Every Little Thing He Does
Kaila harusnya tahu bahwa melihat Revan dengan anak kecil adalah racun yang paling mematikan.
***
Kaila tidak terlalu menyukai anak kecil. Ada beberapa situasi dan kondisi yang membuatnya seperti melihat cicak pucat memanjat kakinya. Dan itu menjijikkan. Ugh, membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Kaila berdiri.
Bukan karena Kaila tidak memiliki naluri kewanitaan. Bukan karena dia jarang bermain didapur dan membayangkan bisa membuat kue untuk anaknya nanti. Hanya saja dia tak tau... apa yang harus ia lakukan saat berdekatan dengan anak kecil. Terakhir kali bertemu, anak kecil itu meraung ke mamanya, karena Kaila tak sengaja memecahkan balon merahnya.
Oke, mungkin Kaila tidak ditakdirkan untuk bisa berdekatan dengan anak kecil. Mungkin di mata anak-anak dia terlihat seperti monster besar dengan rambut hijau panjang yang siap menerkam mereka kapan saja. Eww, Kaila tidak bisa membayangkan betapa mengerikan dirinya.
Bicara soal naluri kewanitaan, Kaila rasa Revan –sang kekasih- lebih memilikinya dari pada dirinya sendiri. Meskipun kau tahu, Revan adalah seorang ketua Gangster yang lebih suka membuat tinjunya bengkak membiru di bandingkan, berimain Game Playstation. Oh, bagaimana itu bisa terjadi?
Well, itu terjadi di pertengahan bulan April, saat mereka –Revan dan Kaila- merayakan anniversaryyang ke-3 kalinya. Dan Revan telah berjanji untuk mengabulkan segala keinginannya.
Dan keinginan Kaila adalah ke Bioskop (Revan sangat bersyukur karena Kaila tak meminta hal yang aneh) dan menonton film remaja picisan yang penuh drama dan air mata (Revan benar-benar ingin melarikan diri pada saat itu juga). Kaila tau betul Revan tak akan menonton filmnya, pemuda itu hanya akan tertidur sepanjang film saking bosannya. Tapi Kaila ingin mencobanya. Dan Revan menolaknya –tapi tidak jadi karena ia telah berjanji.
“Ayolah, please... aku ingin mencobanya, sekali saja.” Rajuk gadis itu membuat wajah seimut mungkin. Walaupun Kaila tau hasilnya tak akan terlihat imut malah menjijikkan. Yang penting dia sedang berusaha. “Please.. ku mohon.”
“Eww, Kaila. Aku tak tau kau se-chessy ini,” Kata Revan mengerutkan dahinya jijik.
Kaila cemberut. “Seperti kau yang tidak gombal saja setiap menciptakan lagu untuk-ku. Hehe,” Protesnya.
“Itu hatiku, bukan aku.” Ujar Revan dengan senyum jahilnya.
Kan! Ish, chessy.
Kaila tau dia tak dapat menahan senyumnya karena gombalan Revan. Oleh karena itu ia memalingkan wajah agar Revan tak melihat pipinya yang mungkin sudah bersemu.
Merasa kembali normal, Kaila kembali menghadap Revan yang masih memandangnya dengan senyum jahil yang super menyebalkan itu. Gadis itu berkacak pinggang. “Kalau aku memaksa?”
“Kalau aku tidak tetap tidak mau? Kau tau aku punya—“ Revan baru akan menyelesaikan perkataannya saat Kaila menyela.
“Tapi kau telah berjanji!” Yap janji!
“Tapi—“
“Dan janji harus ditepati!”
Tak ada penolakan.
“Baiklah..”
Kaila bersorak kegiarangan. Tiket Bioskop! Yeay!
***
Mereka berdua pun pergi dari rumah Kaila dan naik kereta menuju bioskop. Kaila tak bisa berhenti tersenyum sambil memandang ke arah luar jendela kereta, membiarkan sinar mentari sore menyirami kulitnya yang terasa hangat, dan hatinya juga ikut merasakannya. Entah apa itu efek matahari atau pemuda di sebelahnya yang menyebabkannya jadi seperti ini.
Kaila berpikir, betapa mudah dia merasa bahagia. Terkadang dia menganggap dirinya terlalu gampang dibuat senang seperti ini, dan parahnya, Revan mengetahui hal itu.
“Kau mudah sekali ya tersenyum bahagia,” celetuk Revan tiba-tiba, membuyarkan lamunan gadis itu.
“Beri Kaila tiket bioskop dan dia akan tersenyum sepanjang hari,” tambahnya sedikit sarkastik, alhasil menerima sebuah pukulan ringan yang mendarat di lengannya.
“Aww! Kaila!”
Kaila hanya tertawa tanpa menjawab apa-apa, melanjutkan sesi tersenyumnya dan berkata dalam hati, ini bukan tentang menonton bioskop. Ini tentang kau yang mau menonton bersamaku, walaupun kau tak suka filmnya barang sedikit pun.
Oke, hati Kaila meleleh.
Oh, tapi itu belum seberapa.
Belum seberapa melelehnya ketika melihat pemandangan yang tersodor di depan matanya beberapa menit kemudian. Seolah Revan tahu di mana letak titik kelemahan Kaila dan menekannya hingga habis ke dasar.
Yang ini membuat hati Kaila jatuh di samudera paling dalam sedunia.
Tak jauh dari tempat mereka duduk, Kaila memerhatikan seorang anak laki-laki berumur kisaran empat tahun tengah menggigit jarinya dan menatap Revan. Dia berjalan ke arah Revan, lalu berlari menjauh darinya beberapa saat kemudian sambil terkikik tanpa suara. Anak itu melakukannya beberapa kali hingga mendapatkan perhatian dari Revan.
Revan memanggilnya. “Hei.”
Anak itu malu-malu tersenyum, masih mengigit jarinya.
“Hei, kemari.” Revan melambaikan tangannya.
Anak itu menggelengkan kepala, menyeruakkannya ke pangkuan sang ibu, namun matanya mengintip dari sela-sela jemarinya.
Revan pun merogoh kantung celananya. Kaila pikir dia mau merokok, tapi—oh mana boleh melakukannya di dalam kereta. Dan benar saja, bukan rokok yang terselip di tangannya, melainkan permen.
“Hei, kau mau permen?” tanya Revan menggoyang-goyangkan permen stroberi itu. Oh yeah, anak kecil mana yang tak tertarik akan sepotong permen, maka anak itu perlahan-lahan berjalan dari ibunya. Masih dengan tangan di dalam mulut, dia menghampiri Revan dan seperti kena jebakan yang dibuat musuhnya…
Tak perlu waktu lama, kini dia berada di pangkuan Revan.
Wow, bagaimana mungkin dia melakukannya? batin Kaila.
Anak itu dengan tenang duduk di pangkuan Revan, menatap permen pemberian Revan dengan mata berbinar.
“Kau mau paman membukakannya untukmu?”
Anak itu hanya menatap Revan selagi senyumannya tak memberikan jawaban apa-apa. Kaila melihat ibu sang anak memberi kode; menunjuk telinganya dan mulutnya, lalu menggelengkan kepala. Ah, detik itu Kaila mengerti.
“Dia tunarungu, Revan,” bisik Kaila memberitahu.
Tak berkata apa-apa, Revan pun memberi satu anggukan singkat dan membuka bungkus permen itu, memberikan isinya di telapak tangan si kecil. Senyuman di wajah Revan entah mengapa membuat hati Kaila dilanda emosi yang hebat.
Apalagi ketika Revan memperlakukan anak itu layaknya anak normal yang dapat mendengar suaranya. Dia membiarkan anak itu berdiri di pangkuannya, mengotori jinsnya, dan mereka berdua melihat ke luar jendela.
Si kecil menunjuk langit di atas sana, mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan satu suara.
“Oh ada apa di sana, hm? Langit?” Revan mengusap jendela itu menggunakan telapak tangannya. Berusaha memberitahu anak itu bahwa hamparan luas warna jingga di luar sana bernama langit.
Kemudian Revan mengembuskan napas di jendela, menciptakan uap cukup lebar di sana, lalu dia menggambar lingkaran dengan dua mata serta lengkungan di bawahnya yang mengindikasikan senyuman lebar.
Revan menunjuk gambar tersebut, dan menunjuk ke wajah sang anak. “Ini kau, sedang tersenyum,” gumam Revan sia-sia. Suaranya penuh kehangatan dan Kaila ingin menangis.
Dia memerhatikan keduanya dari jarak satu meter kurang. Dia merasakan sebuah perasaan tak terdeteksi, membuat cairan bening menggenang di pelupuknya.
Apa-apaan ini? Revan…apa yang kau lakukan?
Dia ingin memukul Revan, membuangnya dari pintu kereta, karena dia membuat Kaila hampir menangis di tempat umum. Ini bukan pemandangan ‘wah’ bagi siapapun. Ini hanya Revan yang tengah bermain bersama anak kecil tunarungu, namun mengapa Revan terihat seperti sedang menumpah ruahkan seluruh jiwanya terhadap si anak?
Kaila seharusnya tahu bahwa melihat Revan bersama anak kecil adalah racun paling mematikan. Karena kini dia sedang berusaha mencari penawarnya dan hal itu dirasa tak mungkin.
Kau membuatku semakin jatuh cinta padamu, Revan. There’s no way to hate you. Kaila membenci hidupnya. Membenci dirinya yang terlalu gampang dibuat bahagia. Sial.
Anak itu mulai membuat uap di jendela dengan napasnya sendiri, mencoba mengikuti gambar Revan. Lalu dalam rangka ‘menyelamatkan’ karya si anak agar tidak mencontoh gambar Revan (karena sekarang Revan mulai menggambar serigala. Semua orang tahu…gambar serigala buatan Revan mirip seekor binatang jaman purba yang tidak teridentifikasi), Kaila mendekati sang anak, mencoba menciptakan uap di sana dan menggambar hati.
Kaila menunjuk gambar itu, lantas menunjuk dada sang anak sambil tersenyum. “Ini…hatimu,” bisiknya lembut dan baru kali itu, seorang anak kecil memamerkan seulas senyum padanya.
Revan tak mau kalah. Dia ikut mengukir bentuk hati yang cukup besar.
Kemudian…
Dia menunjuk dadanya sendiri…
Mengetuk gambar hati di jendela…
Dan mengarahkan telunjuknya pada Kaila.
Dan tada! Kaila meleleh, lebih dari sebelumnya. Namun dia tak mau mengakuinya.
“Eww, cheesy!” Kaila menjulurkan lidahnya.
But I love you…
Revan membalasnya.
…so much, Revan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H