Mohon tunggu...
fatimah
fatimah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Kepribadian saya cenderung pendiam dan introvert, namun saya senang berdiskusi dengan individu yang memiliki minat serupa. Topik konten yang saya minati adalah sejarah, teknologi, dan politik. Saya memiliki keterkaitan untuk mempelajari hal-hal baru dan selalu ingin tahu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjelajahi Perspektif Teori Hubungan Internasional: Realisme, Neorealisme, Liberalisme, dan Neoliberalisme

13 Oktober 2024   22:47 Diperbarui: 14 Oktober 2024   01:57 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hubungan internasional (HI) adalah bidang studi yang kompleks dan memiliki banyak dimensi, berupaya mengkaji interaksi antara negara serta aktor non-negara dalam tatanan global.

 Untuk mengatasi kompleksitas ini, para sejarawan HI telah menyusun sejumlah teori yang menyediakan kerangka analisis untuk memahami fenomena dunia. Antara berbagai teori tersebut, realisme, neo-realisme, liberalisme, dan neo-liberalisme muncul sebagai pilar utama dalam diskusi HI. 

Meskipun setiap teori menawarkan pandangan yang unik, mereka memiliki tujuan serupa seperti, menjelaskan sekaligus memahami perilaku negara di panggung internasional. 

Namun demikian, perbedaan mendasar dalam asumsi dasar dan fokus kajian masing-masing menciptakan variasi pemahaman mengenai dinamika kekuasaan,pengaruh aktor non-negara, serta potensi kerjasama global. 

Tulisan ini akan menggali persamaan serta perbedaan kunci antara keempat teori tersebut. 

Dengan melakukan pembandingan terhadap asumsi-asumsi pentingnya, konsep-konsep fundamentalnya, dan dampak kebijakannya, j awaban ini bertujuan untuk memberikan wawasan lebih luas mengenai peta teori HI dan kontribusi dari tiap-tiap pendekatan terhadap pemahaman kita tentang tatanan internasional.

Kesamaan dan Perbedaan dalam Kajian Teori Hubungan Internasional: Realisme, Neo-Realisme, Liberalisme, dan Neo-Liberalisme

Realisme: Kekuasaan sebagai Penggerak Utama

Sebagai salah satu teori dasar dalam Ilmu Hubungan Internasional, realisme memiliki akar yang kuat dalam pemikiran Niccol Machiavelli serta Thomas Hobbes. 

Menurut pandangan realis, negara merupakan aktor sentral di kancah internasional, dengan perilaku mereka didorong oleh keinginan untuk mencapai keamanan serta mengoptimalkan kekuasaan. 

Premis utama dari realisme adalah bahwa arena internasional adalah sistem anarkis artinya tidak terdapat otoritas pusat yang lebih tinggi untuk menegakkan hukum maupun perdamaian. 

Dalam konteks anarki tersebut, negara harus bergantung pada dirinya sendiri guna melindungi kepentingan mereka---di mana kekuasaan menjadi alat esensial untuk mewujudkan tujuan ini. 

Realisme juga memberikan penekanan pada konsep "self-help" atau pertolongan diri sendiri artinya setiap negara bertanggung jawab penuh terhadap keamanan masing-masing. 

Negara-negara selalu berupaya memaksimalkan posisi relatif mereka terkait kekuasaan karena hal ini dipandang sebagai sarana untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan nasional. 

Selain itu, doktrin ini mencatat pentingnya keseimbangan kekuasaan, para aktor negara berusaha mencegah munculnya dominasi dari suatu entitas tertentu yang dapat mengancam keselamatan mereka.

Neo-Realisme: Struktur Sistem Internasional sebagai Faktor Penentu

Neo-realisme, yang juga disebut realisme struktural, muncul sebagai tanggapan terhadap kritik yang diarahkan pada realisme klasik. Teori ini, yang dipopulerkan oleh Kenneth Waltz, menyoroti pentingnya struktur sistem internasional dalam mempengaruhi perilaku negara. Konsep ini berargumen bahwa tindakan negara lebih ditentukan oleh distribusi kekuasaan dalam sistem global dibandingkan faktor internal seperti ideologi atau kepemimpinan. 

Struktur dari sistem internasional itu sendiri, didefinisikan melalui jumlah dan distribusi kekuatan antarnegara, menciptakan batasan (constraints) bagi bagaimana negara bertindak. 

Dalam konteks bipolar---seperti selama Perang Dingin---negara-negara cenderung memiliki kebebasan terbatas akibat adanya ancaman dari kekuatan lain. 

Sebaliknya, dalam situasi multipolar, misalnya sebelum Perang Dunia I, meskipun negara-negara menikmati kebebasan lebih besar untuk mengambil keputusan, mereka menjadi lebih rentan terhadap potensi ketidakstabilan.

Liberalisme: Kerjasama dan Peran Institusi Internasional

Liberalisme memberikan pandangan berbeda tentang dinamika sistem internasional dengan kemungkinan terjadinya kerjasama serta peran institusi internasional. Pandangan ini berargumen bahwa negara dapat saling bekerja sama demi memperoleh keuntungan bersama dan bahwa institusi internasional sangat berguna dalam merangsang kolaborasi semacam itu. 

Dasar pemikiran liberal terletak pada keyakinan akan kemampuan manusia untuk menggunakan akal sehat guna menyelesaikan konflik melalui dialog dan negosiasi. 

Teori ini menggarisbawahi betapa pentingnya aturan-aturan serta norma-norma bersama dalam membangun tatanan dunia yang damai dan stabil. Selain itu, liberalisme juga memberikan perhatian kepada aktor non-negara seperti organisasi internasional dan lembaga swadaya masyarakat yang turut berkontribusi dalam pembentukan kebijakan luar negeri negara serta mendorong inisiatif kerjasama di tingkat global.

Neo-Liberalisme: Peran Institusi dalam Mendorong Kerjasama

Neo-liberalisme, yang juga dikenal sebagai liberalisme institusional, mengembangkan teori liberalisme dengan tekanan pentingnya institusi internasional dalam mendukung kerjasama antar negara. 

Para pendukung neo-liberalisme berargumen bahwa lembaga-lembaga internasional seperti PBB, WTO, dan IMF dapat membantu mengurangi kesehatan serta meningkatkan kepercayaan antara negara-negara, sehingga memfasilitasi kolaborasi. 

Menurut pandangan neo-liberalisme tersebut, lembaga internasional berfungsi sebagai platform untuk negosiasi, alat untuk menegakkan aturan dan norma-norma yang ada, serta sumber informasi dan keahlian. 

Dengan memperkecil rasa tidak pasti dan meningkatkan tingkat saling percaya, lembaga-lembaga ini dapat membantu negara-negara menghadapi dilema keamanan sambil mencapai tujuan bersama.

Kesamaan dan Perbedaan

Meskipun empat teori ini memiliki titik fokus yang berbeda-beda, terdapat beberapa kesamaan di antara mereka. Semua pemikiran aliran ini mengakui pentingnya negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional. Mereka juga sepakat bahwa sistem internasional bersifat anarkis; di mana tidak terdapat otoritas pusat tertinggi. 

Perbedaan signifikan terjadi pada asumsi-asumsi dasar mengenai sifat manusia, pengaruh kekuasaan, serta kemungkinan terjadinya kerjasama global. Realisme dan neo-realisme menyatakan bahwa bangsa-bangsa didorong oleh kepentingan pribadi sehingga menjadikan kerjasama internasional sulit diwujudkan. 

Sebaliknya, liberalisme dan neo-liberalisme lebih menyoroti potensi kolaborasi serta kontribusi institusi-institusi internasional dalam mendorong tindakan kooperatif antar negara.

Dampak Kebijakan

Variasi dalam asumsi serta prioritas dari setiap teori tersebut membawa implikasi kebijakan yang berlainan pula. Realisme maupun neo-realisme cenderung mendukung pendekatan-pendekatan yang lebih fokus pada kekuatan militer dan keseimbangan kekuasaan antarnegara. Di sisi lain, liberalisme bersama dengan neo-liberalisme lebih condong pada kebijakan strategis yang mengutamakan diplomasi globalisasi kerja sama internaisonal sekaligus pembangunan lembaga-lembaga global.

Kesimpulan dan Penutup

Dalam menjelajahi realisme, neo-realisme, liberalisme, dan neo-liberalisme, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada satu teori tunggal yang mampu memberikan jawaban pasti untuk memahami kompleksitas hubungan internasional. Setiap pendekatan menawarkan sudut pandang yang unik dengan penekanan berbeda pada variabel-variabel yang mempengaruhi perilaku negara serta dinamika sistem global. 

Realisme dan neo-realisme lebih menonjolkan peran kekuasaan serta anarki dalam membentuk tindakan negara, sedangkan liberalisme dan neo-liberalisme menggarisbawahi potensi kolaborasi serta institusi kontribusi internasional. 

Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan dalam asumsi dasar dan fokus masing-masing teori, keempatnya memiliki tujuan yang selaras: memahami dan menjelaskan perilaku negara di arena internasional. Perlu dicatat bahwa teori-teori ini bukanlah prinsip yang kaku, melainkan alat analisis yang berfungsi membantu pemahaman tentang dunia internasional. 

Dalam praktiknya, fenomena global sering kali merupakan hasil interaksi berbagai elemen yang tidak dapat sepenuhnya dijelaskan oleh satu perspektif saja. 

Dengan demikian, diperlukan pendekatan holistik dan integratif guna memperoleh pemahaman komprehensif mengenai kompleksitas hubungan internasional. 

Dengan memadukan wawasan dari berbagai teori tersebut, kita bisa mendapatkan pandangan menyeluruh terhadap dinamika global serta menyusun kebijakan yang lebih efektif untuk menghadapi tantangan-tantangan yang rumit di tingkat internasional. 

Tulisan ini hanya menyediakan pengantar singkat untuk mendalami lanskap teori Hubungan Internasional (HI). Untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam, diperlukan studi lanjutan mengenai beragam teori serta penerapan praktisnya dalam menganalisis fenomena-fenomena global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun