Sebelumnya, saya tekankan bahwa tulisan ini tak lebih hanya sebatas perbedaan cara pandang yang merupakan suatu keniscayaan dalam  mendiskusikan ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang disampaikan yang mulia, Ibu Asmiati Malik dalam tulisannya "Konsep Agama Fiksi dan Ilmu Fisika Modern", bahwa perbedaan itu disebabkan perbedaan latar belakang ilmu, tingkat pemikiran, pengetahuan serta dasar logika dari masing-masing pemikir.Â
Dengan penuh keinsyafan, saya menyadari bahwa saya sama sekali tidak berkompeten untuk mendiskusikan tema ini. Tapi, hal yang menarik ketika Ibu Asmiati Malik menggeret tema ilmu fisika modern ini kedalam ranah agama. Hal itu terlihat jelas dalam tulisan beliau: "Kalau kita menerapkan konsep ilmu pengetahuan (Scientific Science), maka tidak ada satupun yang mustahil, bahkan perjalan Israj Miraj (Sehari-semalam) Nabi, bisa dirasionalkan secara ilmiah".
Memang, sepintas kita bisa menerima, bahwa ketika perjalanan super mengagungkan Nabi Muhammad Saw. itu umpama bisa dirasionalkan maka akan menambah keimanan kita atas kejadian luar biasa itu. Namun, masalahnya adalah, peristiwa Isra Mi'raj tersebut merupakan dogma agama yang diinformasikan oleh teks suci (al-Qur'an dan al-Hadis). Selain juga merupakan diantara Mukjizat Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa risalah. Oleh karenanya, kejadian itu bersifat di luar nalar, tidak rasional. Baik di kalangan Arab Jahiliyah zaman dahulu ataupun orang-orang modern di zaman sekarang.Â
Namanya mukjizat, maka meniscayakan sifat i'jaz (melemahkan) kepada orang lain selain para nabi untuk mengalami hal yang sama. Andai manusia mampu menemukan teknologi transportasi yang menyaingi buraq (tunggangan Nabi dalam peristiwa Mi'raj) atau bahkan melebihinya maka Mukjizat ini tidak lagi dikatakan Mukjizat. Â
Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa membaca peristiwa Isra Mi'raj melalui pendekatan Scientific Science justru akan menghilangkan sifat Mukjizat tadi. Bisa jadi, bukannya menambah keimanan orang mukmin, justru memberi peluang kepada musuh-musuh kaum beriman atau bahkan orang mukmin sendiri untuk meragukan kebenaran agamanya.Â
Saya tertarik dengan pernyataan Dr. Mahmud Syaltut dalam salah satu karyanya. Beliau menulis demikian:
 "Sesungguhnya Tuhan tidak menurunkan al-Qur'an (baca: dasar agama) untuk menjadi satu kitab yang menginformasikan teori-teori ilmiah, masalah-masalah seni, serta macam-macam ilmu pengetahuan".
Saya akui, statemen Dr. Mahmud Syaltut ini memang berangkat dari latar belakang beliau yang tidak begitu sreg dengan metode pembacaan teks agama (tafsir al-Qur'an) yang bercorak Scientific Science. Selain beliau, juga banyak pemikir-pemikir islam yang menolak corak tafsir ini, diantaranya Dr. Amin al-Khauli. Penolakan Dr. al-Khauli nampak jelas dalam karya beliau: at-Tafsir: Ma'alimu Hayatihi Manhaju al-Yaumi. Juga masih banyak lagi mereka yang memilih enggan untuk menyebut agama dan ilmu pengetahuan adalah saling beriringan, kalau tidak mau dikatakan saling bertolak belakang. (mengenai data konkret penolakan ulama terhadap corak tafsir sains ini silahkan meruju' kitab Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wal-Mufassirun, juz 2 hlm. 516-520).
Sebenarnya, langkah yang dipilih Dr. Mahmud Syaltut dan yang lainnya ini (tidak setuju dengan cara baca teks agama dengan pendekatan Scientific Science) bukanlah dalam rangka membelenggu umat manusia dari perkembangan ilmu pengetahuan modern. Justru, langkah ini tak lebih merupakan langkah berhati-hati para ulama kita (atau dalam bahasa Ibu Asmiati "Penyebar Agama"). Mengapa demikian? pertama, dasar agama kita adalah wahyu (bukan ilmu pengetahuan manusia). Ia lebih bersifat devinity (ilahiyah). Dan mengimani kebenarannya adalah hal yang mutlak. Bukan hal yang relatif. Kebenaran wahyu itu (baca: agama) disampaikan oleh Tuhan sendiri melalui perantara Rasul-Nya, Nabi Muhammad Saw. Ini tersurat jelas dalam firman-Nya:
"Dan katakanlah: kebenaran datang dari Tuhan kalian" (QS. al-Kahfi: 29)
Pesan-pesan ketuhanan itu, baik yang berisi keyakinan (aqidah), ibadah, etika dan hukum (eticho-legal) ataupun hal-hal yang bersifat kauniyah disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya. Namun, belum atau hampir tidak ditemukan Nabi atau para sahabatnya menjelaskan teori sains.
Apakah para penyebar agama generasi selanjutnya lantas berani mengatakan bahwa agama yang bersumber dari teks agama itu sendiri erat kaitannya dengan perkembangan sains? bukankah ini justru, memberi peluang untuk mengatakan Nabi sendiri atau para sahabatnya telah gagal dalam menyampaikan pesan-pesan al-Qur'an secara sempurna. Alasannya, karena tidak ada yang mengatakan bahwa teori-teori sains sealur dengan al-Qur'an (yang menjadi dasar beragama). Maka, sekali lagi, para ulama yang menolak untuk mengatakan agama dan sains saling beriringan hanya sebagai langkah kehati-hatian mereka.