Mohon tunggu...
Fatimah Azzahra
Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi UNJ 2019

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Pacaran di Kalangan Pemuda: Dari Budak Cinta (Bucin) hingga Dating Violence

21 Oktober 2021   00:53 Diperbarui: 21 Oktober 2021   00:58 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Melihat fenomena pacaran di kalangan pemuda, muncul istilah baru yang sempat menjadi trends dibeberapa tahun belakangan ini yaitu bucin atau budak cinta. Istilah ini biasanya disematkan kepada seseorang yang menghamba pada kekasih atau pacarnya. Individu yang dilabeli istilah ini rela melakukan apapun demi menunjukan rasa cintanya kepada sang kekasih. Menurut Tim CNN Indonesia (dalam Dwiyani dan Wilani, 2020) perilaku bucin biasanya dilakukan dengan menunjukan keromantisan termasuk secara vulgar, dengan memperlihatkan rasa sayang secara langsung maupun melalui kalimat mesra di sosial media. Kebutuhan akan cinta dan kasih sayang merupakan kebutuhan alami manusia, namun akan mengkhawatirkan jika perilaku yang muncul sudah melampaui batas wajar.       

Relasi pacaran dapat dikatakan sebagai hubungan bersifat dua arah (dyadic relationship) yang disertai dengan adanya pertemuan untuk berinteraksi maupun melakukan aktivitas bersama. Dalam hubungan pacaran antar dua individu, terdapat juga relasi hubungan yang mendominasi dan didominasi, relasi subjek-objek, serta relasi mengatur dan diatur. Hubungan subjek-objek dalam relasi pacaran banyak dituangkan dalam percakapan dan tindakan sehari-hari yang bersifat manipulatif, sehingga korban tidak merasa sedang didominasi maupun diatur (Apriantika, 2021). Individu yang rela melakukan apapun untuk pacarnya atau yang disebut sebagai bucin cenderung akan menjadi pihak yang didominasi atau yang diatur.

Relasi pacaran termasuk relasi yang kompleks, dalam relasi ini setiap individu membutuhkan aktualisasi diri. Aktualisasi diri yang memang dibutuhkan tersebut seperti merangkul, berpegangan tangan bahkan hingga mencium dimuka umum. Perilaku-perilaku tersebut menunjukan seolah mereka tidak akan berpisah, kemudian muncul rasa ingin diakui dan ingin memiliki. Perasaan ingin memiliki dan diakui inilah yang mendorong individu untuk menjadi budak cinta, namun hal ini juga menjadi pemicu adanya ketimpangan dalam pacaran.

Ketimpangan adalah keadaan ketika ada suatu ketidakseimbangan akses, hak, ketidaksesusaian perilaku yang diterima dalam satu hubungan baik antar individu maupun antar masyarakat. Ketimpangan dalam relasi pacaran adalah salah satu bentuk ketidakadilan, ketimpangan ini bisa berupa kekerasan atau yang biasa disebut sebagai Dating Violence (Sari, 2018). Kekerasan ini bisa berupan kekerasan verbal atau emosional, kekerasan fisik dan kekerasan psikologis atau mental. Kekerasan tidak harus diawali dari pertikaian, namun bisa dimulai dari cinta.

Menurut Bird & Melvile (dalam Mayasari dan Renaldi, 2017) Dating Violence atau kekerasan dalam pacaran dapat dipahami sebagai segala bentuk tindakan yang berunsur pemaksaan, penekanan, perusakan, pelecehan fisik dan psikologis dalam hubungan pacaran. Berdasarkan hasil penelitian dari National Crime Victimization Survey (2006) di Amerika Serikat mendapatkan kesimpulan bahwa perempuan 6 kali lebih rentan mengalami kekerasan akibat ulah teman dekat mereka, baik pacar maupun mantan pacar. 

Sama halnya dengan di Indonesia, tindakan kekerasan sering kali terjadi karena budaya patriarki, dimana perempuan dinilai lebih inferior sedangkan laki--laki lebih superior. Laki-laki lebih mempunyai kekuasaan dalam semua aspek kehidupan yang lebih dominan dibandingkan perempuan, termasuk aspek berkuasa atas diri perempuan. Dan sayangnya pemahaman seperti ini telah merasuk kedalam pikiran individu-individu melalui proses sosialisasi di masyarakat maupun sosialisasi dalam pendidikan.

Kekerasan dalam pacaran cenderung dianggap wajar sebagai resiko dalam hubungan dan menyebabkan korban umumnya tetap bertahan meski telah mendapatkan kekerasan. Padahal tanpa disadari, perilaku kekerasan tersebut dapat menjadi sebuah siklus yang terus berulang serta berkelanjutan dan dapat berdampak buruk bagi korban. 

Dalam konteks berpacaran, kekerasan yang dialami oleh perempuan kadang tidak disadari secara langsung (Sharpe & Taylor 1999 dalam Mayasari & Renaldi, 2017: 78). Korban yang mayoritas adalah perempuan umumnya bertahan dengan dalih bahwa pasangannya melakukan kekerasan karena sedang mengalami masalah lalu ia seharusnya memahami hal tersebut. Rasionalisasi lainnya ialah keadaan dimana setelah melakukan kekerasan, pasangan biasanya menunjukkan sikap menyesal, meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi serta bersikap manis kepada korban.

Dari hasil penelitian Mayasari & Renaldi, ditemuka alur kekerasan pada perempuan dalam hubungan berpacaran. Keseimpulan penelitian menurut mereka perempuan menjadi korban dalam relasi hubungan pacaran karena perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah dalam relasi yang ada. Perempuan dianggap mudah ditekan, diancam atau dikasarkan dengan pemukulan. Hal ini juga diterima begitu saja oleh perempuan karena ketakutan mereka akan ditinggalkan, terlebih lagi jika mereka sudah bergantung hidup kepada pasangan laki-lakinya.

Lalu bagaimana seharusnya pemuda (baik laki-laki maupun perempuan) menyikapi hakikat cinta dan hubungan pacaran agar terlepas dari relasi dominasi serta ketimpangan?. Menurut Erich Fromm (dalam Apriantika, 2021) cinta itu menyatukan dua orang namun tetap menjadi diri sendiri. Sehingga dalam hubungan pacaran yang terjalin seharusnya tidak ada kepemilikan mutlak diantara dua individu yang kemudian menjadi legitimasi untuk memaksakan kehendak maupun melakukan dominasi. Cinta sebagai dasar dari relasi pacaran seharusnya tetap memberikan kesempatan kepada individu untuk menjadi dirinya sendiri, bebas menentukan pendapat dan berhak memutuskan segala hal yang berkaitan dengan dirinya.

Menurut Erich Fromm (dalam Apriantika, 2021) untuk menghindari munculnya kekerasan dalam hubungan pacaran bisa dengan melakukan hal berikut :

  • Memaknai kembali hakikat cinta, cinta itu menyatukan dua individu namun tetap menjadi dirinya sendiri. Relasi pacaran perlu dibangun atas dasar cinta yang produktif dan memberikan kebebasan serta otoritas kapada pasangan untuk bertindak dan menentukan hidupnya.  
  • Mengubah paradigm mencintai bukan sebagai upaya memiliki (to have) namun sebagai proses menjadi (to be), mencintai sebagai upaya memiliki akan menjadikan pasangan sebagai objek cinta yang pasif dan berupaya untuk mencari kepuasan serta pasangan hanya dianggap sebagai sarana pemenuhan kepuasan. Upaya memaknai tindakan mencintai sebagai proses menjadi (to be) memungkinkan individu untuk mencintai dengan produktif, memberikan kebebasan, kemerdekaan, saling mendukung dan berproses menjadi lebih baik.
  • Mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain, ketika individu sudah bisa mencintai serta menghormati dirinya sendiri maka ia memiliki kemampuan untuk peduli dan menghormati orang lain. Jika individu mampu mencintai diri sendiri, maka dia tidak akan menuntut orang lain untuk mencintainya atau menuntut kepedulian atas dirinya, karena yang dilakukan adalah membagi cinta seperti yang ia beri untuk dirinya sendiri, bukan menuntut dicintai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun