Mohon tunggu...
Fatimah
Fatimah Mohon Tunggu... Freelancer - Beginner

Girl. 23 yo. Acehnese

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Gelap Merayap di Tengah Rimba

23 November 2018   23:29 Diperbarui: 24 November 2018   13:12 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minibus tua yang kami tumpangi baru saja bergerak keluar dari hutan konservasi ketika mesin mobil tiba-tiba terbatuk, lantas mati di tengah perjalanan.

Sial.

Rombongan wisatawan yang tadinya sudah terbuai oleh perjalanan kini memandang kebingungan. Aku dan si supir, pak Herr keluar mengecek keadaan mobil. Tak butuh waktu lama bagi pak Herr untuk mengindentifikasi masalahnya. Mesin radioator bocor. Dari kening pak Herr yang mengerut cukup dalam, tampaknya rusak berat. Kami tak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi.

"Ada masalah apa?" tanya Pak Lukman, salah seorang rombongan wisatawan. Bersamanya adalah istrinya, Prita dan anak lelakinya, Kevin yang mengidap asma. Kujelaskan padanya soal radiator yang rusak. Dengan segera, rombongan lainnya yang mendengar mulai panik. Tidak ada yang mau terjebak di tengah hutan begini mengingat senja hendak beranjak malam. Apalagi Kanaya, si mahasiswi muda yang takut hutan dan kegelapan. Ia ikut hanya karena loyalitasnya pada Anggi, teman seperjalanan sekaligus seniornya. Kaki Anggi terkilir ketika berada di puncak. Beruntung Pak Herr bisa menangani walau seadanya.  Meski demikian, Anggi tak tampak terlalu khawatir. Tidak selama baterai kamera mirrorlessnya masih full. Ia masih dengan tenangnya merekam setiap momen ini.

"Tenang, tenang, kami akan memanggil orang untuk segera menjemput kita. Yang pasti kita tidak akan bermalam di sini" ucapku berusaha menenangkan mereka. "Jadi mohon tetap tenang dan kerjasamanya, yaa".

Jam menunjukkan pukul 18.30. Matahari terbenam kurang dari 1 jam lagi. Aku mengontak Firman, rekanku yang tinggal di kota dekat penginapan.

"Oke Farid, tapi nggak bisa cepat ya. Tau sendiri kan jalan kesana rusak. Paling cepat dua jam 15 menit,"

Tidak ada pilihan lain, kami terpaksa menunggu di sini saat malam tiba. Sebelum menutup telepon, aku meminta tolong Firman untuk membelikan 6 pak nasi kotak dan air mineral, mengingat makanan yang tersisa hanya tersisa 2 pak lagi. Aku meminjam ponsel Prita untuk men-share lokasi berhubung hanya ponselnya yang terkoneksi internet.

"Excuse me", Fred, si turis asal Inggris menghampiriku. Pria yang berumur 78 tahun ini adalah seorang petualang dan ahli biologis. " I need to go to BATHROOM" ucapnya sambil menekankan kata "kamar mandi" dengan menunjukkan semak-semak di hutan sana.

"Sure," ucapku seraya menghimbaunya untuk berhati-hati dan tidak jauh-jauh dari lokasi.

Fred membuat tanda OK dengan tangannya. Diiiringi suara tongkatnya, ia melangkah ke balik hutan sana demi menunaikan hajatnya.

Selanjutnya aku menghubungi Pak Wahyu, Sang penjaga hutan. Kuceritakan padanya masalah dan kondisi kami saat ini. Ia bersedia membantu dan menawarkan rombongan untuk beristirahat di pondoknya. Pak Wahyu akan menuju lokasi kami, katanya. Ia juga akan membawa alat penerangan.

Pak Herr masih sibuk mengotak-atik mobilnya, berharap bisa menemukan cara memperbaiki mesin mobil tuanya. Mimiknya menyiratkan kekesalan sekaligus rasa bersalah.

"Sudah, pak Herr.. istirahat saja dulu. Saya sudah hubungi Firman dan pak Wahyu", ucapku. Aku mengkhawatirkan kondisi kesehatan Beliau.

Pak Herr masih tertunduk dengan perasaan tidak enak. Aku berusaha meyakinkan bahwa ini bukan salahnya, melainkan hanya sedang apes saja. Setelah kuyakinkan beberapa kali, akhirnya beliau ikut beristirahat bersama rombongan.

Aku beralih pada Anggi. "Anggi, bagaimana kakimu?" tanyaku.

Mahasiswi itu terkejut. Ia sedang asik melihat hasil jepretannya. "Lumayan, mas. Tapi masih sakit kalau digerakkan".

"Syukurlah kalau begitu, kalau ada apa-apa, katakan yaa".

Anggi mengangguk.

Aku memerhatikan seluruh rombongan lainnya. Kanaya yang mulai cemas tak mau lepas dari Anggi. Prita sedang menenangkan Kevin. Bocah 8 tahun itu bahkan tak ingin lepas dari ayah dan ibunya. Mereka ada jadwal penerbangan besok pagi untuk menghadiri Kompasianival 2018, kata Pak Lukman padaku sebelumnya.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi peluit dari balik hutan sana. Kami semua mendongak ke arah suara tersebut berasal. Aku meminta tolong Lukman untuk menemaniku mencari asal suara tersebut, barangkali itu Fred yang tersesat. Lukman menyetujuinya. Aku menyuruh Herr menjaga rombongan lainnya.

"Fred?, Freddd!" kami memanggil. Disusul suara peluit lagi.

Syukurlah. Itu Fred! Pria tua itu sudah berada agak jauh dari lokasi. Ia terduduk di hamparan ilalang dengan peluit menyangkut dimulutnya.

Katanya, Mr. Fred menemukan seekor jenis burung langka yang ia baca di buku Wallace. Ia mencoba mengikuti arah terbang  burung tersebut, hingga tanpa sadar pergi terlalu jauh. Ia sampai terjerembab karena tanah yang licin. Beruntung tidak kenapa-kenapa.

Kini semua sudah berkumpul kembali. Kuterangkan pada mereka untuk bersama selama dua jam kedepan menunggu mobil Firman. Di sini juga aku berusaha membuat kesepakatan soal siapa yang akan berangkat pertama, berhubung sedan Firman hanya bisa mengangkut empat orang. Sisanya bisa menginap di dipondok pak Wahyu untuk kembali besok pagi.

"Berhubung keluarga pak Lukman ada jadwal yang tak bisa ditunda, saya menyarankan pak Lukman dan keluarga lah yang pulang malam ini. Yang lainnya menginap di pondok pak Wahyu. Bagaimana, setuju?"

Semuanya mengangguk.

"Anggi, pak Wahyu akan merawatmu. Jika perlu, Beliau bisa membawamu kekampung terdekat untuk pengobatan".

Anggi setuju-setuju saja. Kanaya otomatis setuju jika Anggi demikian.

Pak Wahyupun tiba dengan sepeda motornya. Ia membawa alat penerangan dan beberapa roti. Kanaya bisa sedikit bernafas lega. Malam semakin gelap. Senter dari ponsel pak Lukman tak lagi banyak membantu.

Diputuskan pak Herr yang akan berangkat ke pondok pak Wahyu. Selain agar Beliau bisa segera beristirahat karena kondisi kesehatannya, juga agar ada yang menjaga Anggi dan Kanaya nantinya saat pak Wahyu pergi menjemput lagi. Sekali bolak balik, membutuhkan waktu setengah jam.

Pak Wahyu telah pergi dengan pak Herr. Kami duduk melingkari api unggun yang dibuat Mr. Fred sambil mengisi perut dengan cemilan-cemilan yang ada. Berhubung cuma dua pak nasi yang tersedia, aku memberikannya pada Pak Lukman dan keluarga. Soalnya mereka akan segera menempuh perjalanan jauh kembali ke kota. Sisanya menunggu makan malam yang kutitipkan pada Firman.

Dalam momen itu, kami juga saling mengobrol dan bertukar cerita. Pak Lukman yang banyak mendominasi percakapan mengomentari kekisruhan politik yang terjadi, kampanye hitam dan janji-janji palsu calon legislatif. Anggi dan Kanaya hanya mangut-mangut saja. Sedangkan, Mr. Herr tampaknya lebih menikmati mendengar suara alam.

Pak Wahyu telah kembali. Anggi selanjutnya. Disusul Kanaya, dan selanjutnya Mr. Herr.

Sekitar dua jam lewat tiga puluh menit, Firman tiba. Akhirnyaa. Hanya tinggal pak Lukman sekeluarga, aku dan pak Wahyu yang ikut menunggu di lokasi. Yang lainnya sudah berada di pondok pak Wahyu.

"Maaf pak Lukman dan Bu Prita atas kendala hari ini", aku menyampaikan permintaan maafku dan pak Herr atas ketidaknyamanan yang terjadi.

"Tidak masalah, nggak begitu buruk kok" jawabnya sambil tertawa. Kamipun mengucapkam salam perpisahan. Mobil sedan Firman berlalu dengan gelapnya malam.

Selanjutnya aku pergi menyusul yang lainnya diboncengi pak Wahyu sambil menggandeng bungkusan plastik makan malam yang dibeli oleh Firman tadi.

Anggi tampak sudah mendingan. Kanaya yang tadinya suram kini mulai sumringah. Kami semua makan makan malam bersama pak Wahyu. Mr. Herr ngomong banyak hal dengan pak Wahyu dengan bantuanku sebagai penerjemah. Aku, Anggi dan Kanaya juga banyak mengobrol malam itu, diselingi dengan gurauan dan selfie yang dipelopori oleh Anggi. Suasana malam di pondok di tengah hutan memang menyenangkan. Kami tidur nyenyak malam itu.
...
Pagi menjelang. Firman telah tiba menjemput Anggi, Kanaya dan Mr. Herr. Aku dan pak Herr akan kembali saat mobil kami di benahi oleh montir yang dibawa Firman. Tapi tetap saja tak bisa bertahan lama, minibus pak Herr harus segera dibawa ke bengkel sesampainya di kota. Tak masalah.

Sekali lagi aku meminta maaf kepada mereka atas kendala kemarin. Kami kemudian saling bersalaman sebelum berpisah. Saat menjabat tangan Anggi, gadis itu menyelipkan coklat batangannya di tanganku sambil tersenyum manis. Sambil cekikikan, kedua gadis mahasiswi itu masuk ke mobil Firman bersama Mr. Herr. Aku melambaikan tangan kepada mereka semua hingga sedan tersebut hilang di balik hutan.

Kubuka genggamanku, melihat coklat yang Anggi berikan. Kuperhatikan rupanya ada sticky note kecil di bungkusan belakangnya. Bertuliskan:

"Thank you, mas Farid ;)  - A."

Hiyaaaa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun