What is the worst part of being broken? Broken heart, i mean.
Well, pengalaman dulu saat masih muda mengajarkan saya bahwa hal terburuk saat patah hati bukan saat kita merasa sendiri saat kehilangan. Hal terburuk adalah saat mengetahui pasangan kita baik-baik saja, melupakan kita semudah membalikkan telapak tangannya, tetap bahagia (malah jauh lebih bahagia sepertinya), alias move on jauh lebih cepat.
Kenapa? Ya, karena kita berharap pasangan kita akan merasakan kesedihan dan penderitaan yang sama seperti kita saat kita patah hati atau putus hubungan cinta. Lazimnya, kita manusia sebenarnya selalu berharap diperlakukan sama sebagaimana kita memperlakukan orang lain. Ini bisa jadi karena pepatah yang selalu didengungkan orang tua sampai sekarang.
"Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan orang lain".
Kenyataannya?
Perilaku orang lain itu berada di luar kendali kita, mau sebaik apapun perilaku kita padanya. Kalau dalam buku Filosofi Teras yang menjelaskan mengenai aliran Stoikisme, jelas bahwa perilaku, respons, sikap orang lain terhadap kita, berada di luar kendali kita. Alias, bukan berarti kalau kita memperlakukan orang lain dengan A, dia akan membalas dengan A. Jadi, jelas salah bila pepatah bilang, perlakukan dia dengan A agar kita diperlakukan dengan A. Hahaha, ribet ya? Jadi njelimet sendiri, hehe.
Siapa yang setuju dengan saya?
Balik lagi ke kasus patah hati. Saya masih ingat dulu ketika saya memutuskan berhenti berhubungan dengan seseorang yang telah mengisi hati saya sekian lama (hati saya yang terisi loh ya, hati dia sih gak tahu, hahaha).Â
Malam itu, saya menangis sesenggukan semalaman sampai mata bengkak. Pokoknya berasa perempuan paling menyedihkan sedunia. Saya sudah membayangkan, proses moving on untuk melupakan dia akan melewati jalan yang terjal, sulit, karena dia benar-benar berarti untuk saya.
Tanpa saya sadari, saya juga berharap dia akan menganggap hal yang sama.
Kenyataannya? Zonk.
Kalau tidak salah sekitar dua minggu setelah kita memutuskan hubungan, saya bertemu teman dekatnya di bis saat kami menuju Bandung. Saya masih ingat dia dengan terus terang bercerita, kalau mantan saya itu sedang heboh mendekati adik kelasnya. Pedekate kalau istilah keren dulu.Â
Selama dia bercerita, saya merasakan sesak dan mual luar biasa. Bis yang luas tiba-tiba terasa menghimpit dada, dan saking sakitnya, saya bahkan tak bisa menangis lagi saat itu.
Dunia saya seolah runtuh. Ternyata, saya sangat mudah dilupakan, di saat saya sangat sulit melupakannya. Saya merasa marah dan kecewa, entah pada siapa.Â
Sejak saat itu, saya seperti mengalami trauma setiap kali didekati lelaki. Prinsip saya saat itu, sakiti hatinya duluan, sebelum kamu disakiti. Aneh, tapi begitulah kenyataannya. Ketidaksiapan saya menerima perlakuan dan respons yang di luar kendali saya, justru mengendalikan dan menggerogoti jiwa saya pelan-pelan.
Saat itu saya tentu belum kenal Filosofi Teras, dan ajaran Stoikisme apalagi. Kalau sudah tahu dari dulu, saya harusnya menyadari bahwa perilaku, perasaan, dan emosi orang lain tentu di luar kontrol saya. Bukan berarti karena dulu saya mencintai dia sedemikian dalamnya, lalu dia akan merasakan hal yang sama. Iya kan?
Meskipun demikian, tetap saja saya ogah lagi kalau harus patah hati kembali, apalagi saat ini. Iya, kan? Hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H