Fatimah Azzahra
Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ
Setiap munusia memiliki kebutuhan dan keinginan dalam menjalani hidup. Menurut Maslow (dalam Sejati, 2018) ada 5 tingkatan dalam hirarki kebutuhan manusia yaitu :
- Kebutuhan Fisiologis
Merupakan tingkat kebutuhan paling mendasar, paling kuat dan jelas diantara kebutuhan manusia yang lain. Contoh dari kebutuhan ini ialah sandang, pangan, papan, tidur, bernafas dan kebutuhan lain yang sangat penting untuk kelangsungan hidup.
- Kebutuhan Rasa Aman
Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan-kebutuhan baru lainnya seperti perlindungan, keselamatan, ketergantungan, ketertiban, hukum dan sebagainya yang membuat manusia tenang serta merasa aman. Â
- Kebutuhan Sosial
Apabila kebutuhan fisiologi dan rasa aman sudah cukup terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan-kebutuhan akan cinta, rasa kasih, rasa memiliki, perhatian dari orang lain, hubungan pertemanan dan hubungan dengan individu lain.
- Kebutuhan Penghargaan
Semua individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan memiliki kebutuhan atau keinginan akan penilaian dan penghargaan terhadap dirinya dari orang lain disekitarnya. Pemenuhan kebutuhan akan perhargaan ini akan menimbulkan rasa percaya diri pada individu. Â
- Kebutuhan Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri dapat diartikan sebagai penggunaan segala potensi dan bakat yang ada pada diri individu. Setelah kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, serta penghargaan dari orang lain terhadap individu sudah cukup terpenuhi maka individu tetap ingin menunjukan potensi serta kualitas dari dirinya yang berguna untuk masyarakat sekitar.
Berdasarkan 5 hirarki ini, kita dapat mengetahui bahwa cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan alami manusia termasuk untuk para pemuda. Pengertian pemuda sendiri dalam UU no.40 tahun 2009 tentang kepemudaan pada pasal 1 ayat 1 ialah warga negara Indonesia yang sedang dalam periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 sampai 30 tahun. Pemuda adalah fase usia paling produktif sepanjang hidup manusia, karena tenaga, gelora semangat, dan idealisme kita paling powerful saat fase ini. Saat fase ini juga manusia mempunyai gelora yang tinggi untuk mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang terutama kepada lawan jenis.
Menurut Maslow (dalam Sejati, 2018), cinta itu menyangkut suatu hubungan sehat dan penuh kasih sayang mesra antar dua individu termasuk sikap saling percaya. Menurut teori segitiga cinta Sternberg (dalam Nuri dkk, 2020) ada tiga komponen dalam cinta yaitu : 1) keintiman (intimacy) ialah salah satu elemen emosi yang di dalamnya terdapat kehangatan, kepercayaan, menghormati satu sama lain, keterbukaan dan keinginan untuk membina hubungan; 2) gairah (passion) ialah elemen motivasi yang didasari pada ketertarikan fisik dan seksual sehingga timbul perasaan senang, berbunga-bunga dan terpesona; 3) komitmen (commitment) ialah elemen kognitif (logika dan perasaan) yang berbentuk tindakan seperti menerima pasangan tanpa syarat, saling menjaga dan melindungi. Â Â Â
Pada konteks hubungan cinta dengan lawan jenis, beberapa orang dapat melandasinya dengan komitmen kuat sepanjang hidup ataupun hanya ingin membangun komitmen hubungan sesaat. Komitmen yang kuat seperti pernikahan dan berjanji untuk selalu bersama seumur hidup. Atau komitmen hubungan yang hanya dibangun sesaat seperti pacaran. Menurut Furman (dalam Dwiyani dan Wilani, 2020) pacaran dapat diartikan sebagai pola berkelanjutan dari hubungan dan interaksi antar dua individu yang telah mengakui adanya kecocokan satu sama lainnya.Â
Melihat fenomena pacaran di kalangan pemuda, muncul istilah baru yang sempat menjadi trends dibeberapa tahun belakangan ini yaitu bucin atau budak cinta. Istilah ini biasanya disematkan kepada seseorang yang menghamba pada kekasih atau pacarnya. Individu yang dilabeli istilah ini rela melakukan apapun demi menunjukan rasa cintanya kepada sang kekasih. Menurut Tim CNN Indonesia (dalam Dwiyani dan Wilani, 2020) perilaku bucin biasanya dilakukan dengan menunjukan keromantisan termasuk secara vulgar, dengan memperlihatkan rasa sayang secara langsung maupun melalui kalimat mesra di sosial media. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan alami manusia, namun akan mengkhawatirkan jika perilaku yang muncul sudah melampaui batas wajar. Â Â Â Â
Relasi pacaran dapat dikatakan sebagai hubungan bersifat dua arah (dyadic relationship) yang disertai dengan adanya pertemuan untuk berinteraksi maupun melakukan aktivitas bersama. Dalam hubungan pacaran antar dua individu, terdapat juga relasi hubungan yang mendominasi dan didominasi, relasi subjek-objek, serta relasi mengatur dan diatur. Hubungan subjek-objek dalam relasi pacaran banyak dituangkan dalam percakapan dan tindakan sehari-hari yang bersifat manipulatif, sehingga korban tidak merasa sedang didominasi maupun diatur (Apriantika, 2021). Individu yang rela melakukan apapun untuk pacarnya atau yang disebut sebagai bucin cenderung akan menjadi pihak yang didominasi atau yang diatur.
Relasi pacaran termasuk relasi yang kompleks, dalam relasi ini setiap individu membutuhkan aktualisasi diri. Aktualisasi diri yang memang dibutuhkan tersebut seperti merangkul, berpegangan tangan bahkan hingga mencium dimuka umum. Perilaku-perilaku tersebut menunjukan seolah mereka tidak akan berpisah, kemudian muncul rasa ingin diakui dan ingin memiliki. Perasaan ingin memiliki dan diakui inilah yang mendorong individu untuk menjadi budak cinta, namun hal ini juga menjadi pemicu adanya ketimpangan dalam pacaran.
Ketimpangan adalah keadaan ketika ada suatu ketidakseimbangan akses, hak, ketidaksesusaian perilaku yang diterima dalam satu hubungan baik antar individu maupun antar masyarakat. Ketimpangan dalam relasi pacaran adalah salah satu bentuk ketidakadilan, ketimpangan ini bisa berupa kekerasan atau yang biasa disebut sebagai Dating Violence (Sari, 2018). Kekerasan ini bisa berupan kekerasan verbal atau emosional, kekerasan fisik dan kekerasan psikologis atau mental. Kekerasan tidak harus diawali dari pertikaian, namun bisa dimulai dari cinta.
Menurut Bird & Melvile (dalam Mayasari dan Renaldi, 2017) Dating Violence atau kekerasan dalam pacaran dapat dipahami sebagai segala bentuk tindakan yang berunsur pemaksaan, penekanan, perusakan, pelecehan fisik dan psikologis dalam hubungan pacaran. Berdasarkan hasil penelitian dari National Crime Victimization Survey (2006) di Amerika Serikat mendapatkan kesimpulan bahwa perempuan 6 kali lebih rentan mengalami kekerasan akibat ulah teman dekat mereka, baik pacar maupun mantan pacar.Â
Sama halnya dengan di Indonesia, tindakan kekerasan sering kali terjadi karena budaya patriarki, dimana perempuan dinilai lebih inferior sedangkan laki--laki lebih superior. Laki-laki lebih mempunyai kekuasaan dalam semua aspek kehidupan yang lebih dominan dibandingkan perempuan, termasuk aspek berkuasa atas diri perempuan. Dan sayangnya pemahaman seperti ini telah merasuk kedalam pikiran individu-individu melalui proses sosialisasi di masyarakat maupun sosialisasi dalam pendidikan.
Kekerasan dalam pacaran cenderung dianggap wajar sebagai resiko dalam hubungan dan menyebabkan korban umumnya tetap bertahan meski telah mendapatkan kekerasan. Padahal tanpa disadari, perilaku kekerasan tersebut dapat menjadi sebuah siklus yang terus berulang serta berkelanjutan dan dapat berdampak buruk bagi korban.Â
Dalam konteks berpacaran, kekerasan yang dialami oleh perempuan kadang tidak disadari secara langsung (Sharpe & Taylor 1999 dalam Mayasari & Renaldi, 2017: 78). Korban yang mayoritas adalah perempuan umumnya bertahan dengan dalih bahwa pasangannya melakukan kekerasan karena sedang mengalami masalah lalu ia seharusnya memahami hal tersebut. Rasionalisasi lainnya ialah keadaan dimana setelah melakukan kekerasan, pasangan biasanya menunjukkan sikap menyesal, meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi serta bersikap manis kepada korban.
Dari hasil penelitian Mayasari & Renaldi, ditemuka alur kekerasan pada perempuan dalam hubungan berpacaran. Keseimpulan penelitian menurut mereka perempuan menjadi korban dalam relasi hubungan pacaran karena perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah dalam relasi yang ada. Perempuan dianggap mudah ditekan, diancam atau dikasarkan dengan pemukulan. Hal ini juga diterima begitu saja oleh perempuan karena ketakutan mereka akan ditinggalkan, terlebih lagi jika mereka sudah bergantung hidup kepada pasangan laki-lakinya.
Lalu bagaimana seharusnya pemuda (baik laki-laki maupun perempuan) menyikapi hakikat cinta dan hubungan pacaran agar terlepas dari relasi dominasi serta ketimpangan?. Menurut Erich Fromm (dalam Apriantika, 2021) cinta itu menyatukan dua orang namun tetap menjadi diri sendiri. Sehingga dalam hubungan pacaran yang terjalin seharusnya tidak ada kepemilikan mutlak diantara dua individu yang kemudian menjadi legitimasi untuk memaksakan kehendak maupun melakukan dominasi. Cinta sebagai dasar dari relasi pacaran seharusnya tetap memberikan kesempatan kepada individu untuk menjadi dirinya sendiri, bebas menentukan pendapat dan berhak memutuskan segala hal yang berkaitan dengan dirinya.
Menurut Erich Fromm (dalam Apriantika, 2021) untuk menghindari munculnya kekerasan dalam hubungan pacaran bisa dengan melakukan hal berikut :
- Memaknai kembali hakikat cinta, cinta itu menyatukan dua individu namun tetap menjadi dirinya sendiri. Relasi pacaran perlu dibangun atas dasar cinta yang produktif dan memberikan kebebasan serta otoritas kapada pasangan untuk bertindak dan menentukan hidupnya. Â
- Mengubah paradigm mencintai bukan sebagai upaya memiliki (to have) namun sebagai proses menjadi (to be), mencintai sebagai upaya memiliki akan menjadikan pasangan sebagai objek cinta yang pasif dan berupaya untuk mencari kepuasan serta pasangan hanya dianggap sebagai sarana pemenuhan kepuasan. Upaya memaknai tindakan mencintai sebagai proses menjadi (to be) memungkinkan individu untuk mencintai dengan produktif, memberikan kebebasan, kemerdekaan, saling mendukung dan berproses menjadi lebih baik.
- Mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain, ketika individu sudah bisa mencintai serta menghormati dirinya sendiri maka ia memiliki kemampuan untuk peduli dan menghormati orang lain. Jika individu mampu mencintai diri sendiri, maka dia tidak akan menuntut orang lain untuk mencintainya atau menuntut kepedulian atas dirinya, karena yang dilakukan adalah membagi cinta seperti yang ia beri untuk dirinya sendiri, bukan menuntut dicintai.
Daftar PustakaÂ
Apriantika, S. G. (2021). Konsep Cinta Menurut Erich Fromm; Upaya Menghindari Tindak Kekerasan dalam Pacaran. DIMENSIA: Jurnal Kajian Sosiologi, 10(1), 44-60.
Mayasari, A., & Rinaldi, K. (2017). Dating Violance Pada Perempuan (Studi Pada Empat Perempuan Korban Kekerasan Dalam Hubungan Pacaran Di Universitas X). SISI LAIN REALITA, 2(2), 76-89.
Sari, D. K. (2018). Kekerasan dalam Pacaran pada Ruang Akademik Studi Kasus Iain Tulungagung. Martabat, 2(1), 51-70.
Wulandari, P. (2019). Hubungan Antara Maskulinitas dengan Kekerasan dalam Pacaran pada Remaja Laki-Laki (Doctoral dissertation, Universitas Mercu Buana Yogyakarta).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H