“Yang kamu lihat sekarang, itu jauh berbeda dengan dulu. Biar aku ceritakan. Dulu aku anak yang sangat ambisi. Sama seperti kamu. Aku juga terlahir dalam keluarga yang kekurangan. Kemudian orang tuaku cerai. Pikiranku hancur berantakan antara mengejar prestasi dan memikirkan nasib mamahku. Belum lagi buat makan sehari hari itu sangat kebingungan. Mamahku memiliki penyakit yang sering kambuh. Namun aku lalai dalam merawat mamah. Pikiranku terbagi dua antara menjaga mamah dengan persiapan lomba yang diadakan dinas pendidikan. Harusnya aku mengetahui prioritas waktu itu. Harusnya ketika itu aku menjaga mamah. Kini aku menyesal. Sampai pada satu waktu, mamahku jatuh sakit dan tidak ada biaya untuk berobat. Hingga akhirnya mamah meninggal dunia. Aku hidup sebatangkara dirumah reot”
“Aku ngga nyangka dulu hidup kamu seperti itu”
“Ya begitulah adanya. Hingga akhirnya ada seorang yang mau merawatku. Ia membawaku ke rumahnya, dan menyekolahkan ku sekarang”
“Sejak itu aku sadar perlunya untuk membuat prioritas. Mana yang harus lebih didahulukan. Intinya kalau ada du atiga empat masalah yang kamu hadapi, dan tidak mampu dipikir secara bersamaan, pikirkanlah satu bersatu di mulai dengan yang paling prioritas. Nanti In Syaa Allah akan tercapai semuanya. Hanya butuh wkatu dan kesabaran”
“Iya Her, makasih banyak ya.. aku memang terlalu ambis. Namun aku juga tidak menyusun tingkat prioritas. Semuanya aku pikirkan bersamaan hingga semuanya terasa berat dan menguras energi pikiranku. Dan aku jatuh sakit karena beratnya pikiran yang aku pikirkan.”
Sejak obrolanku dengan Hera waktu itu aku segera membuat prioritas dalam hidupku. Pertama prioritasku adalah sembuh dari sakitku dahulu. Aku yang malas makan obat menjadi rajin makan obat. Dengan cepat akhirnya aku pulih kembali dan mulai menjalaknkan prioritasku dalam hidup.
Aku tak memikirkan lomba lomba lagi yang banyak tersebar di instagram pendidikan. Aku berusaha untuk berbisnis kecil kecilan. Aku pun mencoba produksi makanan kecil kecilan dengan modal untung dari usaha dropsipper. Aku berusaha maksimal untuk produkku. Kualitas menjadi prioritasku. Hingga akhirnya bisnisku berjalan dan menerima banyak orderan. Sekarang aku tak lagi ikut produksi makanan. Orang tuaku yang menghandle.
Masalah dalam pikiranku berkurang. Aku mulai bisa fokus mengejar prestasi. Baik prestasi sekolah ataupun prestasi luar sekolah yang diadakan oleh berbagai lembaga pendidikan atau komunitas.
Sifat ambisiku masih terus bergelora hingga sekarang .Bedanya sekarang aku lebih paham mengenai prioritas. Aku terus berusaha untuk mencetak prestasi.
Terima kasih Hera, berkat kamu pikiranku terbuka. Dan kini aku sudah paham mengenai cara mengendalikan ambisiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H