk mendapatkan surat perizinan terdapat syarat yaitu pers harus mematuhi perintah dari penguasa (Aditya Rangga, 2020). Sehingga, pers pada orde lama mengalami kesulitan dalam menyebarkan informasi karena panjangnya prosedur. 

Pada era selanjutnya yaitu orde baru, peran pers cukup penting bagi pemerintahan, yaitu sebagai salah satu alat dalam melaksanakan program-program pemerintah. 

Pers di era ini kembali lagi berada di dalam cengkraman pemerintah, karena pers hanya diharapkan untuk menulis berita sesuai dengan apa yang pemerintah inginkan, dengan tujuan agar situasi di masyarakat tetap tentram dan seimbang. 

Sesuai peraturan menteri penerangan No.01/Pers/Menpen 1984, perusahaan pers yang ingin didirikan serta ingin menerbitkan surat kabar harus memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP), dengan adanya peraturan ini membuat pers semakin sulit karena harus melewati prosedur yang rumit (Sri Hadijah Arnus, 2015:108). Pers di masa ini sangat diharapkan oleh masyarakat umum sebagai alat demokrasi, namun sebaliknya peran pers justru disalahgunakan sebagai alat represif.

Setelah melewati era orde lama dan orde baru, pers saat ini mengalami "bulan madu" kebebasan, dimana pada masa Presiden B.J Habibie Surat Izin Usaha Perusahaan Pers (SIUPP) dihapuskan menjadikan perusahaan bebas didirikan tanpa melalui proses yang panjang dan sulit (Rina Martini, 2014:6). 

Dengan menerapkan sistem pers yang bebas dan bertanggung jawab, pers saat ini dalam menjalankan tugasnya sebagai alat demokrasi bebas tanpa campur tangan dari pihak manapun. Organisasi pers dapat dibentuk lebih dari satu, dahulu hanya terdapat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saja, pada era reformasi terdapat organisasi pers lain seperti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan PWI reformasi. Peran pers sebagai media informasi bagi masyarakat terwujud dengan bebasnya memberi informasi mengenai segala hal tanpa adanya rasa takut untuk mengalami tindak pemberedelan.

Kebebasan pers di Indonesia yang mengalami pasang surut memang dapat menimbulkan stigma bahwa kriminalisasi terhadap pers dapat terjadi lagi di masa sekarang, sehingga perlu adanya solusi serta tanggung jawab pemerintah agar masa kelam bagi pers tidak terjadi lagi. Pers pun harus tetap beretika dengan mentaati kode etik pers dalam menyebarkan informasi, adapun tujuannya agar tidak menimbulkan asumsi yang negatif serta tidak merugikan pihak yang diberitakan.

Daftar Pustaka:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun