Mohon tunggu...
Fatimah Az Zahra
Fatimah Az Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Akuntansi Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam Mengatur Tata Negara dan Menanggulangi Perpecahan

2 November 2023   01:20 Diperbarui: 2 November 2023   02:08 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Al bin Ab Thlib (bahasa Arab:   علي بن أﺑﻲ طالب, bahasa Persia: علی پسر ابوطالب), lahir sekitar 13 Rajab 23 SH/599 M -- meninggal 21 Ramadan 40 H/661 M) adalah khalifah keempat yang berkuasa. Dia termasuk golongan pemeluk Islam pertama dan salah satu sahabat utama Muhammad. Secara silsilah, Ali adalah sepupu dari Muhammad. Pernikahan Ali dengan Fatimah az-Zahra juga menjadikannya sebagai menantu Muhammad.

Ali bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang menjadi khulafaur rasyidin terakhir atau pemimpin Islam setelah Rasulullah meninggal dunia. Ali adalah khalifah keempat atau yang terakhir. Semenjak lahir, Ali diasuh oleh Nabi Muhammad. Sosok Ali sudah menjadi penghibur bagi Muhammad yang saat itu tidak memiliki anak laki-laki. Nabi Muhammad jugalah yang menyematkan nama Ali. Sang Baginda lebih senang memanggil Haydar dengan nama Ali karena memiliki arti derajat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Sepeninggal Rasulullah, Ali bin Abi Thalib merupakan penerus kepemimpinan Islam. Ali melanjutkan kepemimpinan khulafaur rasyidin dari Abu Bakar ash-Shidiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan . Sebagai khulafaur rasyidin, Ali bertugas memimpin Islam. Selama menjabat, dia memiliki tanggung jawab memperluas syiar agama Islam, serta menyejahterakan kaumnya.

Masa pemerintahan Ali disebut sebagai periode tersulit dalam sejarah Islam karena terjadi perang saudara antar umat kaum Muslimin setelah tragedi terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan. Itulah kelebihan Ali bin Abi Thalib saat menjadi khulafaur rasyidin terakhir. Selain itu, dia juga termasuk ke dalam jajaran sepuluh nama sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Kinerja Ali sangat baik terutama dalam urusan keuangan yakni mengurus Baitul Mal. Ali juga mampu memajukan bidang ilmu bahasa, meningkatkan pembangunan, dan meredam pemberontakan di kalangan umat Islam.

Kebijakan-Kebijakan pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib

Khalifah Ali bin Abi Thalib lebih banyak mengurus masalah internal ketimbang perluasan wilayah kekuasaan Islam. Berikut kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh khalifah Ali;
1. Pergantian pejabat pemerintahan. Ali mengganti para pejabat yang diangkat oleh khalifah Utsman bin Affan, karena banyak yang berasal dari keluarga Utsman dan dianggap korup dan tidak adil
2. Penarikan tanah milik negara. Ali menarik kembali tanah-tanah yang telah diberikan oleh khalifah Utsman kepada kerabat-kerabatnya, dan mendistribusikannya kembali kepada rakyat.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan. Ali dikenal sebagai salah satu tokoh yang berilmu dan berwibawa dalam bidang agama, hukum, sastra, dan filsafat. Ia juga mendirikan sekolah-sekolah dan perpustakaan-perpustakaan untuk menyebarluaskan ilmu.
4. Perang Jamal dan Perang Shiffin. Ali menghadapi pemberontakan dari sebagian sahabat Nabi yang menuntut pembalasan atas pembunuhan khalifah Utsman.

PERANG JAMAL
Satu tahun setelah Ali menjadi khalifah, terjadi Perang Jamal. Perang ini terjadi pada tahun 36 H/657 M antara pasukan Ali dengan pasukan Ummul Mukminin, Aisyah binti Abu Bakar. Perang ini terjadi karena Aisyah Ummul Mukminin, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah, kecewa dengan kebijakan Ali yang tidak kunjung menegakkan hukum syariat Islam, khususnya yang terkait dengan pembunuhan Utsman bin Affan. Mereka menilai bahwa jika hukum ini tidak ditegakkan, maka tragedi serupa akan terjadi di masa yang akan datang. Pasukan Ali berhasil meredam pemberontakan ini, dan Aisyah dipulangkan ke Madinah.

PERANG SHIFFIN
Yaitu perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dengan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 37 H/658 M, Muawiyah tidak mau membai'at Khalifah Ali, sekaligus menolak pencopotannya sebagai Gubernur Syam oleh Khalifah Ali. Di samping itu, Muawiyah bin Abi Sufyan juga menganggap Ali tidak mampu menegakkan syariat Islam karena tidak mampu menghukum para pembunuh Utsman. Bahkan ia menuduh Ali di belakang tragedi pembunuhan terhadap Utsman. Jika Perang Jamal berhasil dimenangkan Khalifah Ali, akan tetapi Perang Shiffin tidak. Bahkan, perang inilah yang kemudian menjadi akar terbunuhnya Khalifah Ali dan akhir dari kekhalifahannya.

Akhir Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah. Diakhir pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib muncul khawarij, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya perpecahan yang dikenal dalam teologi Islam. Ahli Sejarawan Islam Syihritini pernah berkata, "Tidak ada masalah yang lebih banyak menimbulkan pertumpahan darah dalam Islam selain masalah kekhalifahan".

 Peristiwa Tahkim

Ketika pasukan Muawiyah terdesak, Amr bin Ash menganjurkan berdamai dengan mengangkat Al-Qur'an sambil berseru, "Marilah bertahkim (melandaskan hukum) kepada Kitabullah." Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan istilah tahkim.

Anjuran untuk berdamai disikapi secara beragam oleh pasukan Ali. Khalifah berketetapan untuk melanjutkan peperangan, sementara sebagian lainnya berkata, "Seandainya mereka sudah meminta bertahkim kepada Kitabullah, apakah layak bagi kita untuk tidak menerimanya?" Atas desakan para sahabatnya, akhirnya Ali menerima ajakan untuk berdamai. Dalam perdamaian tersebut disepakati untuk diadakan perundingan. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, sedang pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari. 

Dalam perundingan, keduanya sepakat untuk menyuruh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah mundur dari jabatannya masing-masing. Selanjutnya, khalifah akan diputuskan berdasarkan kesepakatan umat Islam. Namun, sebagai seorang yang terkenal cerdas, Amr bin Ash berhasil mengelabuhi Abu Musa Al-Asy'ari. Ia minta Abu Musa Al-Asy'ari berpidato terlebih dahulu karena lebih tua. Abu Musa pun naik ke atas mimbar. Dalam pidatonya, dia menegaskan kemunduran Ali dari kursi kekhalifahan. Setelah itu, giliran Amr bin Ash naik ke atas mimbar. Dalam pidatonya, dia menegaskan persetujuannya terhadap pendapat Abu Musa Al-Asy'ari. Kemudian, Amr bin Ash menyatakan kemunduran Muawiyah bin Abi Sufyan dari kekhalifahan. Namun demikian, Amr bin Ash langsung mengukuhkan Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah yang sah.

Semenjak peristiwa tersebut, terjadi perpecahan di kelompok Ali bin Abi Thalib. Sebagian dari mereka menyatakan keluar dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan dirinya sebagai kelompok khawarij (keluar) berjumlah sekitar 12.000 orang. Bahkan, mereka mengatakan bahwa Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash (orang-orang yang terlibat dalam perundingan) adalah kafir. Pada tahun 38 H/659 M, Ali mengajak mereka berdialog, tetapi gagal karena mereka tetap pada pendirian bahwa menerima tahkim adalah kafir. Setahun kemudian, Ali berhasil memerangi kaum khawarij, tetapi beberapa orang yang melarikan diri bersepakat untuk membunuh ketiga tokoh yang terlibat dalam peristiwa tahkim tersebut. Pada tahun 39 H/660 M terjadi perdamaian antara Muawiyah dan Khalifah Ali dengan syarat Ali tidak mencampuri Wilayah Syam. 

Pada 16 Ramadan tahun 40 H/661 M sebelum fajar, dua orang khawarij mengikuti Ali dari belakang. Ketika Ali sampai di depan pintu masjid agung Kufah, keduanya membunuh Ali. Nama pembunuh Ali bin Abi Thalib adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang khawarij. Kaum Muslimin langsung mengepung dan menangkap kedua pembunuh tersebut. Mereka bertanya kepada Ali, "Apa yang harus kami perbuat terhadap mereka berdua?" Ali menjawab, "Jika aku bertahan hidup, aku mempunyai perhitungan tersendiri, jika aku mati, aku menyerahkan kepada kalian. Jika kalian membalas dendam, balaslah satu pukulan dengan satu pukulan serupa, tetapi jika kalian memaafkan, maka hal itu lebih dekat kepada ketakwaan."

Pada tanggal 19 Ramadan 40 H, Ali bin Abi Thalib menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelum meninggal, Ali bin Abi Thalib berpesan, "Sepeninggalku, janganlah kalian memerangi kaum Khawarij. Sungguh orang yang mencari kebenaran tetapi terjabak dalam kekeliruan berbeda dengan orang yang menonjolkan kepalsuan dan terus mempertahankannya." Kemudian, seiring dengan wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, berakhirlah masa Khulafaurrasyidin. Terhitung mulai dari khalifah pertama sampai terakhir, hampir selama tiga puluh tahun lamanya. Dari semua itu, banyak hal yang bisa dipelajari dan diteladani, yang baik dijadikan sebagai bahan perbaikan karakter siswa agar kelak dapat berguna bagi nusa, bangsa dan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun