Dengan 30% jumlah murid terdaftar saja, pemerintah membutuhkan anggaran besar mencapai Rp 100 triliun hingga Rp 130 triliun untuk pelaksanaan program ini. Apalagi jika dikomporasikan dengan beberapa pos anggaran yang sudah ada saat ini seperti Bansos ataupun subsidi.Â
Ada beberapa skenario yang dilakukan pemerintah untuk merealisasikan program ini. Pertama, penarikan utang baru. Kedua, peningkatan rasio pajak. Ketiga, relokasi anggaran yang program yang sudah ada.Â
Kemungkinan subsidi BBM akan kembali dipangkas, Pemerintah pun mempertimbangkan untuk menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membiayai program makan siang gratis ini.Â
Banyak yang menolak usulan ini, karena tanpa potongan untuk program makan siang gratis saja, dana BOS di sekolahan kurang memadai. Selama bertahun-tahun dana Bos diandalkan oleh sekolah mulai dari membayar biaya buku hingga gaji guru honorer. Gaji guru honorer hingga saat ini sangat tidak manusiawi. Apa jadinya jika dana yang tak seberapa itu harus dipotong lagi.Â
Tambal Sulam Ala KapitalismeÂ
Inilah potret tambal sulam ala kapitalisme. Problem yang hadir karena masalah sistemik diberikan solusi yang justru membawa masalah baru. Paradigma keliru yang hadir saat ini membangun generasi dengan memperhatikan isi perut bukan isi kepala. Padahal, sejatinya, isi perut tak selalu menunjang aktivitas berpikir. Sementara, isi kepala jelas menentukan standar dan hasil dari aktivitas berpikir tersebut.Â
Harus disadari bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya. Sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat persepsi dan pemahaman terhadap sesuatu.
Manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan persepsi dan pemahaman terhadap kehidupan tersebut. Atas dasar ini, satu-satunya jalan untuk mengubah persepsi dan pemahaman seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan di dunia sehingga dapat terwujud persepsi dan pemahaman yang benar terkait kehidupan tersebut.
Sehingga jelas, kebijakan yang berfokus pada isi perut belum tentu mengarahkan kualitas generasi terbaik. Apalagi program ini dimotivasi agar lepas dari income middle trap. Hasilnya akan jauh panggang dari api.Â
Realitas krisis berlapis terjadi pada generasi saat ini. Kendala tidak hanya hadir pada sektor pendidikan, tetapi juga terdapat faktor lainnya seperti hedonisme pemikiran, kesejahteraan ekonomi, dan liberalisasi media. Untuk mencapai generasi berkualitas tidak bisa hanya sekadar mengisi perutnya, melainkan harus menjamin dan menjaga pemikirannya agar terisi sebagai calon konstruktor peradaban yang benar dan diridai Allah swt.Â
Dengan demikian, menanggulangi berbagai faktor penyebab krisis ini, tentu saja membutuhkan solusi yang bersifat sistemis, sehingga tidak bisa hanya sebatas pada realisasi program makan siang gratis. Perubahan yang hendak diemban oleh generasi berkualitas juga harus perubahan hakiki.Â