Mohon tunggu...
Fatih Romzy
Fatih Romzy Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penyuka Olahraga, Film, Musik dan Teknologi

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

De Rossi dan Awan Kelam Dunia Manajerial Buat Legenda Sepakbola

22 September 2024   19:02 Diperbarui: 23 September 2024   14:08 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
De Rossi vs Empoli (Getty Images/Gabriel Maltinti)

AS Roma baru saja memberhentikan Daniele De Rossi dari tugasnya sebagai pelatih pada Rabu (18/9) kemarin. Pemecatan mantan kapten Roma itu terasa amat mengejutkan mengingat performa Serigala Ibukota sempat menanjak di bawah asuhannya. Hanya saja, hasil beberapa laga terakhir memang tidak bisa disebut mengesankan buat sang pelatih.

Kasus De Rossi menambah panjang sejarah kelam para legenda klub yang berusaha merambah dunia manajerial. Padahal kalau patokannya adalah sepakbola, dua bidang ini sama sekali tidak berseberangan. Pelatih dan pemain adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan sebagaimana dua sisi mata uang. Sayangnya, dunia manajerial acapkali berakhir tragis buat mereka-mereka yang sempat menyandang status legenda sebagai pemain.

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi bagaimana seorang legenda pada akhirnya mengalami nasib tragis ketika banting setir ke dunia kepelatihan, bahkan ketika sang legenda memutuskan melatih klubnya sendiri. Lalu, mengapa para legenda kerap kali bernasib tragis ketika menjadi pelatih? Mari kita simak pembahasannya!

Status Legenda yang Terhormat

Legenda, adalah sebuah status yang layak diberikan kepada para profesional yang mengabdikan dirinya untuk sebuah bidang tertentu. Dalam dunia sepakbola juga demikian. Seorang legenda biasanya identik dengan pemain yang punya sederet pencapaian selama karirnya di lapangan hijau. Para legenda ini acapkali lekat dengan identitas klub tertentu karena pengabdian mereka untuk klub tersebut.

Di dunia modern, memang sulit mencari sosok seorang legenda. Namun di masa lalu, ada banyak nama yang pantas menyandang gelar terhormat ini. Sebut saja Steven Gerrard dari Liverpool, Frank Lampard dari Chelsea, Francesco Totti dari AS Roma, Lionel Messi dari Barcelona dan Cristiano Ronaldo dari Real Madrid.

Bicara soal status legenda, nama-nama di atas tidak semata dikenal sebagai legenda karena loyalitasnya terhadap suatu klub. Para legenda ini juga punya sederet pencapaian yang menjadi bukti sahih bahwa mereka layak disebut demikian. Lionel Messi contohnya. Selain pernah menjadi ikon klub Barcelona, Messi juga memegang rekor sebagai pemenang Ballon d’Or terbanyak, yakni delapan kali.

Frank Lampard menjadi contoh lain betapa seorang legenda tidak hanya soal loyalitas, tetapi juga bakat spesial dalam dirinya. Kendati merupakan seorang gelandang, tidak ada yang membantah kalau Lampard adalah predator paling berbahaya di EPL. Koleksi 177 golnya menjadikan Lampard nangkring di urutan 10 besar pencetak gol sepanjang masa, sekaligus menjadi satu-satunya gelandang dalam list tersebut.

Kepiawaian para legenda ini tentu saja menempatkan mereka di sebuah posisi yang terhormat. Terutama bagi fans, para legenda ini sudah dianggap selayaknya dewa buat klub kesayangan masing-masing. Beberapa dari mereka bahkan mendapatkan chants alias nyanyian-nyanyian penyemangat khas yang dibuatkan khusus dari para penggemar.

Legenda Tidak Berarti di Manajerial

Menyandang status sebagai seorang legenda tentu adalah sesuatu yang sakral buat seorang pemain. Namun, ketika pemain tersebut pensiun dan memilih banting setir ke dunia manajerial, segalanya berubah. Tidak ada lagi status sebagai seorang legenda atau bukan. Karir para legenda ini bagai tereset kembali ke angka nol.

Daniele De Rossi menjadi contoh terbaru betapa ganasnya dunia manajerial sepakbola. Mantan kapten Roma yang baru saja mendapat perpanjangan kontrak mendadak ditendang dari jabatannya. Alasan yang terungkap di publik tampak realistis. De Rossi gagal mendongkrak performa Roma yang sejauh ini belum pernah menang di empat partai pembuka Serie A.

Mungkin, alasan Giallorossi memecat De Rossi terbilang masuk akal. Tapi jika meninjau performa musim lalu, harusnya ada sedikit yang perlu dikaji dari keputusan ini. Toh pada akhirnya, pemecatan De Rossi menimbulkan protes dari kalangan fans mereka sendiri. Sebagian dari fans masih percaya kalau De Rossi bisa mengembalikkan Roma kembali ke jalur yang benar, sebagai salah satu raksasa Serie A.

Apa yang terjadi pada De Rossi adalah contoh kesekian kalinya betapa seorang pelatih tidak dilihat dari seperti apa latar belakangnya. Seorang legenda dengan nama besar sekalipun bisa tiba-tiba ditendang kalau hasilnya mengecewakan, menurut manajemen tentunya. Frank Lampard, Steven Gerrard, Xavi, Andrea Pirlo, hingga Gennaro Gattuso adalah contoh nyata betapa gelar legenda yang mereka sandang tidaklah berguna di dunia manajerial yang begitu keras.

Pemecatan De Rossi akhirnya memantik reaksi mantan rekan setimnya yang juga legenda Roma, Francesco Totti. Mantan kapten Serigala Ibukota itu bilang kalau De Rossi sedari awal diatur sebagai kambing hitam. Totti sudah menduga kalau De Rossi bakal jadi orang yang paling disalahkan ketika situasi Roma berada pada titik nadir seperti sekarang.

Tak Selamanya Kejam Untuk Legenda

Sudah banyak contoh para legenda yang namanya tidak lagi harum gara-gara kegagalan mereka di dunia manajerial. Namun, mengacu sejarah, tidak selamanya karir manajerial seorang legenda berakhir mengerikan. Ada beberapa dari mereka yang justru sukses mendongkrak namanya di dunia kepelatihan.

Contoh mudahnya di era sekarang, ada Mikel Arteta. Pria yang pantas disebut sebagai legenda Arsenal itu telah berhasil menyulap Meriam London menjadi tim yang paling enak ditonton selama periode kepelatihannya. Arteta memberikan sentuhan sepakbola modern yang membuat Arsenal bersaing memperebutkan gelar dalam dua musim beruntun.

Mundur sedikit ke era Real Madrid yang masih diperkuat para galactico jilid dua mereka, nama Zinedine Zidane juga sempat sohor. Pria berpaspor Perancis yang sempat sohor sebagai pemain ini sukses juga meraih sejumlah gelar prestisius semasa melatih Real Madrid. Zidane adalah orang pertama yang berhasil meraih gelar Liga Champions hingga tiga kali berturut-turut.

Pep Guardiola juga merupakan salah satu pemain legenda yang sukses beralih profesi sebagai seorang manajer. Pep yang dulu dikenal sebagai gelandang Barcelona sempat mendapat predikat salah satu playmaker paling top dunia. Status pria 53 tahun kini berubah total. Pep tidak lagi menjadi salah satu pemain paling top, tetapi telah berubah menjadi salah satu manajer top dunia.

Pep, Zidane dan Arteta hanya beberapa contoh bahwa dunia manajerial tidak selamanya berakhir mengerikan. Namun, terlepas kesuksesan nama-nama tersebut, manajerial tetap jadi dunia yang menakutkan buat seorang mantan pemain. Reputasi mereka selama masih aktif bermain menjadi taruhan apabila sebagai manajer, mereka gagal mencapai target tertentu yang sudah dipersiapkan tim.

Semua Tergantung Manajemen

Nama-nama seperti Pep, Zidane dan Arteta adalah bukti bahwa tidak selamanya seorang legenda menjadi pesakitan ketika memutuskan banting setir ke dunia manajerial. Namun kembali lagi, sang manajer tidak punya kontrol penuh atas posisinya. Klub lah yang berhak menilai apakah seorang manajer layak dipertahankan atau tidak.

De Rossi sayangnya adalah contoh kesekian tidak adanya kepercayaan penuh klub terhadap seorang pelatih. Totti bahkan berani bilang kalau De Rossi memang dipersiapkan sebagai kambing hitam. Rasa cintanya yang mendalam tentu membuat Rossi tidak bisa menolak tawaran dari Roma, seberapa parah pun krisis yang dialami I Luppi. Sayangnya, manajemen tidak memberinya banyak waktu dan langsung memecat De Rossi, meski kompetisi baru seumur jagung.

Soal yang satu ini, lihatlah bagaimana Arsenal menikmati era barunya bersama sang legenda, yang kini beralih profesi sebagai juru taktik. Musim pertama Arteta, hampir mirip seperti De Rossi. Pergantian manajerial kala itu sempat membuat Arsenal goncang. Arteta bisa dibilang gagal mendongkrak performa klub, karena di musim perdananya, Arteta gagal membawa Arsenal lolos ke zona Eropa.

Andaikata manajemen Arsenal kala itu tidak sabaran, Arteta mungkin tidak akan berada di balik juru kemudi Meriam London sampai saat ini. Toh gelombang “Arteta Out” sudah sempat menggema di era-era awal Arteta. Namun, apa mau dikata. Arsenal lebih memilih mendengarkan legendanya dan memberinya kesempatan kedua, alih-alih menerima aspirasi fans di luar sana.

Hasilnya dapat dilihat. Tiga musim Arteta dipercaya mengubah tangan nasib Arsenal, tim asal London ini kembali temukan tajinya. Walau tidak sampai berhasil menangi gelar EPL yang mereka dambakan, paling tidak ada arah pengembangan jelas. Sayangnya, Roma kadung memecat De Rossi, sehingga tak ada lagi kesempatan tim ini bersinar bersama legendanya di balik juru kemudi.

Para fans Roma boleh jadi marah karena manajemen telah memutus kesempatan Serigala Ibukota kembali berjaya bersama legendanya sebagai manajer. Namun, keputusan sudah dibuat. Ada baiknya para fans Roma kini menyokong Ivan Juric yang dipilih manajemen untuk menangani Roma hingga musim 2024/2025 tuntas.

Pengalaman Juric jelas jauh lebih banyak ketimbang De Rossi yang terbilang masih bau kencur di dunia kepelatihan. Namun, pengalaman tidak serta merta menjamin posisi Juric aman di tangan manajemen. Problem yang terjadi dalam klub bisa jadi membuat Roma kembali inkonsisten, dan sekali lagi, seperti kata De Rossi, pelatih akan selalu jadi kambing hitam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun