Pemilu sudah usai itu katamu, hingga kau memaksa kami untuk move on dengan berusaha menerima kekalahan.
Maksud mu apa? Apakah kita bertanding? Apakah kita berlomba?.
Pemilu sudah usai itu katamu, hingga kau ultimate kami buat pindah negara sampai-sampai kami kau suruh pindah alam saja.
Pemilu sudah usai itu katamu, hingga kau menganjurkan kami buat menunggu lima tahun mendatang, itu pun kalau presiden mu terpilih. Itu katamu.
Dan pemilu pun sudah usai. Tapi mengapa engkau masih berkampanye. Itu kata ku.
Kata mu sudah usai. Dengarlah kataku.
Indonesia bukan milik nenek moyang mu. Hanya karena kita beda pilihan. Juga demikian dengan ku.
Presiden, bukan milik dirimu semata, bagaimanapun dia milik ku juga.
Bukan berarti karena dia milikku lantas aku diam saja jika dia lalai dalam menjalankan tugasnya.
Tau kah engkau? Mengapa aku begitu membenci nya?.
Itu semua karena engkau.
Iya. Karena engkau, engkau begitu mengagung-angungkan nya, seolah dia tanpa cacat, seoalah dia mahluk yang paling sempurna buat memimpin negeri ini.
Dan engkaulah yang menyebabkan aku sangat membencinya.
Karena engkau masih berkampanye untuk dirinya. Sementara engkau menyuruh ku untuk pindah alam saja.
Saat ini bukan masa nya buat kampanye demi menutupi kekurangan pemimpin. Karena pemimpin akan lalai bahkan terpuruk jika engkau tidak berteriak.
Berteriaklah jika engkau merasa sakit, bukan bungkam dan malah menyanjungnya.
Dan sebaliknya sanjunglah jika engkau merasa bahagia, agar kebahagian semakin bertambah dengan kebijakan baru yang lebih berpihak kepada kemaslahatan umat.
Keberpihakan bukan berarti memberikan kebijakan yang menguntungkan buat sesaat, tetapi kebijakan di tujukan buat menguntungkan kemasa depan.
Kritik diperlukan guna meningkatkan kinerja pemerintah, bukan malah menyanjung dengan kebijakan yang merugikan masyarakat.
Tau kah kau mengapa ku begitu membenci nya?
Yah, karena aku masih begitu ingat betapa mesranya dia dengan 5 sekawan saat di UNS yang dipandu Najwa Sihab. Yang berakhir dengan pelemahan KPK.
Engkau malah diam, masih saja berkampanye demi menutupi kebusukan nya. Malah engkau berkata, hormati putusan hukum.
Aku masih saja tersentuh dengan kebijakan nya masih tetap blusukan ala wong cilik. Malah bagi-bagiin duit, sampai pamer beratus ratus tractor sampa rela tanpa alas kaki, masih tetap diliput seperti halnya kampanye. Bukan nya kampanye sudah usai?.
Lah kok tractor nya ditarik lagi?
Masih seger ingetan, saat e-blusukan memberikan janji dengan mengelabui para TKI dengan janji penghapusan KTKLN menandakan dia tidak paham akan aturan negara. Tapi masih saja engkau puja puji seolah dia tanpa cela, dan kau bilang ada proses nya. Nah kau sendiri tau, kenapa dia tidak?
Lah malah ini TKI pada bingung, mau pulang takut karena nggak diberi perpanjangan PK lagi, karena katanya mau dijadikan peserta transmigrasi.
Eeeh malah kau sibuk masih tetap menyanjung nya bagaikan nabi.
Begitu hebat nya kau mengatakan subsidi hanya membuat masyarakat menjadi malas, dan memberatkan negara. Padahal kau memilihnya karena merasa yakin bahwa dana nya ada, tinggal mau kerja atau tidak, yang hasil nya malah dibagikan buat fasilitas mewah para pejabat dan BUMN yang selalu merugi. Maksud mu apa?
Ahhhh entahlah. Ku rasa, kau pun akan muak dengan panjang nya keluhkesah yang kutulis ini. Atau bahkan kau tidak membacanya.
Kalau pun kau ingin aku berhenti membenci nya, maka berhentilah kau berkampanye untuk dia. Karena pemilu sudah usai. Saat nya mengawal segala kebijakan nya. Kalau salah jewer dia. Bila perlu tendang dari kursi empuk nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H